Mengenang Kiai Musikan Asal Bragung Saat Memperjuangkan NU Jember

 
Mengenang Kiai Musikan Asal Bragung Saat Memperjuangkan NU Jember

LADUNI.ID, Sumenep - Di hari lahir NU yang ke-94 ini, saya ingin mengenang seorang pejuang NU asal Kalisat, Jember, Jawa Timur. Beliau lahir di Desa Bragung, Guluk-guluk, Sumenep. Nama lahir beliau adalah Musikan, dari ayah bernama Abdul Hamid (Kiai Judhi) dan ibu bernama Mulani (Nyai Judhi). Kelak setelah naik haji beliau berganti nama menjadi Haji Baihaqi.

Tanggal dan tahun lahir beliau, sampai sekarang belum bisa dipastikan. Hal ini bisa dimaklumi karena orang-orang desa di zaman itu tidak terbiasa mencatat tanggal lahir anaknya. Menurut perkiraan keluarga, sekitar tahun 1914 atau 1915. Perkiraan ini didapatkan dari kesaksian saudara sepupu beliau, Mbah Duha. Kata Mbah Duha, Kiai Musikan lebih sepuh 6 atau 7 tahun darinya. Sedangkan Mbah Duha sendiri seumuran dengan Pak Harto —Presiden kedua RI—, yang lahir tahun 1921.

Sejak kecil, Kiai Musikan sudah menunjukkan beberapa keistimewaan. Misalnya, wataknya yang keras tapi suka menolong. Pemberani tapi penuh kasih sayang. Cerdas tapi sulit diatur. Juga ada peristiwa aneh seperti yang dikisahkan oleh almarhumah ibunda beliau, Nyai Judhi. Ketika itu Musikan yang masih balita tidur bersama dua saudaranya, Sayuti dan Misbah. Nyai Judhi sedang shalat tahajjud. Tiba-tiba ada suatu benda bersinar jatuh ke atas ‘lencak’ (bahasa Madura untuk balai dari bambu).

Awalnya Nyai Judhi tidak begitu memperhatikan. Beliau meneruskan shalat sampai selesai. Dan terkejutlah sang ibu ketika dia menyaksikan di atas pembaringan itu telah duduk sesosok makhluk berwarna hitam dan bertubuh besar. Yang lebih mengejutkan lagi, makhluk itu menjilati sekujur tubuh Musikan kecil yang sedang tidur. Dari ujung kepala ke ujung kaki. Terus berulang-ulang.

Begitu selesai, makhluk tersebut berkata dengan irama ritmis, “oreng namuy tak esapah…” (Orang bertamu tak disapa). Terus berulang-ulang, sampai akhirnya makhluk itu berubah menjadi asap, lalu menghilang.

Nyai Judhi kemudian menceritakan peristiwa itu kepada suaminya. Mereka berdua sama-sama tidak mengerti tentang makna dari pertanda aneh itu. Akhirnya mereka memutuskan untuk ‘acabis’ (sowan) kepada Kiai Abdul Hamid bin Itsbat, Banyuanyar, Pamekasan. Di zaman itu, jalan dari Bragung ke Banyuanyar hanya bisa ditempuh berjalan kaki dalam waktu beberapa jam.

Singkat cerita, Kiai Abdul Hamid menyampaikan nasehat kepada mereka berdua supaya Musikan dimondokkan. Sebab, kalau tidak dimondokkan, besar kemungkinan Musikan kecil kelak akan menjadi bajingan besar. Sebaliknya, jika dimondokkan insyaallah dia akan menjadi ulama dan orang yang membawa kemanfaatan bagi umat.

Dari titik itulah, pengembaraan kelimuan Kiai Musikan dimulai. Beliau awalnya mondok di Pesantren Banyuajuh, Desa Pamoroh, Kecamatan Kadur, Pamekasan, di bawah bimbingan Kiai Manshur, sekitar 3 tahun. Lalu pindah ke Pesanten Banyuanyar yang diasuh oleh KH Abdul Hamid bin Itsbat. Di pesantren legendaris ini, beliau menjadi adik angkatan dari Kiai Zaini Mun’im (pendiri pesantren Nurul Jadid) dan Kiai Umar (Sumberwringin, Jember).

Setelah Kiai Hamid wafat di Mekkah, tahun 1933, Bindharah Musikan pindah ke Pesantren Bata-Bata, yang didirikan oleh putra Kiai Hamid, yaitu KH Abdul Majid. Pada periode ini, setiap bulan Ramadlan, Kiai Musikan juga menimba ilmu dan barokah kepada KH Ilyas bin KH Syarqawi di Pondok Pesantren Guluk-guluk, Sumenep. Kiai Musikan lalu melanjutkan pengembaraan ilmiahnya ke Tattangoh, Sampang, berguru thariqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah kepada Kiai Jazuli. Atas saran gurunya, beliau lalu melanjutkan belajar thariqat kepada Kiai Romli Tamim, Paterongan, Jombang.

Menjelang perang dunia kedua, Kiai Musikan yang masih bujang hijrah ke Desa Glagahwero Kalisat Jember, mengikuti pamannya yang bernama Kiai Basyiran (Kiai Si’a). Beliau lalu menikah dengan Nyai Nafisah Binti Zainuddin. Awalnya beliau merintis pengajaran al-Quran dan bimbingan ibadah kepada masyarakat sekitar.

Di sela-sela mengurus keluarga dan masyarakat ini, beliau masih menyempatkan diri tabarrukan sebagai santri kalong di Pondok Pesantren Sumber Wringin. Di sini beliau mengaji sekitar 1 tahun kepada Kiai Syukri. Tak selang berapa lama, beliau lalu mendapatkan waqaf tanah bekas pemandian umum zaman Belanda dari paman sepupunya yang bernama Haji Idris. Inilah yang kemudian menjadi area Pondok Pesantren Miftahul Ulum Glagahwero Kalisat Jember, atau yang lebih dikenal dengan nama “Pondhuk Taman”.

Di masa Revolusi Kemerdekaan, Kiai Musikan berada dalam barisan Sabilillah di bawah komando Kiai Raden As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo, Situbondo. Beliau ikut bergerilya di front-front perang terdepan. Mulai dari Sumber Wringin, lalu ke Kalisat, terus ke Sempolan, dan berakhir di Garahan. Wilayah gerilya itu terus meluas sampai kawasan Curah Ledok, Kalibaru, terus ke timur sampai Songgon, Banyuwangi.

Modal beliau bukan ilmu strategi dan taktik militer modern ala eks-tentara KNIL atau PETA. Kiai Musikan memakai ilmu pesantren Nusantara. Beliau mengamalkan hampir semua hizib, seperti Hizbun Nashar dan Hizbul Bahar. Semua pejuang yang berada di barisan beliau, tak lupa juga diberi ijazah beberapa amalan dan doa keselamatan. Menurut riwayat, beberapa kali beliau selamat dari terjangan peluru penjajah. Di antara anggota pasukan Kiai Musikan yang paling terkenal adalah Pura, seorang pahlawan lokal asal Pakusari, Jember, yang gugur di masa Agresi Militer Belanda ke-2.

Setelah perang usai, beliau kembali menjalankan rutinitas mendidik santri. Beliau tidak bersedia didaftarkan sebagai veteran perang, karena khawatir keikhlasan perjuangan luntur oleh pamrih tanda jasa dan uang pensiunan.

Lalu apakah beliau berhenti berjuang? Tentu saja tidak. Beliau tetap berjuang lewat dua jalur. Pertama, lewat pendidikan pesantren. Kedua, lewat NU.

Di pesantren beliau fokus membenahi ibadah dan akhlak santri. Di NU beliau menggerakkan pemberdayaan dan kedaulatan umat, termasuk di bidang politik. Baik dalam pendidikan maupun pemberdayaan, Kiai Musikan, yang tidak pernah mengenyam pendidikan modern, hanya mengandalkan ilmu-ilmu khas pesantren, khususnya Ushul Fiqh dan Fiqh. Hasilnya topcer. Bersama beberapa Kiai lain, seperti Kiai Ismail, Kiai Munawi dan Kiai Baijuri, beliau mengubah wajah masyarakat Kalisat yang asalnya “jahiliyah” menjadi islami dan santri. Pada periode ini, Kiai Musikan menikah untuk kedua kalinya, dengan sepupunya yang bernama Ummiyati Binti Basyiran.

Pada Pemilu 1955, Kiai Musikan berjuang tak kenal lelah memenangkan Partai NU di Kalisat. Beliau adalah seorang juru kampanye dan penggerak massa yang mumpuni. Kiai Musikan, yang tidak fasih berbahasa Indonesia, dengan penuh percaya diri tampil di beberapa podium dengan menggunakan retorika bahasa Madura yang ceplas-ceplos tanpa tedeng aling-aling.

Jika PKI menggerakkan Lekra untuk melakukan agitasi dan propaganda di kalangan akar rumput, maka NU mengandalkan Lesbumi. Kiai Musikan turun tangan sendiri menyemarakkan kesenian Hadrah, Macopat, dan Kentrung. Beliau juga menghimpun anak-anak muda dalam seni beladiri pencak silat.

Sampai sekarang, seni Hadrah warisan zaman itu masih dilestarikan oleh keluarga dan alumni yang masih rutin dipentaskan sebulan sekali, secara bergiliran dari rumah ke rumah masing-masing alumni. Adapun Macopat dan Kentrung sudah raib digilas zaman, karena tidak ada generasi penerus yang melestarikan. Sedangkan pencak silat, sejak 1980-an bergabung ke dalam barisan Pagar Nusa NU.

Lanjut ke masa menjelang huru hara 1965, Kiai Musikan memimpin NU Kalisat menghalau aksi sepihak PKI. Bahkan beliau pernah diracun oleh dedengkot PKI. Alhamdulillah, Allah masih menyelamatkan nyawa beliau.

Setelah peristiwa Gestapu, meskipun sudah berkali-kali didzalimi oleh PKI, Kiai Musikan tetap membuka pintu lebar-lebar dan memberikan perlindungan bagi orang-orang yang “diduga” atau “dituduh” PKI dari penumpasan oleh militer.

Beliau memerintahkan barisan pelopor dan Banser untuk menjemput orang-orang malang itu dan diminta untuk berlindung di pesantren. Beliau menjaminkan diri untuk melindungi orang-orang awam yang tidak tahu menahu tentang konflik politik di pusat. Mereka sebenarnya juga tidak tahu apa itu PKI. Sebagian besar mereka adalah keluarga santri yang tercatut namanya karena bekerja di perusahaan kereta api atau menjadi buruh perkebunan.

Pada periode 1971-1977, Kiai Musikan menghadapi tahun-tahun paling berat. Beliau harus berhadapan dengan tindakan militer Orde Baru yang sangat represif terhadap para Kiai yang mendukung dan berkampanye untuk PPP. Kecurangan terstruktur yang dilakukan oleh Orba untuk memenangkan Golkar mendapatkan perlawanan di mana-mana, termasuk di Kalisat dan Jember.

Kiai Musikan tidak mau berkompromi. Beliau menolak untuk dibungkam dan diam. Beliau terus menyuarakan perlawanan dari podium ke podium, dari desa ke kota. Dan akhirnya beliau ditangkap dan dipenjara di markas tentara. Beliau ditahan di kodim Jember selama enam bulan. Tanpa pengadilan. Bahkan di situpun beliau tetap tak bergeming. Sejengkal pun beliau tidak akan bergeser dari jalan ulama, apalagi berkhianat kepada Nahdlatul Ulama (NU).

Beberapa tahun setelah peristiwa kelam itu, Kiai Musikan alias KH Baihaqi, dipercaya untuk menjadi Rais Syuriah Pengurus Cabang NU Jember periode 1979-1984. Catatan tentang periode ini perlu lebih banyak digali lagi, terutama dari arsip-arsip NU.

Hanya ada beberapa potongan kisah yang masih perlu dirangkai lagi dan diteliti kevalidannya. Apa saja program yang telah dilakukan? Bagaimana dinamika politik, sosial, dan budaya NU Jember pada masa itu? Bagaimana posisi para Kiai NU Jember dalam dinamika dan pergolakan NU tingkat nasional menjelang Munas 1983 dan Muktamar 1984 di Situbondo yang merupakan titik penting dalam sejarah NU, khususnya berkaitan dengan keputusan kembali ke Khittah dan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal?

Tentu bukan sebuah kebetulan bahwa salah satu tokoh terpenting dalam rangkaian peristiwa itu — Munas 1983 dan Muktamar 1984— adalah KH Achmad Siddiq, yang berasal dari Jember.

Berdasarkan kesaksian KH Muzanni, salah seorang putra KH Baihaqi atau Kiai Musikan, pada masa itu Kiai Musikan rutin mengadakan pertemuan dengan beberapa Kiai di Jember, dan, secara khusus, beberapa kali pertemuan empat mata dengan Kiai Achmad Siddiq di Talangsari.

Menurut kesaksian putra beliau yang lain, KH Rosyidi, awalnya Kiai Musikan menolak konsep penerimaan asas tunggal Pancasila. Beliau mengkhawatirkan masa depan NU dan umat Islam di Indonesia. Sayangnya beliau tidak bisa hadir di Munas 1983 karena sedang sakit. Beliau diwakili oleh putranya, Kiai Rosyidi, dan menantunya, Kiai Sanusi.

Sepulang dari Munas, Kiai Rosyidi dan Kiai Sanusi secara bergantian melaporkan hasil keputusan Munas kepada Kiai Musikan. Setelah pemaparan panjang lebar dan penjelasan tentang berbagai macam sikap para Kiai yang hadir, Kiai Musikan lalu bisa menerima keputusan Munas itu dengan lapang dada.

Beberapa minggu setelah Munas itu, di awal tahun 1984, Kiai Musikan wafat. Sebelum wafat, salah satu wasiat beliau kepada semua anggota keluarga dan santri beliau adalah “Engko’ matoro’ah NU… NU… NU…” (Saya titip NU… NU… NU…) (*)

(Jember, Jumat, 31 Januari 2020)


Artikel ini ditulis oleh Ahmad Badrus Sholihin, Dosen IAIN Jember. Direpost dari Santrinews Sumenep dengan sedikit penambahan judul.