Kisah Ibu Kiai Hasyim, Sosok di Balik Tokoh Keramat Bumi Nahdliyin

 
Kisah Ibu Kiai Hasyim, Sosok di Balik Tokoh Keramat Bumi Nahdliyin

LADUNI.ID, Jakarta - Suatu ketika, Syaikh Abdul Qodir al-Jailani, Sultonul Awliya’, pernah ditanya oleh murid-muridnya. “Ya Syaikh, kenapa anak-anak anda tidak sama dengan anda.”

Sang Wali Agung menjawab, “karena ibu anak-anakku tidak sama dengan ibuku”.

Jawaban yang begitu singkat-padat. Namun sarat makna yang tentunya akan sangat panjang jika ditulis. Namun intinya, pengaruh dari seorang ibu pada putra-putrinya sedemikian besarnya, bahkan dalam membentuk pribadi yang bisa mengantarkan sang buah hati pada maqam terbaik dan tertinggi.

Kualitas seorang anak merupakan akibat dari sebab kualitas yang dimiliki sang ibu. Kualitas yang lahir dari ikhtiar batin dan sekaligus do’a.

Sebagaimana dilansir Mata Madura, tulisan ini mencoba mengulas tentang sosok ibu dari tokoh yang hingga kini namanya begitu harum dan membumi. Sosok yang melahirkan seorang pendiri Jam’iyah terbesar Nusantara, Jam’iyah Nahdlatul Ulama, yakni Hadhratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Sosok seorang perempuan shalihah bernama Nyai Halimah.

Keturunan Para Raja dan Wali

Ketika mengupas sejarah tokoh pendiri NU, Kiai Hasyim, maka tidak bisa lepas dari asal-usulnya sebagai seorang ulama yang berasal dari kalangan ulama-ulama besar di masanya.  Dan nasab beliau yang paling banyak dibincang justru dari jalur ibunya, Nyai Halimah, putri Kiai Usman.

Dari garis keturunan ibunya itu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan yang kedelapan Sultan Pajang, Adiwijaya atau yang lebih dikenal dengan Jaka Tingkir.

Muhammad Hasyim lahir pada tanggal 10 April 1875, bertepatan dengan 24 Dzulqaidah 1287 H, di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Ayahnya, Kiai Asy’ari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang.

Didapat dari sumber buku “KH Hasjim Asj’ari: Ulama Besar Indonesia (1963)”, Solichin Salam menjelaskan sedikit tentang Nyai Halimah, ibunda Kiai Hasyim.

Nyai Halimah lahir dengan nama Puteri Winih. Nama tersebut berarti benih. Berdasar catatan dalam buku, Putri Winih lahir pada tahun 1268 H, yang bertepatan dengan 1851 M. Putri Winih mempunyai 4 saudara yaitu Muhammad, Leler, Fadil, dan Arifah.

Kiai Usman, ayah Winih (Halimah) adalah salah seorang kiai terkenal dan besar pengaruhnya. Beliau Pengasuh Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang. Isteri Kiai Usman, sekaligus ibu Winih (Halimah), bernama Lajjinah (Layyinah).

Dari perkawinan Kiai Usman dan Nyai Layyinah ini, anak-anak keduanya seringkali meninggal pada masa kanak-kanak.

Sampai pada akhirnya Kiai Usman dianugerahi Sang Kuasa seorang bayi perempuan bernama Puteri Winih. Nama yang dikemudian hari diganti menjadi Halimah.

Dari garis ibunya, Putri Winih (Halimah) adalah cucu dari Nyai Sichah binti Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pengeran Sambo (Samhud Bagda) bin Pangeran Benowo (Syekh Abdul Halim) bin Jaka Tingkir (Syekh Abdurrahman) bin Raden Brawijaya VI atau Lembupeteng.

Kiai Usman mempunyai seorang santri bernama Asy’ari, pemuda cerdas dari Kota Demak. Asy’ari menjadi santri di Pondok Gedang (Nggedang). Kecerdasan dan kecakapan Asy’ari semakin hari semakin terlihat, dan membuat Kiai Usman tertarik kepadanya untuk dijadikan menantu.

Asy’ari pun akhirnya dinikahkan oleh Kiai Usman dengan puterinya, Halimah (Winih). Pasangan ini dianugerahi 11 orang anak yaitu, Nafi’ah, Ahmad Saleh, Muhammad Hasyim, Radiah Hasan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan. Muhammad Hasyim ini tentunya ialah Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari.

Ahli Tirakat

Nyai Halimah dikisahkan suka melakoni tirakat dan praktik sufi lainnya (Ahmad Baso, 2016). Kebiasaan tersebut mengikuti jejak ayahnya, Kiai Usman. Dalam sebuah riwayat, Nyai Halimah pernah berpuasa selama tiga tahun berturut-turut dengan niat tertentu.

Puasa tahun pertama ditujukan untuk kebaikan keluarga, tahun kedua diniatkan untuk kebaikan santrinya. Dan puasa tahun ketiga dimaksudkan untuk kemaslahatan masyarakat.

Ketika mengandung sampai melahirkan Hadhratusy Syaikh Kiai Hasyim, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan bahwa buah hati kelak akan menjadi orang besar.

Ketika mengandung Kiai Hasyim, Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya. Begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.

(RM Farhan, Mata Madura)