Mengenang Abah Hasyim Muzadi

 
Mengenang Abah Hasyim Muzadi

LADUNI.ID, Jakarta - Bulan Maret ini, rangkaian kegiatan haul ketiga mendiang Abah Hasyim Muzadi. Sebuah peringatan yang lazim dilakukan setiap tahun untuk mengenang sosok agung. Kepergian kiai, merupakan duka santri dan para pecintanya. Bahkan duka mendalam untuk sebuah bangsa.

Sebuah doktrin bahwa kepergiannya, hanyalah berpindah tempat. Ia wafat sebab kodrat jasad yang sudah ditetapkan-Nya, tetapi jiwanya tetap hadir dan dirasakan siapa saja. Jasad yang telah berpisah dari kehidupan dan alam normal manusia sebuah keputusan terbaik dari-Nya. Kodrat itu diyakini betul oleh Abah Hasyim Muzadi. Sebab itu, sebelum kepergiannya, ia meminta untuk menempelkan salah satu bait kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah al-Sakandari di sebuah dinding.

Bunyinya, “istirahatkan dirimu untuk mengatur apa yang sudah dalam ketetapan-Nya. Apa saja yang sudah diatur oleh selaimu maka kamu jangan mengaturnya untuk dirimu.”

Permintaan itu tak sedikitpun terbesit di kepala kami akan kepergiannya. Tapi itulah isyarat terakhir yang sangat jelas. Seperti berucap bahwa “tugasku di dunia sudah selesai”. Derai air mata dan penuh duka menghinggapi masyarakat Indonesia atas kepergian sosok bijaksana, toleran, moderat, politisi yang berkarakter dan ulama karismatik.

Saya pun menyadari, jasad memiliki umurnya. Ia akan dikembalikan kepada yang memilikinya. Tinggallah kebaikan dan manifestasi duniawinya yang dirasakan manusia sesudahnya. Panggilan suci itu tak bisa ditawar, apalagi digugat. Sebab Tuhan telah berisyarat, matinya ulama bentuk Tuhan sayang pada hamba itu.

Peringatan haul untuk mengenangnya sebagai sebuah refleksi kehidupan. Ungkapan bijak bestari dan langkah progresif yang dilakoninya, kerap perlu diulang-ulang. Terkadang, haul menjadi momentum penyadaran jiwa yang sebelumnya belum terketuk. Peringatan sakral yang menyelimuti rangkaian acara, kerap melahirkan pikiran-pikiran bernas sebagai kelanjutan pemikiran almarhum.

Laku memorial sang teladan yang dikumandangkan disela-sela acara bisa menembus sekat-sekat jiwa yang keras sekalipun. Terpaan angin kebaikan sang teladan mampu menggoyahkan pasak bumi. Sang teladan membuktikan bahwa hidup di jalan yang lurus, tidak saja membutuhkan energi yang kuat, tetapi keimanan yang mantab dan kokoh. Lintas ilmu menyatu pada gerak langkahnya. Terucapkan menjadi sebuah kesimpulan penuh perenungan dan pendalaman yang sesungguh-sungguhnya.

Laku memorial pun mampu mengingatkan manusia-manusia yang telah berkeping-keping untuk kembali bersatu dan merapikan barisan. Kebersatuan dalam ragam perbedaan hanya bisa diwujudkan oleh satu bukti kecintaan atas sang teladan.

Nostalgia tahunan ini bukanlah sembarangan peringatan biasa. Haul mengenang sang teladan, sebagai upaya peringatan atas pentas yang telah dilakoni sang teladan semasa hidupnya, dan diambil hikmahnya. Keteladanan ini dibutuhkan sebab kini keteladanan lebih sulit dibandingkan bunyi ujaran kebaikan. Iman tak lagi difaktakan dan agama tak lagi diindahkan. Baju agama kerap diganti sesuai kepentingan manusiawi. Lebih jauh lagi, agama ‘diperkosa’ sana-sini demi mencari legitimasi kelompok dan posisi Tuhan kerap diambil manusia yang merasa memegang kebenaran hakiki.

Abah Hasyim Muzadi memang telah pergi, tapi ia tidak mati. Sosoknya akan tetap hidup di hati kami semuanya. Warisannya menjadi pedoman hidup. Pemikirannya lintas zaman dan sekat ruang patut untuk dikenang walau seribu manusia mencoba memendamnya di dasar lautan. Wajahnya terus akan terbayang walau foto-fotonya telah ditiadakan sana-sini oleh mereka-mereka yang kalah dalam pentas duniawi. Sebab kami yakin, sang teladan tidak lagi membutuhkan pengakuan duniawi.

Abah… seandainya Tuhan mengabulkan permintaanku, maka aku akan meminta agar Tuhan menghidupkanmu kembali dan membimbing kami semuanya.

Rinduku padamu, abah…!
AL-FATIHAH

Makmun Rasyid