Kisah Pilu Bu Rima, Ngamen dari Klender ke RSCM Sambil Gendong Anaknya yang Cacat

 
Kisah Pilu Bu Rima, Ngamen dari Klender ke RSCM Sambil Gendong Anaknya yang Cacat

LADUNI.ID, Jakarta - Kisah pilu datang dari Ibu Rima, seorang pengamen yang tinggal di Klender berjalan kaki ke RSCM hanya untuk ngamen. Kisah ini diceritakan oleh Umi Nur Faizah, simak kisahnya.

***

Afwan… Tulisan ini ku jadikan satu ya biar utuh. Aku bingung ceritain si ibu dari bagian mana. Terlalu banyak potongan kisah penuh makna. Terlalu ambyar aku buat ceritain ini. Tapi aku harus cerita, agar kisahnya sampai. Agar banyak yang mendoakannya.

Tadi siang Aku baru selesai membeli teng-teng wijen kesukaan mama ku saat sosok nya berdiri di depan mini market sambil mengecrek botol berisi kerikil.

Aku itu sering underestimate pengamen, pengemis yang bawa anak. Karena banyak sekali pemberitaan soal “kepalsuan” kemiskinan mereka.

Kalo liat pengamen bawa anak, otakku auto nyinyir dan julid. Tapi ga tau kenapa, tadi liat si ibu ada yang gelitik-gelitik di dalam hati dan akhirnya menggerakkan diri buat manggil si ibu masuk ke minimarket.

“Bu, ini keranjang kosong boleh ibu isi kebutuhan ibu dan anaknya. Gratis.” Kataku sambil menyodorkan keranjang belanja kosong.

Ia bengong lalu mengambil keranjang itu tanpa bicara apa-apa. Kuikuti langkahnya, ia berhenti dan mengambil 2 kaleng kental manis. “Udah bu ini aja cukup.” Katanya..

Hanya 2 kaleng susu? Jadi, setiap pagi ia menyeduhkan 3 gelas  kental manis untuk ia, ibunya dan anaknya sebagai sarapan.

Karena Mereka Jarang Punya Uang Buat Beli Beras!

Gilaaa…! Sampe batas ini aja aku udah makdredeg. Anak dalam gendongannya, rizki namanya. Usia 7 tahun, tapi tidak bisa jalan karena tulang punggungnya bengkok.

“Seminggu sekali kita ke dokter ortopedi di RSCM bu buat kontrol.” Selain sehari untuk kontrol, si ibu ini bekerja seminggu 2 kali sebagai buruh cuci gosok, lalu hari sisanya ia mengamen berkeliling.

Rumahnya di Klender. Ia Ngamen Jalan Kaki Sambil Gendong Rizki yang Usianya Udah 7 Tahun Pake Jarik!

Baru saja aku bayangin betapa sakit pundaknya, bu Rima (si ibu pengamen) ngasih liat kapalan super gede di bahu nya karena terlalu lama menggendong rizki.

“Bu, beli beras ya?” Tawarku.

“Emang boleh bu?” Ia bertanya ragu-ragu.

Kuambil kan 2 kantong beras untuknya. Dan kuambil kan 3 kaleng kecil sarden sebagai pelengkap makannya.

Melihat sarden, ibu itu nanya ke aku. “Saya ga ngerti itu bukanya gimana bu.” Dia gak ngerti cara buka kaleng sarden karena ga pernah beli sarden.

Sarden, makanan sederhana yang seringkali aku tolak untuk santap tapi bagi bu Rima dan keluarga sarden saja sudah sangat mewah untuk dibayangkan sebagai pengisi perut.

“Suaminya ngamen juga bu?”

“Udah meninggal waktu rizki umur 4 tahun. Ketiban mesin waktu di pabrik, ancur semua badannya.”

Ringan saja bu Rima menceritakan itu, tapi mata sayunya tak bisa bohong. Ada banyak luka dan kesepian di matanya. Bu rima adalah tulang punggung untuk kehidupan anaknya, juga untuk ibunya yang sudah sangat sepuh dan tinggal bersama mereka.

Kutawari jajanan pada Rizki, dan ia meminta milo. Saat kuambil kan beberapa milo cair (kemasan kotak), bu Rima mencegahku. “Beli yang bubuk aja bu.” Katanya.

Ia menceritakan bahwa saat ikut mengamen, ia sering membelikan susu milo di tukang es pinggir jalan untuk rizki sebagai hadiah. Sebungkus susu milo dicairkan dengan air yang banyak agar bisa diminum berdua.

Meski encer dan tidak enak, mereka minum milo encer itu dengan nikmat. Bu rima takut kalau rizki nyobain Milo kotak, ia akan keenakan dan ga mau lagi minum Milo encer sedangkan ia tak akan pernah punya cukup uang untuk membeli lagi milo kotak untuk rizki.

Buat Mereka, Milo Encer Sudah Sangat Nikmat Sedangkan Aku Seringkali Menyeduh 2-3 Bungkus Milo Untuk Bia Saat Hujan-Hujanan

Allahu Allahu Allahu… Aku juga menawari bu rima minyak, gula, dan lain-lain tapi ia menolak dengan alasan di rumah masih ada. Ia tidak mengambil keuntungan karena dibelanjakan gratis. Ia merasa cukup.

Dan rasa cukup itu sungguh mahal harganya ditengah ego manusia yang seringkali merajai diri. “Kalo boleh saya beli krupuk mentah aja bu. Supaya kalo lagi ngga ada lauk, masih bisa makan nasinya pake krupuk”

Gustiii…! Ya Rabbiii...! Habis sudah hatiku mencelos oleh kisah Bu Rima, tapi Allah memang menitipkan banyak kisah lewat tubuh gemuk bu rima.. sebagai teguran untukku yang seringkali lalai bersyukur.

Saat kutawari cemilan, rizki hanya meminta Pocky karena ia sering melihat teman-teman di sekitar  rumahnya jajan biskuit panjang berbalut cokelat itu.

Hanya Pocky Saja!

Bahkan saat kutawari nugget, sosis, es krim dan lainnya, Rizki dengan senyumnya menyahut riang, “Gak usah, alhamdulillah…”

Leleh aku naaak… Maluuu akuuu, dengan banyaknya inginku akan dunia. Sedang kamu, sudah sangat bersyukur meski hanya untuk sekotak Biskuit.

Aku menanyakan alamat rumah, dan kucatat alamat mereka agar bisa kukunjungi setiap bulan dengan sembako yang membahagiakan mereka.

Dan aku kembali makdredeg taratakdungcesss saat aku menanyakan jadwal kontrol Rizki, agar bisa kubawakan Stroller untuk meringankan pundak Bu Rima.

Bu Rima setiap Selasa, berangkat sejak sebelum subuh agar bisa tiba di rscm sebelum siang dan antrean mengular.

Klender-RSCM memang bukan jarak yang sangat jauh bila ditempuh dengan kendaraan. Tapi jika sedang tidak mendapat tumpangan angkot gratis, Bu Rima harus berjalan kaki ke RSCM! Sambil menggendong Rizki.

“Kalo lagi ga boleh numpang angkot, alhamdulillah jadi bisa jalan sambil ngamen buat beli makan rizki di rumah sakit.”

Ah Rizki... Bu Rima. Kalian telah mengobrak abrik ego dan kesombonganku. Dan belanjaan berat itu, dibawanya di pundak sebelah sedang Rizki masih asyik digendongannya.

Aku menawarkan bu rima untuk pulang dengan Gojek tp ia menolak karena merasa sudah terlalu banyak dapet rezeki hari itu.

Aku pasti akan datangi mereka lagi, Membawakan kejutan-kejutan yang akan menambah lagi rasa syukur di hati mereka. Dan semoga Allah ridho, aku, bu rima, dan rizki menjadi saudara hingga syurga.

Barakallahufiikum teman-teman…

(Cerita dari Umi Nur Faizah)