Melamar Istri Menggunakan Mobil KH Ali Maksum

 
Melamar Istri Menggunakan Mobil KH Ali Maksum

LADUNI.ID, Jakarta - KH Ali Maksum adalah kiai yang sangat peduli dan akrab dengan santri, santri dianggap anak sendiri. Saking akrabnya,mereka tidak pernah sungkan dengan Mbah Ali. Ada sebuah kisah menarik, waktu itu belum ada yang punya mobil, tapi Mbah Ali sudah punya mobil VW. Para santri yang butuh mobil tinggal bilang ke Mbah Ali. Bahkan, guru-guru biasa meminjam mobil Mbah Ali untuk piknik. Saya juga melamar istri menggunakan mobil Mbah Ali.

Mbah Ali juga entengan untuk silaturrahim, bahkan ke rumah para santri sendiri. Mbah Ali juga punya kemampuan untuk menjembatani dua kubu yang kurang harmonis antara kubu Cipete dan kubu Situbondo dalam tubuh NU. Beliau juga berperan besar dalam menstabilkan dan mempersatukan NU setelah Muktamar NU 1984 yang sangat menentukan.

Mbah Ali juga yang telah mengantarkan semangat muda lahir dalam Muktamar Situbondo 1984, lahirlah sosok KH Ahmad Siddiq sebagai Rais Aam dan KH Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum. Gus Dur waktu itu masih sangat muda, usianya sekitar 40 tahun. Dengan hadirnya kaum muda progresif itulah, Mbah Ali mengharapkan NU mengalami kemajuan. Terbukti, KH Ahmad Siddiq dan Gus Dur mampu menegakkan Khittah NU dan membawa NU sebagai organisasi yang diperhitungkan secara internasional.

Di tengah kemajuan NU itulah, Gus Dur sering membuat kontroversi. Dan Mbah Ali adalah sosok guru yang berani memarahi dan mengkritik Gus Dur, di saat yang sama, Mbah Ali juga yang terus membela Gus Dur di tengah arus kontroversi. Mbah Ali memandang kontroversi yang dilakukan Gus Dur merupakan semangat anak muda dalam memahami dan mengartikulasikan pemikiran membaca realitas masyarakat.

Mbah Ali juga terkenal sangat demokratis dan toleran. Hal itu bisa dilihat dari sikap beliau terhadap Muhammadiyah. Ini pengalaman pribadi, Mbah Ali pernah naik Vespa ke Kauman dalam rangka mengijabkan warga Muhammadiyah. Tokoh-tokoh Muhammadiyah juga sering berkunjung ke kediaman Mbah Ali. Kondisinya mulai berbeda saat kepemimpinan Muhammadiyah bergeser dari Kauman.

Pada era Pak AR Fakhruddin terkenal dengan fatwa-fatwanya. Orang-orang Muhammadiyah selalu menjadikan fatwa Pak AR sebagai pijakan sikap. “Katanya Pak AR”, begitu kata mereka. Pak AR memang sangat populer, tetapi diajak diskusi dengan Mbah Ali tidak berani. Nah, mulai saat itu Mbah Ali mulai berjarak dengan Muhammadiyah. Dan lahirnya kitab Hujjah Ahl As-Sunnah wal-Jama’ah salah satunya dilatarbelakangi oleh hal tersebut.

Mbah Ali itu berbeda dengan pemikiran orang NU lainnya. Kalau orang NU pada umumnya menempatkan Syeik Abdul Qadir Jailani dalam segitiga Allah, Rasulallah, dan Syekh Abdul Qadir. Sementara Mbah Ali nggak. Menurut Mbah Ali, dzikir kepada Allah bisa dijalankan dalam segala hal. Jangan sampai berlebihan yang mengakibatkan tidak menjalankan tugas social kemasyarakatan. Mbah Ali mengharapkan ada keseimbangan, sehingga kesalehan bukan saja individu, melainkan juga sosial.

Mbah Ali adalah sosok teladan untuk warga NU sepanjang masa. Kita mesti melanjutkan semangat perjuangannya, sehingga NU ke depan semakin maju dan memberi kemaslahatan buat masyarakat.


Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Bangkit Edisi 03/TH.III.Khusus/2014, edisi Khusus KH. Ali Maksum tahun 2014. Tulisan ini disarikan dari wawancara dengan KH Asyhari Abta di Ndalem Krapyak. Sumber: Bangkit Media.