Hari Raya Abu Nawas dan Kulit Ketupat

 
Hari Raya Abu Nawas dan Kulit Ketupat

LADUNI.ID, Jakarta - Untuk memastikan perekonomian rakyat berjalan mulus dan lancar menjelang iedul fitri, Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan menteri perdagangannya, Al-Mukarrom Syaik Abdillah Ihsanuddin Al-Samarqandi, memantau pasar. Khalifah minta agar sang menteri mengecek bahwa semua kebutuhan pokok masyarakat tersedia, baik yang terbesar maupun yang terkecil. Satu saja bahan pokok tak ada di pasar, itu akan jadi “gorengan” politik sampai ke pelosok desa bahwa Harun tak becus memimpin Baghdad.

“Pastikan gula tersedia di pasar, harga garam murah, gandum tak kurang, pokoknya Anda cek semua kebutuhan pokok masyarakat,” titah baginda kepada Ihsanuddin. “Satu lagi, sekarang menjelang lebaran, jangan cuma pasokan daging yang dikontrol, tapi kulit ketupat juga. Barang murah biasanya diremehkan. Nanti orang bilang, kulit ketupat yang murah saja tak ada, apalagi daging!”

“Baik baginda, ashiaaap,” kata sang menteri.

Keluar dari istana, sang menteri langsung memanggil staf ahli negara, Abu Nuwas, untuk membantunya mengecek pasar. Ia memerintahkan pujangga cerdas yang dikenal loyal pada Sultan Harun ini untuk mengecek pasar dengan asumsi tak mungkin Abu Nuwas memberi laporan palsu. Ihsanuddin meminta Abu Nuwas mengecek pasar dan mendata semua yang ada di sana.

“Pastikan semua kebutuhan pokok rakyat tersedia dan tak ada yang menimbun barang,” titahnya.

Di pasar, alangkah bahagianya Abu Nuwas. Dia lihat semua kebutuhan rakyat tersedia. Rakyat gembira di bawah kepemimpinan Harun Al-Rasyid. Gula menumpuk, garam tersedia, gandum murah, daging apa saja ada, pokoknya Baghdad di bawah Harun Al-Rasyid benar-benar mecerminkan kemakmuran. Abu Nuwas juga mengecek kulit ketupat sesuai pesan sang menteri. Benar juga, jika kulit ketupat saja tak ada di pasar, bagaimana dengan kapulaga dan bawang Bombay?

Dengan wajah ceria, Abu Nuwas kembali ke kantor menteri perdagangan untuk melaporkan hasil surveinya. “Wah, Baghdad tersenyum di bawah kepemimpinan Khalifah Harun dan Menteri Ihsanuddin,” jelas Abu Nuwas. “Semua kebutuhan pokok tersedia!”

“Garam? Gandum? Gula?” tanya Ihsanuddin untuk menambah keyakinannya.

 “Ada.”

“Daging?”

“Banyak! Semua halal!”

“Kulit ketupat? Ingat ini musim lebaran?”

“Nah, kulit ketupat sudah saya cek, di semua pasar, kulit ketupat kosong!”

Mendengar jawaban Abu Nuwas, Ihsanuddin kaget luar biasa. Tanpa bertanya lagi ia bergegas menuju istana dan menyampaikan laporannya agar khalifah senang.

“Baginda, ada kabar baik, ada kabar buruk. Baginda mau dengar yang mana dulu?”

“Apa kabar baiknya?”

“Semua kebutuhan pokok tersedia di pasar.”

“Kabar buruk?”

“Kabar buruk, hanya kulit ketupat yang tak ada di pasar. Entah hilang dari pasaran atau ada yang menimbun,” katanya yakin.

Mendengar jawaban menterinya, Harun mengerahkan serdadunya untuk menebang pelepah kurma sebanyak mungkin lalu membuat kulit ketupat ramai-ramai. Ia ingin membanjiri pasar dengan kulit ketupat agar para penimbun kulit ketupat kecele dan rugi besar. Tapi Harun tak puas. Ia langsung terjun ke pasar hari itu juga mengecek lapangan. Tapi, betapa kaget khalifah karena di pasar ternyata banyak orang menjual kulit ketupat.

“Bagaimana ini, pak menteri, di pasar ternyata banya kulit ketupat dijual?”

Ihsanuddin juga kaget.

“Tapi tadi kata Abu Nuwas di semua pasar kulit ketupat hilang, tak ada di pasaran,” jelasnya terbata-bata. Ia lalu berteriak memanggil Abu Nuwas.

“Abu Nuwas, tadi Anda bilang kulit ketupat tak ada, hilang dari pasaran, bagaimana ini kok ternyata banyak?”

“Benarkah itu,” tanya Harun Al-Rasyid sambil memandang tajam pada Abu Nuwas.

Pujangga Baghdad ini dengan tenang kemudian mengambil beberapa kulit ketupat dari pedagang lalu menyerahkannya kepada Ihsanuddin dan Harun.

“Silakan pencet tuan-tuan,” kata Abu Nuwas dengan suara merendah.

“Apa maksud kamu,” tanya Khalifah.

“Apakah semua kulit ketupat itu kosong?”

“Ya benar, semuanya kosong.”

“Nah, itulah yang tadi saya sampaikan kepada menteri perdagangan. Tadi saya katakan, di semua pasar, kulit ketupat kosong. Lalu salah saya di mana?”

“Abu Nuwaaaaaaaassss,” teriak Ihsanuddin.

 

 


*) Oleh KH Helmi Hidayat, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan ini sebelumnya telah tayang pada laman Bangkit Media.