Hikmah di Balik "Laku Kontroversial" Gus Dur dan Gus Miek

 
Hikmah di Balik
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Banyak kyai kita di Indonesia yang sebagian tindakan dan perkataannya dianggap kontroversial. Bahkan karena dianggap telah berlebihan, sejumlah kyai kita yang punya "laku kontroversial" itu sering mendapat cercaan dan hinaan. Akan tetapi, pantaskah hinaan-hinaan itu diluncurkan kepada orang yang secara keilmuan dan akhlaknya jauh lebih tinggi melebihi penghinanya?

Terkait hal ini, KH. Bahauddin Nur Salim atau yang akrab disapa Gus Baha menerangkan tentang hikmah kenapa ada ulama atau kyai yang dianggap kontroversial tersebut. Hal ini tidak bisa disalahkan, karena memang terkait dengan realitas masyarakat kita yang tidak semuanya alim dan baik. Adalah wajar jika pasti ditemukan orang yang nakal karena berbagai faktor, seperti ekonomi, sosial, budaya dan semacamnya, yang semuanya itu mempengaruhi pola pikir dan kecenderungan.

Gus Baha mula-mula menerangkan bahwa sedekah ke orang sholeh itu bagus, tetapi sedekah ke orang nakal juga tidak dilarang. Dalam aturan fikih, uang yang digunakan orang nakal memang rawan untuk disalahgunakan, misalnya orang nakal yang mendapat sedekah itu nanti dikhawatirkan hanya dibuat beli sabu-sabu, dan lain-lain yang dilarang secara syariat.

Hal itu memang suatu wacana, tetapi jika di balik juga bisa. Selama ini orang nakal tidak simpati pada orang sholeh karena dia berkawan dengan orang nakal dan sering ditolong, tapi ketika berteman dengan orang sholeh, orang nakal tadi justru tidak dianggap. Nah, memang demikianlah wacana yang sering kita dengar. Makanya, sudah biasa kita menyaksikan bahwa orang nakal suka berteman dengan sesama orang nakal karena dianggap lebih asyik. Sebaliknya, orang nakal itu tidak mau berteman dengan orang sholeh karena dianggap tidak asyik.

Terkait hal ini, di dalam Al-Qur’an terdapat keterangan sebagaimana berikut: 

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)

Dari ayat ini, berteman dengan orang nakal pun harus dibuat nyaman. Sebab, dengan kenyamanan ini kita berharap dia akan simpati kepada kita dan akhirnya mau bertaubat. Makanya, dulu ada kyai-kyai seperti Gus Miek yang suka menemani orang-orang yang fasik. Di Jakarta ada kyai seperti Gus Dur dan lain sebagainya yang "ngemong" orang-orang fasik.

Bukan kita membela mereka, tetapi secara intelektual kita punya ruang untuk memberi hak mereka melakukan ijtihadnya. Jadi, kita bukan anti atau mendukung, tetapi kita memiliki khazanah untuk memberi ruang para ulama bahwa ijtihad itu tidak salah. Sebab, kalau kyai hanya menemani santri saja tanpa menemani orang nakal, maka orang nakal tidak akan punya kyai, sehingga peluang taubatnya tidak ada.

Itulah yang disebut sebagai khazanah dalam Islam. Memang tidak harus begitu, tetapi itu merupakan khazanah yang dulu juga dipraktikkan oleh Rasulullah SAW. Misal ada ulama yang kontroversi, tetapi itu diterima dalam konsepnya Nabi Muhammad SAW. Karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa hal itu merupakan khazanah yang menjadi kekayaan kita.

Konteks Gus Dur dan Gus Miek harus dipahami, bahwa "laku kontroversial" yang tampak dilakukannya itu adalah bukan tanpa sebab. Tetapi, tindakan dan perkataannya pasti ada tujuan-tujuan kemaslahatan bagi umat, yakni sama-sama ingin membuat orang kembali ke jalan yang baik. []


Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian KH. Bahauddin Nursalim. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 15 Juli 2020. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim