Model Dakwah Kebudayaan Sunan Kalijaga dalam Mensyiarkan Islam

 
Model Dakwah Kebudayaan Sunan Kalijaga dalam Mensyiarkan Islam
Sumber Gambar: dailysia.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Islam adalah agama yang sempurna, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Meski Islam hadir pertama kali di Arab Saudi, tapi berkat perjuangan umat Islam beserta ulamanya, agama ini mampu menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Islam di Indonesia mampu menciptakan akulturasi dengan menyerap spirit perjuangan masyarakat lokal. Penyatuan Islam dan kearifan lokal ini yang kemudian sering disebut dengan istilah "Islam Nusantara".

Konteks Indonesia, salah satu penyebar Islam yang penting adalah para ulama dan wali, khususnya Walisongo di Tanah Jawa. Mereka (Walisongo) merupakan sembilan ulama yang menyebarkan Islam dengan penuh kearifan, moderat, penuh nilai toleransi dan kedamaian.

Sebagaimana diketahui, Walisongo adalah pejuang Islam, pendidik dan ulama yang membawa nilai Islam yang mampu beradaptasi dengan kebudayaan lokal yang masih dipengaruhi kebudayaan Hindu-Buddha. Dengan prinsip mempertahankan budaya atau tradisi yang lama dan baik, serta memasukkan nilai Islam yang meski awalnya dianggap asing, pada akhirnya masyarakat membuka tangannya, sehingga dakwah Walisongo berjalan sukses dan masyarakat ramai-ramai memeluk Islam.

Salah satu Walisongo yang cukup dikenal masyarakat Indonesia adalah Sunan Kalijaga, seorang anak pejabat yang menyebarkan Islam dengan model kebudayaan yang mampu beradaptasi dengan nilai lokal. Melalui kearifan lokal berbentuk pembangunan masjid Agung Demak, kesenian wayang bernuansa Islami dan tembang/lagu Ilir-ilir, dakwah Sunan Kalijaga mampu mendapatkan hati dan tempat terbaik di kalangan pengikutnya. Ini membuktikan bahwa proses dakwah yang menggabungkan kebudayaan lokal dan Islam sudah berlangsung sejak dulu sebagaimana sukses dipraktikkan Sunan Kalijaga tersebut.

Memahami Kultur Islam di Nusantara

Islam sebagai sebuah agama mengatur kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk mencapai kesejahteraan itu, manusia diberikan akal pikiran dan wahyu yang berfungsi membimbing manusia dalam perjalanan hidupnya. Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui perantara Nabi Muhammad SAW. Tujuan dakwah Islam bersifat universal, bukan monopoli suku, daerah atau bangsa tertentu sehingga kehadiran Islam menembus sekat geografis antar negara. (Azyumardi Azra: 1998).

Meski begitu, Islam tidak lahir dari ruang kosong, melainkan selalu mampu berdialog dengan kearifan lokal termasuk budaya dan peradaban manusia Indonesia. Perpaduan budaya ini berjalan saling beriringan, mempengaruhi dan menyempurnakan, sehingga terbentuk pemahaman Islam yang melebur dalam tradisi Nusantara, yang kemudian disebut dengan istilah "Islam Nusantara". Hasil interaksi Islam dan budaya lokal pada akhirnya akan menghasilkan dua kemungkinan, yaitu Islam mewarnai, mengubah, mengolah dan memperbaharui budaya lokal, sedangkan kemungkinan kedua adalah Islam yang justru diwarnai budaya lokal (Simuh: 2003).

Dalam perjalanannya di Indonesia, ajaran Islam sudah terbukti mampu mewarnai, mempengaruhi dan mengubah budaya lokal dengan penuh kedamaian dan toleransi. Para ulama sejak dulu mengajarkan Islam sebagai agama yang anti kekerasan. Penyebaran Islam ditempuh dengan dialog penuh kebaikan, dakwah penuh keberkahan, pernikahan ulama atau pedagang dengan penduduk setempat dan akulturasi kebudayaan lokal dengan ajaran Islam. Lalu secara perlahan dan pasti Islam mengikis kepercayaan yang bersifat mistis dan tahayul, kemudian digantikan dengan gagasan rasional dan penuh kesucian. Dengan berbagai kelebihan itu, Islam di Nusantara dapat berkembang pesat dan diterima masyarakat secara luas.

"Islam Nusantara" jelas bukan sebuah agama yang baru, sebab perkembangan Islam sudah dibawa pedagang dan ulama sejak masa kerajaan Hindu-Buddha masih dominan mempengaruhi pemikiran masyarakat di Indonesia. "Islam Nusantara" bersifat akomodatif dan inklusif dalam mengintegrasikan nilai universal Islam dan peradaban lokal Indonesia yang hidup dan tidak bertentangan dengan Islam. Hal ini penting diperhatikan dalam melahirkan kembali karakter positif manusia Indonesia, seperti toleran, moderat, damai, ramah tamah, gotong-royong dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Islam menyerap spirit kearifan lokal yang baik dan meminggirkan secara halus kepercayaan atau keyakinan yang bertentangan dengan syariat Islam.

Sejatinya, setiap Muslim yang secara sadar mendeklarasikan syahadat akan terhindar dari sifat adigang adigung adiguna. Sifat negatif harus dihilangkan dan digantikan semangat menghargai perbedaan keyakinan, tidak diskriminatif, berprinsip Bhinneka Tunggal Ika, serta menjauhikan sifat ekslusif dan superior di antara manusia lainnya. (Ishom Yusqi, 2015).

Islam Nusantara adalah paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realitas dan budaya setempat. Spirit Islam Nusantara adalah praktik berislam yang didahului dialektika antara nash syariat dengan realitas dan budaya tempat umat Islam tinggal. (Afifuddin Muhajir, 2015).

Untuk lebih memperjelas makna Islam Nusantara, maka dapat digambarkan dalam dua kata, Islam dan Nusantara. Islam adalah ajaran samawi (langit), sedangkan Nusantara adalah tradisi ardhi (bumi). Maka secara sederhana, Islam Nusantara dapat diartikan sebagai ajaran langit yang membumi. Islam Nusantara bukan soal menilai buruk dan salah pada yang lain. Tapi lebih tentang di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Menjadi Nusantara adalah hal yang paling manusiawi bagi manusia Nusantara. Dilahirkan sebagai anak Nusantara, berakar kebudayaan negeri sendiri, berkebangsaan bangsa sendiri, dan menjadi diri sendiri. Bukan menjadi orang lain, tetapi justru kehilangan jati diri. Sebab, kehilangan terbesar adalah kehilangan diri sendiri. (Candra Malik: 2015).

Dalam kacamata yang bersifat akademis, Islam Nusantara mengacu kepada Islam di gugusan kepulauan atau benua maritim (Nusantara) yang mencakup Muslim Malaysia, Thailand Selatan (Patani), Singapura, Filipina Selatan (Moro), dan juga Champa (Kampuchea). Dengan cakupan seperti itu, Islam Nusantara sama sebangun dengan "Islam Asia Tenggara" (Southeast Asian Islam). Secara akademik, istilah terakhir ini sering digunakan secara bergantian dengan "Islam Melayu-Indonesia" (Malay-Indonesian Islam). Islam Nusantara bersifat inklusif, akomodatif, toleran dan dapat hidup berdampingan secara damai baik secara internal sesama kaum Muslimin maupun dengan umat-umat lain. (Azyumardi Azra: 2015)

Gagasan "Islam Nusantara" memang muncul dan ramai diperbincangkan setelah menjadi tema Muktamar Nadhlatul Ulama ke-33 di Jombang. Ketika pertama kali didengungkan sebagai pemikiran progresif dan berjiwa keindonesiaan, pro dan kontra langsung berdatangangan, sehingga memunculkan polemik panas dan berkepanjangan sesama umat Islam.

Tidak sedikit kalangan memberikan label negatif kepada ide "Islam Nusantara" tanpa mau mendialogkan secara terbuka dan kritis-konstruktif dengan komunitas yang memunculkan gagasan tersebut. Padahal "Islam Nusantara" sebagai inspirasi peradaban dunia berangkat dari empat pilar agung khas Nahdliyin, yaitu moderat, seimbang, toleran dan selalu berpihak kepada kebenaran. Gagasan "Islam Nusantara" juga terhitung progresif dan ilmiah sehingga harus terus disebarkan dan diupayakan dialog secara mendalam sehingga terwujud dalam kehidupan nyata.

Penulis berpandangan gagasan ini berangkat dari dua aspek keilmuan yang cukup penting, yaitu aspek sejarah dan aspek kebudayaan. Sejarah panjang Islam di Indonesia menempatkan ulama sebagai titik sentral dalam teladan membagikan pengetahuan Islam kepada masyarakat. Dalam konteks ini, ulama dianggap sebagai tempat bertanya dan referensi utama masyarakat dalam persoalan kehidupan sehari-hari dan spritualitas-keagamaan. Dengan kedudukan strategis itu, peran ulama dinanti dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Ulama adalah tokoh penting dalam menanamkan aqidah, tempat bertanya masalah dunia dan akhirat serta rujukan dalam berbagai persoalan kehidupan sehari-hari.

Mengingat pentingnya peran itu, para ulama menjadi pelaku sejarah dalam usaha menyebarkan Islam di Indonesia. Ulama adalah manusia yang dimuliakan masyarakat karena pengetahuan beragama yang kuat dan mendalam, sehingga seringkali kekuasaan ulama sangat besar, meliputi kehidupan politik, sosial dan ekonomi masyarakat. Konteks ini, ulama dalam artian kyai dan wali, khususnya Walisongo di Jawa memiliki kemampuan untuk menstruktur tindakan orang lain dalam bidang keislaman sesuai dengan keyakinan agamanya. Kemampuan itu meliputi pengetahuan keislaman, mengamalkan ajaran Islam dengan tertib dan konsisten menjalankan ajaran Islam sehingga merasakan dekat dengan Allah. (Busthami: 2007).

Dalam aspek budaya, sulit sekali melupakan bagaimana ulama berusaha menempatkan dakwah Islam dalam konteks kearifan lokal sehingga penerimaan masyarakat dapat berjalan baik. Para ulama memahami dan mengakui Islam berasal dari Arab, sehingga banyak dipengaruhi kebudayaan Arab. Tetapi untuk dapat diterima masyarakat Indonesia, Islam harus mampu menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan kebudayaan setempat (budaya suku atau kelompok masyarakat di Indonesia). Apalagi diketahui pengaruh animisme dan penyebaran agama Hindu dan Buddha masih kental mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga kreatifitas dalam berdakwah diperlukan agar tidak tercipta pergolakan dan penolakan keras masyarakat setempat terhadap keagungan ajaran Islam.

Sejarah mempertontonkan bagaimana kreativitas ulama berkembang dalam hal kebudayaan melalui sarana lokal seperti lagu, budaya wayang dan lainnya. Para ulama menganut prinsip mempertahankan tradisi atau kebudayaan yang lama dan baik, dan secara perlahan mengenalkan budaya baru yang lebih baik dan sesuai syariat Islam. Dalam hal ini, kita melihat bagaimana Islam dikenalkan dengan tanpa adanya paksaan. Kebudayaan dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat tetap berkedudukan dengan tepat bersanding bersama ajaran Islam yang agung dan inspiratif.

Meneladani Jejak Dakwah Walisongo

Proses Islamisasi di tanah Jawa tidak terlepas dari jasa para ulama yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Munculnya Walisongo mengakhiri dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara, yang kemudian digantikan dengan kebudayaan Islam. Walisongo adalah simbol penyebaran Islam di tanah Jawa dan berperan penting dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa. (Solikin, Syaiful dan Wakidi: 2013).

Secara umum, Walisongo diyakini berjumlah sembilan, yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Para ulama dan wali ini memiliki hubungan dekat, baik hubungan darah maupun hubungan guru dengan murid. Maulana Malik Ibrahim merupakan Walisongo tertua. Sunan Ampel mempunyai anak yang bernama Sunan Drajat dan Sunan Bonang. Sedangkan menantunya adalah Sunan Giri. Lalu Sunan Muria adalah putra dari murid Sunan Bonang, yakni Sunan Kalijaga. Kemudian disebutkan bahwa Sunan Kudus adalah murid Sunan Kalijaga. Sementara Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim, atau Sunan Gresik yang lebih dahulu telah meninggal. Memang kebenaran data tentang Walisongo ini banyak perbedaan pendapat di kalangan para peneliti, tetapi yang jelas bahwa eksistensi Walisongo tidak bisa diragukan sama sekali.

Para ulama hebat tersebut tidak hidup pada waktu yang bersamaan dan umumnya tinggal di pantai utara Jawa sejak awal abad 15 hingga pertengahan abad 16. Mereka bermukim di tiga wilayah penting yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah simbol intelektual agamis yang berperan strategis dalam membentuk peradaban Islam di tanah Jawa. Melalui pendekatan yang menyatukan Islam dan kearifan lokal, dakwah Walisongo mampu memikat hati masyarakat, sehingga banyak kalangan, baik raja dan rakyat jelata masuk Islam dengan kesadaran sepenuh hati dan tidak dipengaruhi paksaan pihak manapun.

Walisongo merupakan satu kesatuan organisasi yang mirip panitia ad hoc (kabinet) dalam urusan mengislamkan masyarakat Jawa. Setiap wali bertanggungjawab sebagai ketua bagian, seksi atau nayaka (menteri) yang sering berkumpul bersama dalam sebuah rapat dalam membahas tugas dakwah Islam yang sedang diperjuangkannya. Walisongo sebagai kesatuan organisasi berperan penting dalam pembangunan Masjid Demak yang dilaksanakan secara gotong royong. (Widji Saksono: 1996).

Dalam kegiatan dakwah, Walisongo menggunakan pendekatan bijaksana dan disesuaikan dengan pemahaman (pengetahuan masyarakat setempat terhadap Islam itu sendiri. Sunan Kalijaga misalnya membuat gamelan "Sekaten" yang kemudian dilanjutkan dengan acara "Sekaten" (Syahadatain) di Masjid Agung.

Dalam kesempatan lain, Sunan Kudus membuat lembu dengan hiasan unik dan menarik sehingga mengundang minat masyarakat luas untuk lebih mengenal Islam secara mendalam. Para Walisongo juga menggunakan kreasi lain seperti beduk atau kentongan sebagai tanda dimulainya waktu shalat lima waktu. Alternatif itu dilakukan, mengingat adzan yang diteriakkan melalui menara masjid terkadang kurang efektif dan komunikatif. (Mastuki: 2014).

Refleksi dan Inspirasi Model Dakwah Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga (nama kecil, Raden Said) merupakan salah satu Walisongo yang sangat terkenal. Beliau dilahirkan tahun 1455 M. Sunan Kalijaga memiliki darah keturunan ningrat, sebab ayahnya adalah Arya Wilatika, Adipati Tuban keturunan dari Ronggolawe. Ada beragam versi mengenai nama Sunan Kalijaga, yang mana masyarakat Cirebon berpendapat  bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon, mengingat dirinya pernah bertempat tinggal di Cirebon. Sebagian kalangan mengaitkan dengan tugas menjaga kali atau sungai yang memang diperintahkan oleh gurunya, Sunan Bonang. Perintah itu sebagai ujian kesetiaan dan keseriusannya dalam belajar agama Islam. Tapi ada pula yang menilai nama itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan. (Darmawan: 2011)

Dalam menjalankan dakwahnya, Sunan Kalijaga menyerap semangat kultural masyarakat Jawa yang masih dipengaruhi kebudayaan Hindu-Buddha. Paham keagamaannya cenderung “sufistik" yang berbasis "salaf” dan bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Untuk mengajak masyarakat masuk Islam, Sunan Kalijaga memilih jalur kebudayaan dan kesenian sebagai media dan sarana dakwah, sehingga cepat menyerap dan diterima secara hangat oleh masyarakat pada zamannya.

Sunan Kalijaga menjadi teladan terbaik dalam penyesuaian Islam dengan budaya lokal, berdasarkan prinsip mempertahankan yang lama dan baik, serta mengambil yang baru dengan lebih baik, sehingga ajaran Islam masuk ke dalam struktur berpikir masyarakat secara halus dan secara perlahan menghilangkan tradisi masyarakat yang bertentangan dengan syariat Islam. Dakwah Sunan Kalijaga banyak sekali mendapatkan pengikut dari kalangan masyarakat menengah ke bawah. (Anif Arifani: 2010).

Sunan Kalijaga berpendapat jika diserang prinsip yang selama ini dipegang secara teguh (keyakinan Hindu-Buddha) masyarakat akan menjauh. Sehingga diperlukan dakwah secara bertahap, sebab jika Islam sudah berhasil dipahami masyarakat, maka kebiasaan lama yang bertentangan dengan syariat akan hilang. Maka dapat disebut ajaran Sunan Kalijaga cenderung "sinkretis" dalam mengajak orang lain mengenal Islam. Beliau menciptakan berbagai media dakwah yang kreatif dan efektif. Ini menyebabkan dakwah di kalangan rakyat semakin meluas dan tak sedikit pula para petinggi kerajaan yang tertarik dengan dakwahnya. Beberapa di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede, Yogyakarta). Kemudian di akhir hayatnya, Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, selatan Demak. Secara umum banyak sekali sarana dakwah kreatif dari Sunan Kalijaga, tapi beberapa di antaranya yang fenomenal ada tiga yaitu masjid Demak, wayang dan lagu. (Afifudin Muhajir: 2015).

Tentang Pecahan Kayu Masjid Agung Demak

Diceritakan bagaimana para wali bergotong royong dalam membangun Masjid Agung Demak. Sunan Kalijaga mendapatkan tugas membuat satu dari empat tiang masjid. Dalam menjalankan tugas itu, beliau menggantikan balok kayu besar dengan pecahan kayu yang biasa disebut tatal. Sunan Kalijaga menyusun dan melekatkan bagian potongan kayu dengan lem dammar, kemenyan dan blendok. Dan tidak disangka, sampai sekarang, tiang itu masih bertahan kokoh. (Sudarsono: 2010).

Adanya soko tatal atau tiang dari pecahan kayu itu diartikan sebagai lambang spritualitas, persatuan dan kerukunan, mengingat dalam membangun Masjid Agung Demak sempat terjadi perpecahan dalam masyarakat Islam. Dalam kondisi itu, Sunan Kalijaga mendapatkan petunjuk untuk menyusun tatal yang ada menjadi tiang yang kuat dan kokoh. 

Pemahaman filosofis tatal adalah bahwa jika umat Islam bersatu, maka akan menjadi kuat dan jangan pernah sekalipun sesuatu yang sifatnya sisa seperti tatal. Dalam pengertian ini, Sunan Kalijaga secara tidak langsung mengajarkan makna "Islam Nusantara" dalam aspek bergotong royong, persatuan dan saling tolong menolong sebagai kunci sukses dunia dan akhirat. Aspek ini sesuai dengan jiwa kebangsaan yang menjadi variabel turunan dalam memaknai konsep "Islam Nusantara".

Sampai sekarang Masjid Agung Demak banyak dikunjungi Muslim seluruh Indonesia dan menjadi pusat agama terpenting di tanah Jawa. Islamisasi di Jawa termasuk daerah pedalaman banyak berawal dari syiar masjid bersejarah ini. Masjid Agung Demak bukan saja berkembang sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai ajang pendidikan, mengingat lembaga pendidikan pesantren pada masa awal ini belum menemukan bentuknya yang final. Masjid dan pesantren sesungguhnya merupakan center of excellence yang saling mendukung dan melengkapi dalam membentuk kepribadian muslim. Sesungguhnya pula dakwah dan pendidikan tidak dapat dipisahkan dalam sejarah dan ajaran besar Islam. (Siami Fitri: 2007).

Tentang Wayang dan Azimat Kalimasada

Wayang adalah sebuah kosakata asli bahasa Jawa yang berarti “bayang” atau “bayang-bayang” berasal dari akar kata "yang" dan mendapat awalan "wa" yang kemduian menjadi kata "wayang". (Darori Amin: 2000).

Masyarakat Jawa sebelum kedatangan agama Hindu-Buddha sudah terbiasa melakukan pertunjukkan wayang untuk memanggil roh nenek moyang. Pada masa Hindu-Buddha, wayang semakin berkembang dengan munculnya wayang kulit dan cerita dewa-dewa dalam mitologi kedua agama tersebut. Ketika Islam masuk ke Indonesia, wayang mulai mendapatkan sentuhan nilai-nilai Islami.

Sunan Kalijaga menyaksikan bagaimana masyarakat sangat menyukai wayang sehingga melihat ada peluang berdakwah dengan kesenian wayang. Pemikiran itu mendorongnya untuk mempopulerkan wayang yang sesuai syariat Islam. Beliau menciptakan cerita pewayangan versi Islam seperti Jimat Kalimasada dan Dewa Ruci, yang ceritanya hampir sama dengan kisah Nabi Khidir. Cerita itu masih berbentuk cerita menurut kepercayaan Jawa yang bernuansakan Islami dan dengan corak kehidupannya yang ada. (Imron Amar: 1992).

Ada dua alasan mendasar mengapa Sunan Kalijaga menggunakan wayang untuk menyebarkan agama Islam. Pertama, wayang adalah ciri khas seni yang halus dan mudah diterima masyarakat secara luas. Secara normatif, Sunan Kalijaga sudah menjalankan "Islam Nusantara" dengan konsep moderatisme yang mengajak seseorang masuk Islam tanpa kekerasan dan mampu beradaptasi dengan kebutuhan masyatakat sekitarnya. Kedua, pemakaian seni wayang menunjukkan kehebatan Sunan Kalijaga dalam menghidupkan tradisi atau budaya setempat yang berkorelasi dengan nilai Islam. Tercipta usaha mendialogkan dan mengkompromikan ajaran Islam dengan kebiasaan yang berkembang dan disenangi masyarakat setempat.

Dalam mengajak penonton wayang, Sunan Kalijaga mengganti biaya masuk yang umumnya membayar uang dengan membaca kalimat syahadat. Secara kreatif para tokoh wayang yang identik dengan kepahlawanan Hindu diganti denan nama rukun Islam yang lima. Yudhistira digambarkan sebagai dua kalimat syahadat sebab tokoh ini diberikan pusaka (Azimat) Kalimasada yang mampu melindungi dirinya dalam menghadapi serangan lawannya. Bima yang kekar, tegak dan kokoh digambarkan sebagai shalat. Shalat adalah tiang agama, maka seorang Muslim yang tidak menjalankan shalat akan meruntuhkan tiang agama. Arjuna yang senang bertapa digambarkan sebagai puasa sebagai proses menahan lapar, haus dan nafsu syahwat duniawi lainnya. Nakula dan Sadewa dipandang sebagai simbol zakat dan haji. (Ahmad Chadjim: 2003).

Tentang Lagu Ilir-Ilir

Lagu Ilir-Ilir merupakan salah satu tembang yang diciptakan Sunan Kalijaga dan cukup populer hingga sekarang. Pada masa dahulu, lagu ini sering dinyanyikan anak desa terutama pada malam purnama. Tanpa disadari, terdapat makna filosofis mendekat kepada Allah sebagai Tuhan yang menciptakan manusia dalam tembang ini. Muncul sikap optimistik agar seorang Muslim memperbanyak amal kebaikan sebagai bekal Hari Kiamat nanti. Para ahli tafsir menilainya sebagai sarana penyiaran agama Islam secara damai, tanpa paksaan dan kekerasan. Toleransi di dalam menyiarkan agama Islam sangat jelas sehingga terjadi asimilasi dan adaptasi antara ajaran Islam dengan kearifan lokal setempat. (Hariwijaya: 2006).

Teks Lagu Ilir-Ilir

Lir-ilir, lir-ilir tandure wis sumilir

Tak ijo royo-royo, tak sengguh kemanten anyar

Cah angon-cah angon, penekno blimbing kuwi

Lunyu-lunyu penekno, kanggo mbasuh dodot iro

Dodot iro-dodot iro, kumitir bedah ing pinggir

Dondomono jlumatono, kango sebo mengko sore

Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane

Sorak'o sorak hore...

Adapun makna yang terkandung dalam lagu Ilir-Ilir tersebut, dalam catatan Hasyim Umar, adalah sebagai berikut:

Lir-ilir, lir ilir tandure wisa sumilir (Makin subur dan tersiramlah agama Islam yang disiarkan wali dan muballigh).

Tak ijo royo-royo, tak sengguh kemanten Anyar (Hijau adalah warna lambang dari agama Islam yang dikira pengantin baru sehingga menarik perhatian masyarakat).

Cah angon-cah angon, penekno blimbing kuwi (Cah angon/penggembala adalah penguasa yang diharapkan mampu menggembalakan rakyat agar masuk Islam, sementara buah belimbing mempunyai segi atau kulit yang mencuat berjumlah lima yaitu lambang rukun Islam).

Lunyu-lunyu penekno, kanggo mbasuh dodot iro (Walaupun licin, sukar, tetapi usahakanlah agar dapat (agama Islam) agar mampu mensucikan dodot. Dodot adalah sejenis pakaian yang dipakai orang-orang atasan (trahing ngaluhur/jaman dulu). 

Dodot iro-dodot iro, kumitir bedah ing pinggir (Pakaian dan agamamu sudah robek karena dicampuri kepercayaan animisme dan upacara suci yang bertentangan dengan ajaran Islam). 

Dondomono jlumatona, kanggo sebo mengko sore (Agama yang rusak itu harus diperbaiki dengan agama Islam untuk menghadap Tuhan nanti sore). 

Mumpung jembar kalangane, mumung padhang rembulane (Mumpung masih hidup, masih ada kesempatan bertobat kepada Tuhan). Sorak'o sorak hore... (Bergembiralah kalian moga-moga mendapat anugerah dari Tuhan).

Melalui lagu ini, Sunan Kalijaga mengajak setiap orang, termasuk pemimpin kerajaan saat itu untuk memeluk Islam meskipun dalam menumbuhkan dan menyuburkannya terdapat banyak sekali kesulitan dan tantangan. Tapi jika tidak putus asa, maka Allah akan memberikan kebahagiaan. Lalu mengapa Sunan kalijaga memberikan dakwah kepada pemimpin atau raja? Sebab mereka adalah teladan yang ditiru dan dicontoh masyarakat. Perkataan dan tindakan pemimpin akan menjaci acuan bagi rakyatnya, sehingga jika pemimpinnya masuk Islam, maka rakyat akan mudah mengikutinya. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 02 September 2020. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Inggar Saputra

Editor: Hakim