Dakwah dan Nalar Zaman

 
Dakwah dan Nalar Zaman
Sumber Gambar: creativemarket.com, Ilustrasi: Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Pilihan kita berdakwah, menyeru kepada kebajikan dan kebenaran itu bisa dilakukan dengan cara biasa (bertemu muka) dan bisa dengan online, lewat jejaring medsos atau Youtube.

Hari ini semua serba online, kegiatan kita dimudahkan dengan cara ini. Tapi soal pengajaran ilmu agama, perlu dengan tatap muka. Yang konvensional harus tetap ada. Hanya di pesantren, pengajaran ilmu agama Islam bisa kita dapatkan dengan seutuhnya. Dari sejak buyut kita hingga anak cucu kita, mengaji ilmu agama itu tetap di pesantren. Sebab pesantren sangat otoritatif dalam hal kajian agama. Dan satu lagi yang sangat penting, bahwa kyai sebagai figur sentral dalam pesantren tentunya punya sanad keilmuan yang kualitatif yang diperoleh dari gurunya yang alim juga.

Menyiasati atau lebih tepatnya beradaptasi dengan perkembangan zaman yang semakin bergerak cepat ini, kita, santri, dan tentunya para kyai harus tanggap dan cerdas dalam menelaah problem sosial, jeli melihat perkembangan informasi, dan arus perubahan zaman. Prinsip kita jelas; merawat yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik, untuk kemudian mengembangkannya dengan konsep dan ide yang lebih baru. Apapun itu, jika tidak pandai membaca zaman, maka zaman akan meninggalkan kita. Walhasil, jangan lantas membiarkan kebenaran ilahiyah menjadi purbakala, hanya karena kita apatis atas kemajuan zaman.

Abraham Maslow (1908-1970) dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik, pernah mengatakan bahwa banyak sejarah agama yang terlembagakan menunjukkan suatu kecenderungan untuk mengembangkan dua sikap ekstrem, yakni kecenderungan yang bersifat mistik- individual di satu sisi, dan legalistik-organisasional di sisi lain.  

Pribadi religius yang autentik dan memiliki pemahaman mendalam akan mampu mengintegrasikan kecenderungan-kecenderungan ini dengan mudah dan otomatis. Kebanyakan orang kehilangan atau melupakan pengalaman religius subjektif, dan mendefinisikan ulang agama sebagai seperangkat kebiasaan, perilaku, dogma, bentuk-bentuk, yang di titik ekstrem menjadi sepenuhnya legalistik dan birokratis, konvensional, kosong, dan dalam makna yang sesungguhnya; anti religius.

Kita juga perlu menyandingkan pemikiran Mohammed Arkoun (1928-2010), seorang pemikir Islam Prancis ini, soal bagaimana memposisikan kita di tengah gerak zaman yang cepat. Arkoun mengatakan bahwa Islam harus membebaskan dirinya dari penindasan keterpaksaan, dari Islam "ortodoks" (kaku) dan bekerjasama dengan penganut agama lain untuk menciptakan dunia yang berakar pada kedamaian.

Ortodoksi yang disinggung Arkoun dipahami sebagai "kungkungan" paham yang sempit, seoalah agama hanya pada pendasaran atas teks-teks. Ia pun mengajak untuk keluar dari sikap tersebut, agar bisa bergandengan tangan dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Konsep Rahmatan lil 'alamin diimplementasikan dalam sikap-sikap kongkrit, seperti keteladanan, penghormatan atas sesama, menjunjung keadilan dan memperkuat persaudaraan.

Dua pandangan di atas dipahami sebagai tambahan nalar kita mengenali gerak zaman ini. Tidak cukup membusungkan diri di tengah peradaban dunia dengan klaim kebenaran sendiri, sementara kehendak zaman ternyata menginginkan suatu keterbukaan akan ajaran dan ilmu.

Harusnya kita hadirkan Islam sebagai yang terbuka untuk dikenali, dipahami, dan bila perlu diperdebatkan juga. Sebab Islam adalah ajaran yang tidak didasarkan pada dogma, melainkan pada kebenaran. Dan akal manusia yang sehat dan waras pasti akan menerima kebenaran itu. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 03 Januari 2022. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Hamdan Suhaemi

Editor: Hakim