Dalil Al-Qur’an dan Hadis tentang Cinta Tanah Air

 
Dalil Al-Qur’an dan Hadis tentang Cinta Tanah Air
Sumber Gambar: Freepik, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Nasionalisme berasal dari kata nation (B. Inggris) yang berarti bangsa. Menurut Kamus  Besar Bahasa Indonesia, kata bangsa memiliki beberapa arti: (1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri; (2) golongan manusia, binatang atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal usul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan, dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi (Lukman Ali, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 98).

Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki dua pengertian, yakni paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa. Nasionalisme dalam arti sempit dapat diartikan sebagai cinta tanah air. Selanjutnya, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan nasionalisme yaitu nasionalisme dalam arti sempit.

Al-Jurjani dalam kitabnya At-Ta’rifat mendefinisikan tanah air dengan Al-Wathan Al-Ashli.

اَلْوَطَنُ الْأَصْلِيُّ هُوَ مَوْلِدُ الرَّجُلِ وَالْبَلَدُ الَّذِي هُوَ فِيهِ

"Al-Wathan Al-Ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya." 

Dalil-dalil Cinta Tanah Air

Mencintai tanah air adalah hal yang sifatnya alami pada diri manusia. Karena sifatnya yang alamiah melekat pada diri manusia, maka hal tersebut tidak dilarang oleh agama Islam, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai Islam.

Meskipun cinta tanah air bersifat alamiah, bukan berarti Islam tidak mengaturnya. Islam sebagai agama yang sempurna bagi kehidupan manusia mengatur fitrah manusia dalam mencintai tanah airnya, agar menjadi manusia yang dapat berperan secara maksimal dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, serta memiliki keseimbangan hidup di dunia dan akhirat.

Berkenaan dengan vonis bahwa cinta tanah air tidak ada dalilnya, maka untuk menjawab vonis tersebut, perlu kiranya kita mencermati paparan ini. Berikut adalah dalil-dalil tentang bolehnya cinta tanah air:

1. Dalil Cinta Tanah Air dari Al-Qur’an

Salah satu ayat Al-Qur’an yang menjadi dalil cinta tanah air menurut penuturan para ahli tafsir adalah Al-Qur’an Surat Al-Qashash ayat 85:

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ

“Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.”

Para mufassir dalam menafsirkan kata "معاد" terbagi menjadi beberapa pendapat. Ada yang menafsirkan kata "معاد" dengan Makkah, Akhirat, kematian, dan Hari Kiamat. Namun menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib, mengatakan bahwa pendapat yang lebih mendekati yaitu pendapat yang menafsirkan dengan Makkah.

Syaikh Ismail Haqqi Al-Hanafi Al-Khalwathi (w. 1127 H) dalam tafsirnya Ruhul Bayan mengatakan:

وفي تَفسيرِ الآيةِ إشَارَةٌ إلَى أنَّ حُبَّ الوَطَنِ مِنَ الإيمانِ، وكَانَ رَسُولُ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ كَثِيرًا: اَلْوَطَنَ الوَطَنَ، فَحَقَّقَ اللهُ سبحانه سُؤْلَهُ....، قَالَ عُمَرُ رضى الله عنه لَوْلاَ حُبُّ الوَطَنِ لَخَرُبَ بَلَدُ السُّوءِ فَبِحُبِّ الأَوْطَانِ عُمِّرَتْ البُلْدَانُ.

“Di dalam tafsirnya ayat (QS. Al-Qashash: 85) terdapat suatu petunjuk atau isyarat bahwa “cinta tanah air sebagian dari iman”. Rasulullah SAW (dalam perjalanan hijrahnya menuju Madinah) banyak sekali menyebut kata; “tanah air, tanah air”, kemudian Allah SWT mewujudkan permohonannya (dengan kembali ke Makkah)... Sahabat Umar r.a berkata; “Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang jelek (gersang), maka sebab cinta tanah air itulah, kemudian dibangun negeri-negeri.” (Ismail Haqqi al-Hanafi, Ruhul Bayan, juz 6, hlm. 441-442).

Selanjutnya, ayat yang menjadi dalil cinta tanah air menurut ulama yaitu Al-Qur'an Surat An-Nisa’ ayat 66.

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِم أَنِ اقْتُلُوْا أَنْفُسَكم أَوِ أخرُجُوا مِن دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوْه إِلَّا قليلٌ منهم

“Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik): ‘Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!’ niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka."

Syaikh Wahbah Az-Zuhaily dalam tafsirnya Al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj menyebutkan:

وفي قوله: (أَوِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ) إِيْمَاءٌ إِلىَ حُبِّ الوَطَنِ وتَعَلُّقِ النَّاسِ بِهِ، وَجَعَلَه قَرِيْنَ قَتْلِ النَّفْسِ، وَصُعُوْبَةِ الهِجْرَةِ مِنَ الأوْطَانِ.

“Di dalam firman-Nya (وِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ) terdapat isyarat akan cinta tanah air dan ketergantungan orang dengannya, dan Allah menjadikan keluar dari kampung halaman sebanding dengan bunuh diri, dan sulitnya hijrah dari tanah air.” (Wahbah Az-Zuhaily, Al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj, juz 5, hlm. 144).

Pada kitabnya yang lain, Tafsir Al-Wasith, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily mengatakan:

وفي قَولِهِ تَعَالى: (أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيارِكُمْ) إِشَارَةٌ صَرِيْحَةٌ إلَى تَعَلُقِ النُفُوْسِ البَشَرِيَّةِ بِبِلادِها، وَإِلَى أَنَّ حُبَّ الوَطَنِ مُتَمَكِّنٌ فِي النُفُوْسِ وَمُتَعَلِقَةٌ بِهِ، لِأَنَّ اللهَ سُبْحانَهُ جَعَلَ الخُرُوْجَ مِنَ الدِّيَارِ وَالأَوْطانِ مُعَادِلاً وَمُقارِنًا قَتْلَ النَّفْسِ، فَكِلَا الأَمْرَيْنِ عَزِيْزٌ، وَلَا يُفَرِّطُ أغْلَبُ النَّاسِ بِذَرَّةٍ مِنْ تُرابِ الوَطَنِ مَهْمَا تَعَرَّضُوْا لِلْمَشَاقِّ والمَتَاعِبِ والمُضَايَقاتِ.

"Di dalam firman Allah “keluarlah dari kampung halaman kamu” terdapat isyarat yang jelas akan ketergantungan hati manusia dengan negaranya, dan (isyarat) bahwa cinta tanah air adalah hal yang melekat di hati dan berhubungan dengannya. Karena Allah SWT menjadikan keluar dari kampung halaman dan tanah air, setara dan sebanding dengan bunuh diri. Kedua hal tersebut sama beratnya. Kebanyakan orang tidak akan membiarkan sedikitpun tanah dari negaranya manakala mereka dihadapkan pada penderitaan, ancaman, dan gangguan.” (Wahbah Az-Zuhaily, Tafsir Al-Wasith, juz 1, hlm. 342).

Ayat Al-Qur’an selanjutnya yang menjadi dalil cinta tanah air, menurut ahli tafsir kontemporer, Syaikh Muhammad Mahmud Al-Hijazi, yaitu pada Surat At-Taubah ayat 122.

وَما كانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

"Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya."

Syaikh Muhammad Mahmud Al-Hijazi dalam Tafsir Al-Wadlih menjelaskan ayat di atas sebagai berikut:

وتُشِيرُ الآيةُ إلى أنَّ تَعَلُّمَ العلمِ أَمْرٌ واجِبٌ على الأمَّةِ جَميعًا وُجُوبًا لا يَقِلُّ عَن وُجوبِ الجِهادِ والدِّفاعُ عَنِ الوَطَنِ وَاجِبٌ مُقَدَّسٌ، فَإِنَّ الوَطَنَ يَحْتاجُ إلى مَنْ يُناضِلُ عَنْهُ بِالسَّيفِ وَإِلَى مَنْ يُنَاضِلُ عَنْهُ بِالْحُجَّةِ وَالبُرْهَانِ، بَلْ إِنَّ تَقْوِيَةَ الرُّوحِ المَعْنَوِيَّةِ، وغَرْسَ الوَطَنِيَّةِ وَحُبِّ التَّضْحِيَةِ، وَخَلْقَ جِيْلٍ يَرَى أَنَّ حُبَّ الوَطَنِ مِنَ الإِيمَانِ، وَأَنَّ الدِّفَاعَ عَنْهُ وَاجِبٌ مُقَدَّسٌ. هَذَا أَسَاسُ بِنَاءِ الأُمَّةِ، ودَعَامَةُ اسْتِقْلَالِهَا.

“Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa belajar ilmu adalah suatu kewajiban bagi umat secara keseluruhan, kewajiban yang tidak mengurangi kewajiban jihad, dan mempertahankan tanah air juga merupakan kewajiban yang suci. Karena tanah air membutuhkan orang yang berjuang dengan pedang (senjata), dan juga orang yang berjuang dengan argumentasi dan dalil. Bahwasannya memperkokoh moralitas jiwa, menanamkan nasionalisme dan gemar berkorban, mencetak generasi yang berwawasan ‘cinta tanah air sebagian dari iman’, serta mempertahankannya (tanah air) adalah kewajiban yang suci. Inilah pondasi bangunan umat dan pilar kemerdekaan mereka.” (Muhammad Mahmud Al-Hijazi, Tafsir Al-Wadlih, juz 2, hlm. 30).

Ayat-ayat di atas sebagaimana telah jelaskan oleh para mufassir dalam kitab tafsirnya masing-masing merupakan dalil cinta tanah air di dalam Al-Qur’an Al-Karim.

2. Dalil Cinta Tanah Air dari Hadis

Berikut ini adalah beberapa Hadis yang menjadi dalil cinta tanah air menurut penjelasan para ulama ahli hadis, yang dikupas tuntas secara gamblang:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة حُبِّ الوَطَنِ والحَنِينِ إِلَيْهِ

"Diriwayatkan dari sahabat Anas; bahwa Nabi SAW ketika kembali dari bepergian, dan melihat dinding-dinding madinah beliau mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkanya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah." (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, dan Tirmidzi).

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany (w. 852 H) dalam kitabnya Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, menegaskan bahwa dalam Hadis tersebut terdapat dalil (petunjuk): pertama, dalil atas keutamaan kota Madinah; kedua, dalil disyariatkannya cinta tanah air dan rindu padanya.

Sependapat dengan Al-Hafidz Ibnu Hajar, Badruddin Al-Aini (w. 855 H) dalam kitabnya ‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari menyatakan:

وَفِيه: دَلَالَة عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّةِ حُبِّ الوَطَنِ وَاْلحِنَّةِ إِلَيْهِ

“Di dalamnya (Hadis) terdapat dalil (petunjuk) atas keutamaan Madinah, dan (petunjuk) atas disyari’atkannya cinta tanah air dan rindu padanya.” (Badruddin Al-Aini, Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, juz 10, hlm. 135).

Imam Jalaluddin Al-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya At-Tausyih Syarh Jami As-Shahih menyebutkan:

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي حُمَيْدٌ، أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ، فَأَبْصَرَ دَرَجَاتِ المَدِينَةِ، أَوْضَعَ نَاقَتَهُ، وَإِنْ كَانَتْ دَابَّةً حَرَّكَهَا»، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: زَادَ الحَارِثُ بْنُ عُمَيْرٍ، عَنْ حُمَيْدٍ: حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا. حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: جُدُرَاتِ، تَابَعَهُ الحَارِثُ بْنُ عُمَيْرٍ. (درجات): بفتح المهملة والراء والجيم، جمع "درجة"، وهي طرقها المرتفعة، وللمستملي: "دوحات" بسكون الواو، وحاء مهملة جمع دوحة، وهي الشجرة العظيمة. (أوضع): أسرع السير. (مِنْ حُبِّها) أي: المدينةِ، فِيْهِ مَشْرُوعِيَّةُ حُبِّ الوَطَنِ والحَنينِ إليه

“Bercerita kepadaku Sa’id ibn Abi Maryam, bercerita padaku Muhammad bin Ja’far, ia berkata: mengkabarkan padaku Humaid, bahwasannya ia mendengan Anas r.a berkata: Nabi SAW ketika kembali dari bepergian, dan melihat tanjakan-tanjakan Madinah beliau mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkanya. Berkata Abu Abdillah: Harits bin Umair, dari Humaid: beliau menggerakkannya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah. Bercerita kepadaku Qutaibah, bercerita padaku Ismail dari Humaid dari Anas, ia berkata: dinding-dinding. Harits bin Umair mengikutinya.” (Jalaluddin Al-Suyuthi, At-Tausyih Syarh Jami As-Shahih, juz 3, hlm. 1360).

Sependapat dengan Ibn Hajar Al-Asqalany, Imam Suyuthi di dalam menjelaskan Hadis sahabat Anas di atas, memberikan komentar, di dalamnya (hadis tersebut) terdapat unsur disyariatkannya cinta tanah air dan merindukannya.

Ungkapan yang sama juga disampaikan oleh Syaikh Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman Al-Mubarakfuri (wafat 1353 H), dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi Syarh At-Tirmidzi, sebagaimana berikut ini:

وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّةِ حُبِّ الْوَطَنِ وَالْحَنِينِ إِلَيْهِ .

Hadis berikutnya yang menjadi dalil cinta tanah air yaitu hadis riwayat Ibn Ishaq, sebagimana disampaikan Abu Al-Qosim Syihabuddin Abdurrahman bin Ismail yang masyhur dengan Abu Syamah (w. 665 H) dalam kitabnya Syarhul Hadis Al-Muqtafa fi Mab’atsil Nabi Al-Mushtofa, sebagaimana berikut:

قَالَ السُّهَيْلِي: " وَفِي حَدِيْثِ وَرَقَةَ أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - لَتُكَذَّبَنَّهْ، فَلَمْ يَقُلْ لَهُ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - شَيْئاً، ثُمَّ قَالَ: وَلَتُؤْذَيَنَّهْ، فَلَمْ يَقُلْ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - شَيْئاً، ثُمَّ قَالَ: وَلَتُخْرَجَنَّهْ، فَقَالَ: َأوَ مُخْرِجِيَّ هُمْ؟ فَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى حُبِّ اْلوَطَنِ وَشِدَّةِ مُفَارَقَتِهِ عَلَى النَّفْسِ.

“As-Suhaily berkata, dan di dalam hadis (tentang) Waraqah, bahwasanya ia berakata kepada Rasulullah SAW; sungguh engkau akan didustakan, Nabi tidak berkata sedikitpun. Lalu ia berkata lagi; dan sungguh engkau akan disakiti, Nabi pun tidak berkata apapun. Lalu ia berkata; sungguh engkau akan diusir. Kemudian Nabi menjawab: “Apa mereka akan mengusirku?”. As-Suhaily menyatakan di sinilah terdapat dalil atas cinta tanah air dan beratnya memisahkannya dari hati.” (Abu Syamah, Syarhul Hadis Al-Muqtafa fi Mab’atsil Nabi Al-Mushtofa, hlm. 163).

Abdurrahim bin Husain Al-Iraqi (w. 806 H) di dalam kitabnya Tatsrib fi Syarh Taqribil Asanid wa Tartibil Masanid, pada Hadis yang sama, juga mengutip pendapatnya As-Suhaily:

فَقَالَ السُّهَيْلِيُّ فِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى حُبِّ الْوَطَنِ وَشِدَّةِ مُفَارَقَتِهِ عَلَى النَّفْسِ.

“Al-Suhaily berkata: di sinilah terdapat dalil atas cinta tanah air dan beratnya memisahkannya dari hati.” (Abdurrahim Al-Iraqi. Tatsrib fi Syarh Taqribil Asanid wa Tartibil Masanid, juz 4, hlm. 196)

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa cinta tanah air memiliki dalil yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama seperti; Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqalany, Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Abdurrahim Al-Iraqi, Syaikh Ismail Haqqi Al-Hanafi, dan yang lainnya. Sehingga vonis cinta tanah air tidak dalilnya jelas tidak benar dan tidak berdasar. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 29 September 2020. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Supriyono, Dosen STAIN Kudus (Wakil Sekretaris PC GP Ansor Bidang Litbang Kabupaten Kudus)

Editor: Hakim