Langkah Membangun Kepercayaan setelah Dikhianati

 
Langkah Membangun Kepercayaan setelah Dikhianati
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Dalam hiruk-pikuk hubungan sosial seperti sekarang ini, trust (kepercayaan) itu seperti berlian. Ia sungguh sulit untuk ditemui dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, setiap hari kita selalu bertemu dengan segala hal yang tidak menyenangkan, seperti pengkhianatan antarteman, antarrekan kerja, bahkan juga terjadi antarsanak saudara.

Sesungguhnya hal yang tidak menyenangkan tersebut tidak layak untuk kita tangisi dengan air mata. Tidak layak pula untuk kita sesali secara berlebihan. Sebab, masih ada cara yang perlu kita lakukan agar kita terhindar dari pengkhiantan-pengkhianatan yang dilakukan oleh orang lain untuk kita.

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh KH. Buya Syakur Yasin, bahwa kita semua di Indonesia seringkali mengalami pengkhianatan. Bukan hanya pengkhianatan dalam hal percintaan, tetapi juga pengkhianatan dalam hal apapun, seperti hubungan sosial, hubungan pekerjaan atau bisnis, hubungan politik, bahkan pengkhianatan dalam persaudaraan. Sehingga, pada akhirnya hanya akan melahirkan kekecewaan di dalam hati kita.

Semisal, ada orang yang sudah kita bina dan didik sepanjang waktu sehingga ia menjadi orang yang memiliki jabatan tertentu, tetapi, tiba-tiba orang tersebut malah berbalik mengkhianati kita. Otomatis kita akan mengalami kekecewaan yang tiada tara, dan itu bahkan bisa terjadi secara berulang-ulang.

Lalu bagaimana cara kita memproteksi agar kita tidak mengalami kekecewaan secara berulang-ulang?

Mengani hal ini, Buya Syakur Yasin menyampaikan, agar kita tidak mengalami kekecewaan berulang-ulang, maka sebagai orang Islam kita harus kembali kepada petunjuk yang disampaikan oleh Allah di dalam Al-Qur’an itu sendiri. Misalnya, dalam hal muamalah/bisnis/utang-piutang, maka harus disertai bukti secara tertulis. Contoh, saudara kita pinjam uang 100 juta. Meskipun itu adalah saudara kita, tetapi kita harus tetap mencatatnya.

Hal ini sebagaimana telah disampaikan di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔاۗ فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْا ۗ وَلَا تَسْـَٔمُوْٓا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖۗ ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْٓا اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah, tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan/menyampaikan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Dari ayat inilah dapat diketahui bahwa setiap transaksi atau muamalah yang dilakukan setidaknya perlu ditulis dan harus ada jaminan. Biasanya, jika sudah terkait dengan sanak saudara atau pun orang yang dekat, maka mencatat atau menulis ini malah ditinggalkan. Padahal apa yang diperintahkan di dalam Al-Qur’an sangat penting bagi umat Islam itu sendiri.

Jika kita tidak mengikuti apa yang ada di dalam Al-Qur’an yang merupakan petunjuk dari Allah, misalnya dalam hal muamalah sebagaimana disebutkan di atas, tetapi ternyata kita tidak menuliskan catatan, maka ketika kita dikhianati, seharusnya kita tidak boleh dendam karena itu juga merupakan kesalahan kita sendiri. Apalagi yang bersangkutan itu adalah teman kita atau saudara sendiri, maka tidak perlu kita membencinya, sebab itu merupakan bagian dari kesalahan kita sendiri yang tidak mengikuti petunjuk Al-Qur’an.

Begitupula dalam hal apapun, harus selalu mengikuti petunjuk yang ada di dalam Al-Qur’an, baik itu di dalam hubungan sosial, politik, bisnis dan sebagainya. Tentunya dengan terus mempelajarinya dengan benar berlandaskan ilmu. Atau ketika tidak memahaminya, maka harus bertanya atau berguru kepada orang yang mengerti tentang hal itu, yakni para ulama.

Semoga tulisan ini menjadi petunjuk yang bermanfaat bagi umat manusia, khususnya bagi umat Islam dalam menjalankan hubungan antarmanusia (hablun minannas) yang tentu berdampakk pula dengan hubungan kepada Allah SWT (hablun minallah). []


Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian KH. Abdul Syakur Yasin. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 05 Oktober 2020. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim