Tradisi Rebo Wekasan di Masyarakat Cirebon

 
Tradisi Rebo Wekasan di Masyarakat Cirebon
Sumber Gambar: Dokumentasi Istimewa, Iluatrasi: Laduni.id

LADUNI.ID, Jakarta - Rebo Wekasan merupakan tradisi yang sudah ada sejak zaman Wali Songo. Tradisi ini secara turun-temurun terus dilestarikan di sebagian masyarakat Indonesia, salah satunya di daerah Cirebon.

Di Kota Udang ini, atau lebih tepatnya bagi warga Blok Pesarean, Kelurahan Gegunung, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon dalam memperingati tradisi rebo wekasan, para warga biasanya melakukan beberapa kegiatan.

Kegiatan tersebut diawali, dengan melaksanakan Shalat Hajat Tolak Bala sebanyak dua rakaat di Kawasan Situs Makam Pangeran Pasarean.

Setelah Shalat Hajat Tolak Bala, para warga kemudian membaca kidung air (tisting yang berarti asal mula air) dan kidung kerhayuan (kidung keselamatan). Dengan harapan, memohon dijauhkan dari bala dan bencana.

Tradisi tersebut ditutup dengan melakukan tawurji, yaitu tawur yang berarti melempar uang koin, dan aji yang berarti tuan haji atau orang yang mampu, atau secara sederhana maknanya adalah mengingatkan bagi orang yang mampu disuruh untuk bersedekah kepada warga, terutama anak-anak yatim. Kemudian setelah tawurji, acara selanjutnya ialah ngapem dan menyantap nasi uduk bersama.

Selain dengan memanjatkan doa, tradisi rebo wekasan dilanjutkan dengan tradisi ngirab atau dengan mandi bersama di Sungai Cipager. Hal tersebut dilakukan sebagai simbol untuk menghilangkan segala penyakit yang ada tubuh agar terbawa hanyut oleh air.

Dalam tradisi ngirab sendiri berawal dari kebiasaan Sunan Kalijaga yang pada saat dahulu kala, pernah memandikan warga Cirebon yang terkena pagebug atau wabah penyakit di Sungai Drajat. Setelah dimandikan di Sungai Drajat, dengan karomahnya para warga yang mempunyai penyakit langsung sembuh.

Dalam pelaksanaannya, tradisi rebo wekasan dimulai ketika berakhirnya bulan Safar dalam kalender hijriah. Pada intinya, tradisi adalah sebagai cara untuk doa bersama untuk meminta dijauhkan dari segala bencana dan musibah. Sebab, menurut kaum sufi, Allah menurunkan lebih banyak bencana di Bulan Safar.


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 12 Oktober 2020. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

______

Editor: Athallah