Invisible Hand’s dan Kisah Semut yang Saling Bunuh

 
Invisible Hand’s dan Kisah Semut yang Saling Bunuh

LADUNI.ID, Jakarta - Apabila kita mengumpulkan 100 semut hitam dan 100 semut merah, lalu menempatkan mereka semua di dalam sebuah toples, maka segalanya akan baik-baik saja.

Akan tetapi, apabila kita mengguncang-guncangkan toples tersebut dengan keras, maka semut hitam dan semut merah akan saling membunuh satu sama lain.

Semut hitam akan menganggap semut merah sebagai musuh utamanya, dan sebaliknya, semut merah juga akan meyakini semut hitam sebagai musuh utamanya.

Walaupun ternyata musuh sesungguhnya adalah orang yang mengguncang-guncangkan toples tersebut dengan keras, yang tidak mampu terlihat oleh semut tersebut.

Oleh karena itu, sebelum kita sebagai anak bangsa saling bertengkar karena perbedaan, kita harus sama-sama menyadari bahwa ada yang mengguncang-guncangkan negara kita.

***

Ilustrasi di atas ditulis oleh Ronie Syakir untuk menggambarkan bagaimana genderang perpecahaan sedang ditabuh oleh tangan-tangan tak terlihat (invisible hand’s). Ilustrasi tersebut setidaknya mengajak kita semua, rakyat Indonesia, untuk menyadari bahwa sebenarnya kita sedang diadu-domba.

Kita bisa melihat bagaimana demonstrasi pecah gara-gara kabar dan berita yang dibuat oleh invisible hand’s itu tadi tentang UU Cipta Kerja. Padahal, yang beredar hanya Rancangan UU-nya, bukan UU resmi yang sudah ditandatangani atau direvisi pemerintah.

Tapi, begitu gampangnya masyarakat kita diprovokasi padahal tidak paham duduk perkaranya. Akibatnya, beberapa orang menjadi korban dan tidak ketinggalan juga banyak fasilitas publik yang rusak akibat hoaks dan berita palsu yang sengaja disebar.

Bukan hanya masalah UU Cipta Kerja, masyarakat kita sebenarnya sudah kenyang dengan pengalaman dibenturkan dan dibuat pecah-belah oleh orang-orang yang punya kepentingan politik parsial. Seringnya, kita malah (terbiasa) menerima jadi korban.

***

Tidakkah kita merasa bahwa semut hitam dan semut merah itu adalah kita sendiri, yang selalu tersulut emosi dan menganggap perbedaan sebagai musuh yang harus ditikam? Belum cukupkah kita menyerang saudara kita sendiri yang sebangsa dan setanah air?

Jika semua apa yang kita alami masih belum bisa membuat kita tersadar, mungkin sudah tiba saatnya kita menyandang gelar “Human without a Conscience”, yakni manusia yang tak punya hati dan tak punya nurani. Itu saja.