Kisah Nyata: Ceramah Modal Akting

 
Kisah Nyata: Ceramah Modal Akting

LADUNI.ID, Jakarta - Awal mula tahun 90, saya jadi ustadz yang diundang kajian ke sana kemari lewat sebuah lembaga dakwah bernama X. Di lembaga dakwah ini, saya dan banyak teman lain dipasang jadi ustadz.

Tiap pagi kita ngantor dulu, lalu satu persatu dijemput oleh panitia atau pengurus untuk mengisi kajian di berbagai tempat.

Karena waktu itu saya paling muda dan junior, serta baru bergabung, posisi saya cuma jadi pemain cadangan. Maksudnya saya tidak punya jadwal kajian tetap, tapi begitu ada ustadz senior lain yang berhalangan, saya siap meluncur.

Asyiknya, justru tiap hari saya selalu meluncur, karena selalu ada saja senior saya yang tidak bisa hadir dan harus saya gantikan. Saat itu saya belum lagi kuliah di LIPIA. Modal saya jadi ustadz terus terang saja hanya modal akting saja.

Ilmu nggak ada, ngaji kitab nggak bisa, nggak punya guru juga. Materi kajian, ya seruduk sana seruduk sini saja. Seratus persen mengandalkan kemampuan akting. Pura-pura jadi ustadz, ahli ilmu agama, pura-pura pintar, malah pura-pura pintar bahasa Arab segala.

Yang pada akting ternyata bukan hanya saya saja. Teman ustadz yang lain pun banyak yang bermodalkan akting semata. Termasuk bagian dari akting adalah masalah gelar. Tidak ada satu pun dari kita yang punya gelar resmi. Maka, gelar yang paling mudah pakai kun-yah, biar terasa manteb.

Kalau anaknya bersama Faris misalnya, ya sudah namanya Abu Faris. Jadi urusan per-abu-abu-an saya mengalami juga dulu.

Tapi berhubung saya dan beberapa teman lain belum nikah, teman saya menamakan diri: Abu Audah. Itu pelesetan dari 'nggak tahu dah', au' dah.

Tapi senangnya saat itu, jamaah sama sekali tidak pernah meributkan urusan kapasitas keilmuan saya dan teman-teman.

Dan, asalkan penampilan ceramah bisa dibikin rada drama, agak menggelegar, kadang pakai nada tinggi, lalu menukik rendah, plus tusuk sana, hantam sini, habisi itu, maki si anu, si anu dan si anu, kita semua dapat tepuk tangan meriah. Bahkan standing applause.

So, ini bukan taklim, ini bukan majelis ilmu, ini murni seni akting, ini seni menggugah dan memainkan perasaan hadirin.

Dan, di tahun segitu kan masih rezim Orba (Orde Baru, red.), jadi, bumbu ceramah kita harus nyentil-nyentil kebijakan rezim. Kalau tidak, akan terasa hambar, dibilang: ayam sayur.

Tapi kalau sampai ceramah berapi-api, gebrak-gebrak podium, bahkan sampai ada yang nangis dan meneriakkan takbir, berarti aktingnya sukses. Dapat tepukan tangan meriah.

Ini adalah seni akting, tidak lebih.

 

(Kisah di atas adalah pengalaman pribadi Ustadz Ahmad Sarwat)