Kebenaran Tafsir Mimpi Waraqah bin Naufal tentang Khadijah Jadi Istri Nabi

 
Kebenaran Tafsir Mimpi Waraqah bin Naufal tentang Khadijah Jadi Istri Nabi

LADUNI.ID, Jakarta - Suatu malam, Siti Khadijah bermimpi kejatuhan matahari. Sinarnya menghanguskan semua rumah penduduk Makkah, kecuali satu dapur. Impian itu lalu diceritakan kepada pamannya yang ahli mimpi, Waraqah bin Naufal.

“Nabi akhir zaman akan menjadi suamimu,” kata sang paman.

“Dari negeri manakah dia?”

“Dari Makkah.”

“Suku apa?

“Suku Quraisy.”

“Keturunan siapa?”

“Bani Hasyim.”

“Siapakah namanya?”

“Ia bernama Muhammad.”

Pada suatu hari di rumah Abu Thalib, tatkala sedang ada makan bersama, berjalanlah percakapan santai antara Abu Thalib, Atikah (Saudara Abu Thalib) dan Rasulullah saw.

“Muhammad sudah dewasa, namun sampai sekarang belum mendapatkan calon. Entahlah wanita bagaimanakah yang cocok dengannya,” Kata Abu Thalib membuka perbincangan.

“Saudaraku, Khadijah sebetulnya adalah seorang wanita yang baik. Banyak orang senang berhubungan dengannya. Rupanya Allah memberkahi kehidupan wanita itu. Ia sedang mencari seorang lelaki untuk meniagakan dagangannya. Bagaimana kalau kita mengajukan Muhammad, sambil mencari langkah baginya untuk menikah?” kata Atikah.

Abu Thalib dan Atikah bermusyawarah dengan Muhammad. Setelah Rasul setuju, Atikah berangkat ke rumah Khadijah menyampaikan kesediaan keponakannya membawakan dagangannya.

“O... rupanya inilah takwil impianku,” ucap Khadijah dalam hati, mengingat-ingat tuturan pamannya saat menerima penjelasan dari Atikah.

“Kata Paman, ia seorang Arab, dan... keponakan Atikah ini orang Arab, suku Quraisy, keturunan Hasyim. Namanya Muhammad, dan berbudi luhur. Dialah orangnya, penutup para Nabi...!” kata Khadijah.

Ia ingin sekali menikah dengan Rasul. Sebenarnya ia sudah tak sabar lagi untuk segera mengayuh bahtera rumah tangga dengan Rasul pada saat-saat itu juga.

Tapi, ia takut gunjingan dan omongan orang. “Aku harus sabar. Sekarang ia kupekerjakan dahulu,” demikian kata hatinya.

Keadaan Khadijah sama dengan keadaan Syafura, puteri Syuaib tatkala ingin menikah dengan Musa. Namun karena malu mengungkapkannya terus terang kepada ayahnya saat itu, maka ia hanya berkata: “Ayahku, jadikanlah ia kuli kita yang jujur di sini. Karena sbaik-baiknya kuli yang jujur ialah yang jujur lagi kuat.”

Hal yang demikian serupa pula dengan penegasan berikut ini: “Seakan-akan Allah berfirman: “Ketahuilah bahwa Aku hanya menyuruhmu taat dan beribadah kepada-Ku, dan Aku menimpakan kesulitan kepadamu. Tapi Aku tidak menghajatkan darimu ketaatn dan ibdahmu tersebut. Sungguh, betapa besar tuduhan dan fitnah oarng-orang kafir. Sehingga tatkala kau letakkan kepalamu dalam sujud sambil melafalkan Subhana Rabbiyal A’la wa bi Hamdhi (Mahasuci Allah, Tuhanku yang Mahaluhur dan dengan segala Puji-Nya). Aku menjawab : “Labaik. Hai Abdi-Ku. Sungguh rahmat-Ku meliputimu,dan Kuberi makan dan minum engkau dengan kasih sayang-Ku. Angkatlah kepalamu! Yang kuharapkan darimu adalah hubungan dengan-Ku terus-menerus.”

Akhirnya Khadijah menyambut tawaran Atikah: “Aku biasa menggaji pegawaiku dua puluh dinar. Namun Muhammad akan kugaji lima puluh dinar.”

Atikah pulang amat gembira. Sesampai di rumah, ia bercerita kepada saudaranya, Abu Thalib, dan akhirnya Muhammad disuruh berangkat ke rumah Khadijah.

Ketika berangkat dagang, Allah swt. memayungi Rasul dengan awan putih dari sengatan matahari padang pasir Hijaz. Dan Khadijah telah berpesan kepada Maisarah agar Muhammad mengenakan pakain paling bagus dan menunggang unta paling kuat dan besar.

Kafilah pun berjalan, beliau terlelap di atas untanya dihembus angin semilir, hingga sampai di halaman sebuah gereja di tepi jalan. Rasul turun di situ untuk beristirahat di bawah sebatang pohn. Dari dalam gereja, sang Pendeta melihat awan menaungi kepada Rasul. Timbul firasatnya, bahwa lelaki yang tengah berteduh itu adalah seorang Nabi Akhir Zaman. Maka ia mengundang rombongan kafilah tersebut, untuk menjamu mereka sembari menyelidiki siapa di antara mereka yang menyandang kemuliaan itu. Mereka memenuhi undangan itu kecuali Rasul. Ia sendirian menunggu barang-barang.

“Masih adakah orang di sana?” tanya si pendeta kepada mereka, saat ia melihat awan itu masih diam.

“Ada, seorang yatim, yang sedang menunggu barang-barang dagangannya!”

Pendeta lalu keluar menemui. Rasul berdiri bersalaman. Dan beliau diajak masuk, sementara mata pendeta tetap tertuju kepada awan yang ikut bergerak.

Sampai di dalam gereja, awan itu diam di atas pintu.

“Wahai pemuda, dari manakah Anda?” tanya si pendeta.

“Dari Makkah!” jawab Rasul Saw.

“Dari suku apa?

“Dari suku Quraisy.”

“Keturunan siapa?”

“Bani Hasyim.”

“Siapa namamu?”

“Muhammad.”

Tepatlah dugaannya. Selanjutnya sang pendeta menciumnya, seraya berkata :

“Tak ada Tuhan Selain Allah. Muhammad Rasul Allah. Perlihatkanlah kepadaku suatu tanda kenabian agar aku lebih yakin.”

“Apa itu?” tanya Rasulullah.

“Bukalah bajumu!” di antara ketiakmu ada tanda Risalah kenabianmu,” ujar pendeta.

“Bagus... Bagus...!” lanjutnya setelah Rasul membuka bajunya.

“Tampillah kau di atas pentas dunia, dan dakwak lah manusia. Niscaya kau menang!” sang pendeta berkata sembari mengusap wajah Rasulullah Saw.

“Wahai perhaisan hari kiamat! Wahai pemberi syafaat! Wahai engkau yang tinggi cita-cita dan harapan! Pembuka jalan kesusahan umat dan duka hayat!.”

Akhirnya ia masuk Islam dengan sebenarnya.

Dalam kisah ini ada makna yang tersirat: “Bila seorang pendeta yang hanya melihat tanda kenabian satu kali saja, lantas Allah swt. membuka pintu hatinya untuk menerima Islam, berarti Dia menyelamatkannya dari api Jahanam, maka seorang mukmin yang kalbunya dilihat oleh Allah tiga ratus enampuluh kali, dan di dalam kalbu itu Dia temui Tauhid dan iman yang kuat dan suci dari syirik, penuh dengan ikhlas dan ihsan, juga rasa sesal bahkan benci terhadap kemaksiatan, maka apakah Allah tidak akan menyelamatkannya dari azab neraka, dan tidak mewajibkannya baginya memperoleh surga. Dan bagaimana pula Allah tak akan memberinya makan dari aneka ragam bebuahan. Dia memuliakan dan memberi kemudahan serta keistimewaan.

Setelah dagangannya habis di negeri Syam, maka pergilah Rasul bersama Maisyarah melihat upacara hari raya Yahudi. Beliau masuk ke kalangan mereka secara sembunyi-sembunyi, guna melihat lebih dekat upacara itu.

Tiba-tiba lentera yang bergntungan yang dipandanginya jatuh berantakan, membuat orang-orang yang sedang sibuk girang itu panik kebingungan.

“Kami membaca dalam taurat, Bila Muhammad, Nabi Akhir Zaman hadir dalam upacara hari raya Yahudi, maka akan terjadilah hal seperti ini. Barangkali sekarang ia tengah ada di sini,” kata ulama mereka.

“Kalau begitu, mari kita cari dia!” Serentak mereka mencarinya. Melihat keadaan itu, Maisyarah mengajak Rasul pulang ke Makkah. Dan ketika perjalanan tinggal sejarak tujuh hari lagi dari Makkah, Maisarah menawarkan kepada Nabi untuk pulang lebih dahulu, untuk menyampaikan berita kepulangan mereka kepada Khadijah. Rasulullah menyambut tawaran itu dengan senang hati. Sesudah segala dipersiapkan, ia mempersilahkan Rasul pulang, seraya menitipkan sepucuk surat berisikan:

“Hai wanita terkemuka Quraisy! Perdagangan kita tahun ini memperoleh untung yang luar biasa, yang belum pernah kita dapatkan sebelumnya.”

Rasulullah terus melaju bersama untanya. Di tengah perjalanan pulang, Allah menuruh Malaikat Jibril a.s. memperpendek jarak perjalanan. Israfil mengapit di sebelah kanannya, sedang Mikail di sebelah kirinya, dan awan tetap memayunginya. Maka dengan izin-Nya, Rasul tertidur pulas penuh damai, tak terasa beliau sampai ke Makkah beberapa jam saja.

Sementara itu, di serambi rumah, Khadijah sedang duduk santai penuh penantian dengan padangan sekali-sekali ke negeri Syam. Nampak olehnya di kejauhan sosok manusia menaiki unta menuju ke arahnya.

“Tahukah kalian, siapakah lelaki yang datang itu?” Khadijah bertanya kepada sekumpulan budak perempuan yang tengah mengerumuninya.

“Nampaknya ia Muhammad, al-Amin,” kata seorang dari mereka.

“Kalau benar Muhammad, kalian akan kumerdekakan semua,” tuturnya lagi.

Rasul yang dinanti-nanti pun sampailah. Khadijah menyambutnya penuh hormat. Lantas katanya: “Kuhadiahkan unta yang kau kendarai itu buatmu.”

Selesai melapor, beliau pulang ke rumahnya guna mencurahkan rindu dengan paman dan bibinya.

Beberapa hari kemudian, rasul datang kembali ke rumah Khadijah.

“Ya Muhammad, katakanlah, perlu apa?” sambut Khadijah degan sebuah pertanyaan.

Sambil menundukkan kepala agak malu, Rasul bertutur: “Paman dan bibiku menyuruhku mengambil gaji. Mereka ingin menikahkanku.”

“Wahai Muhammad! Gaji itu terlalu sedikit. Tak mencukupi. Tapi, aku bersedia menikahkanmu dengan seorang wanita yang paling mulia. Ia berpengaruh besar di masyarakat, lagi seorang hartawan. Banyak pembesar Arab berminat kepadanya, tetapi ia menolaknya. Aku siap untuk menikahkanmu. Sayang ia sudah janda. Kalau Anda menerima, ia bersedia menjadi isterimu, dan akan melayanimu penuh bakti setia,” kata Khadijah.

Mendengar ucapan Khadijah tersebut, Rasul pulang tanpa komentar. Beliau menceritakan hal itu kepada paman dan bibinya.

Pada suatu hari, Abu Thalib mengadakan acara makan-makan mengundang Waraqah serta tokoh Arab. Pada saat itu, Abu Thalib mengungkapkan maksudnya kepada Waraqah melamar Khadijah.

“Tetapi, akan bermusyawarah dulu dengan Khadijah,” kata Waraqah.

“Paman, bagaimana mungkin aku menolak lamaran seorang lelaki paling jujur, berjiwa pemelihara, dari keturunan baik lagi mulia?” tukas Khadijah saat ditanya sang paman.

“Betul, Kahdijah. Tapi bukankah dia seorang miskin?” jawab Waraqah.

“Aku punya harta melimpah. Tak menghajatkannya lagi. Yang penting keluhuran budinya. Paman, kuwakilkan engkau untuk menikahkanku dengannya,” ujar Khadijah.

Pada waktu yang ditetapkan, berlangsunglah akad nikah di rumah Abu Thalib.

“Ya Muhammad, semua milikku, baik benda mati maupun yang bergerak, tanah, ladang dan kebun, rumah dan segala bangunan, barang-barang kebutuhan sehari-hari ataupun segala isi rumah, budak-budak perempuan serta hamba-hamba sahaya, harta yang baru maupun pusaka lama, kuserahkan untukmu!” ujar Khadijah kepada Rasulullah saw.

“Dan Ia temui dia dalam keadaan miskin, lalu Ia mengkayakannya.” (Q.S. 93: 8).

Diriwayatkan bahwa Khadijah mengayuh bahtera rumah tangga bersama Rasulullah selama duapuluh empat tahun, lima bulan, delapan hari. Lima belas tahun sebelum kenabian dan sisanya sesudah kenabian. Adapun usia Rasul saat menikah adalah dua puluh lima tahun. Dari pernikahan ini, lahir tujuh orang anak: tiga orang putera, dan empat orang puteri: al-Qasim, at-Thahir dan al-Muthahhir, yang semuanya wafat pada masa kecil.

Puteri-puterinya adalah: Fatimah (az-Zahra) yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib r.a.: Zainab, Ummi Kultsum, menikah dengan Utsman bin Affan; Ruqayah, yang juga menjadi isteri Utsman setelah wafat Ummi Kultsum. Semua pernikahan mereka berlangsung pada hari Jum’at.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاٰلِهٖ وَصَحْبِهٖ وَسَلِّم