Kisah Gus Mus tentang Kiai Basyuni Masykur

 
Kisah Gus Mus tentang Kiai Basyuni Masykur

LADUNI.ID, Rembang - Tahun 1989 sesaat setelah wafatnya Almarhum walmaghfurlah KH. Basyuni Masykur –ayah mantan Menteri Agama RI Syeikh Dr. Maftuch Basyuni dan mantan Dubes RI untuk Syria Muzammil Basyuni; juga ayah Bu Siti Fatma, Inti Ruqayyah, dan Munfaridjah-- saya menulis kolom di Majalah Amanah (Alm) dengan judul “Kiai Basyuni” Ini:

***

Tanyalah kepada orang Rembang dan sekitarnya secara acak –boleh kiai pesantren, ‘Cina’ klontong, tukang cukur, bakul ikan, kernet colt, pegawai pemda, penggali kubur, tukang jam, penjual serabi, bupati, tukang becak, siapa sajalah-- pasti tahu siapa Kiai Basyuni atau Mbah Basyuni. Tidak itu saja. Orang yang Anda tanyai akan menunjukkan sikap semacam bangga, atau paling tidak gembira.

Kiai Basyuni memang mirip tokoh dongeng di Rembang. Dia kenal siapa saja dan dikenal siapa saja karena hobinya menyapa orang. Kehidupan sehari-harinya dimulai dengan salat subuh, lalu jalan-jalan. Disinggahinya rumah-rumah famili dan kenalannya, terutama anak-anaknya; sekedar menengok dan menanyakan keselamatan dan kesehatan. Lalu ke rumah sakit, menyusuri los-los. Ini dilakukan hampir setiap hari; sehingga hampir tak ada sanak-famili atau kenalan yang sakit yang tak diketahuinya, untuk ditengoknya dan diinformasikan kepada orang lain.

“Kau sudah menengok si Polan?” adalah pertanyaan klisenya yang dihapal hampir semua orang.

Dia membangun mushalla di samping --dan jauh lebih cantik dari-- rumahnya. Banyak tetangga, teutama para ibu, yang kemudian ‘meramaikan’ mushallanya itu. Namun sejauh itu, kendati banyak yang meminta, kiai Basyuni belum kunjung memberi pengajian agama kepada mereka. Padahal rata-rata mereka masih sangat awam di bidang agama; bahkan banyak di antara mereka yang salatnya masih rubuh-rubuh gedhang, asal ikut.

Ketika hal itu ditanyakan, jawabnya selalu: “Biarkan mereka senang dulu dengan tempat ibadah mereka ini.”

Kalau ada yang bertanya, “Salat saya sudah benar, kiai?”, selalu jawabnya: “Sudah, tinggal menyempurnakan sedikit. Nanti ‘kan sempurna juga.”

Ketika bulan Juli kemarin, Kiai Basyuni sakit dan dirawat di rumah sakit, petugas di sana kerepotan oleh banyaknya pengunjung yang ingin menengoknya setiap hari.

Setiap jam bezuk, beliau seperti sengaja menggagah-gagahkan diri dan selalu mengatakan kepada para penengoknya: “Alhamdulillah saya sudah sembuh. Bagaimana kabarmu? Keluargamu? Baik-baik saja, ‘kan?!”

Kepada keluarga yang menungguinya , beliau berkata,”Wah, saya telah merepotkan orang banyak.” Dan suatu ketika kepada salah seorang anaknya, beliau berkata: “Kau kok menungguiku terus di sini, lalu bagaimana suamimu, anak-anakmu? Pulanglah!”

Dan suatu hari, ketika hampir semua anak-anaknya berkumpul menungguinya bersama ibu mereka, Kiai Basyuni dengan suaranya yang sudah melemah, berkata: “Kalian tahu, sebenarnya saya ini sakit sudah sejak lama; tapi saya sembunyikan karena saya tak ingin menyusahkan orang. Ini prinsip hidup saya. Kalau bisa, senangkanlah orang. Kalau tidak, sebisa-bisa jangan menyusahkan orang.” Semuanya faham benar, karena ucapannya itu hanyalah penegasan semata dari cara hidupnya yang telah mereka ketahui selama ini.

Hari Jum’at, persis seperti yang diinginkannya, Kiai Basyuni pergi untuk selama-lamanya. Sowan ke hadirat-Nya. (Innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji’uun).

Mereka yang bekerja di RSPD (radio Pemda), yang punya orari, yang berdagang di pasar, yang menjadi sopir atau kernet; semuanya dengan sukarela membantu keluarga menginformasikan kewafatannya. Orang-orang pun berdatangan dengan sendirinya; ada yang menawarkan kain kafan, nisan, jasa menggali kubur, kendaraan, telpon, dan bantuan-bantuan lain yang biasa diperlukan pada saat duka seperti itu.

Dan pada hari pemakamannya, orang bisa melihat para pelayat dari berbagai lapisan; mulai dari para kiai, pegawai, tukang, bakul, nelayan, petani, pejabat, dokter, dukun, hingga pengangguran. Berpuluh kali jama’ah salat jenazah dilakukan, sebelum orang berebut memikul kerandanya menuju peristirahatannya yang terakhir.

Kiai Basyuni berhak mendapatkan penghoramatan orang semacam itu, karena orang menyintainya. Orang menyintainya, karena dia menyintai mereka. Orang bersedia susah untuknya, justru karena dia suka menyenangkan mereka. Mereka mendoakannya dengan tulus. Jadi berbahagialah Kiai Basyuni.

Setiap kali orang meninggal, setiap kali kita mendapatkan pelajaran. Kafaa bilmauti waa’izhan, Cukuplah kematian sebagai penasihat pemberi pelajaran. Maka benar kata seorang kiai yang ikut melayat Kiai Basyuni: “Dia itu guru ketika hidup dan ketika mati.”   

Mungkin ada yang bertanya-tanya, bagaimana aku bisa mengetahui begitu detail tentang kehidupan Kiai Basyuni. Jawabnya: karena aku-aku adalah ‘kacung’-nya jauh sebelum menjadi menantunya. Bila kalian suka dengan tulisan di atas, tolong bacakan Al-Fatihah untuk almarhum. Terimakasih.

***

(KH Musthofa Bisri)