Kebohongan Ibu: Refleksi Hari Ibu 22 Desember

 
Kebohongan Ibu: Refleksi Hari Ibu 22 Desember

LADUNI.ID, Jakarta - Seumur hidup kita menggendong orangtua di pundak kita, tidak akan bisa membalas jasa-jasa orang tua kita. Betapa besar pengorbanan seorang ibu untuk kita. Tulisan ini hendak mengingatkan kita bagaimana perjuangan seorang ibu dalam mendidik dan membesarkan kita.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru sebaliknya.

Dengan adanya kebohongan ini, makna sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata kita dan terbebas dari penderitaan, ibarat sebuah energi yang mampu mendorong mekarnya sekuntum bunga yang paling indah di dunia.

***

Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga tani yang pas-pasan. Bahkan untuk biaya sekolah saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata:

"Makanlah nak, aku tidak lapar". Ini adalah “kebohongan” ibu yang pertama.

Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhan.

Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disamping gw dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan  sendokku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata:

"Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan". Ini adalah kebohongan ibu yang kedua.

Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah ibbu sering membawa hasil sawah kami kepasar dan membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim kemarau  tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lampu kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaanny menyaiangi jagung dan tembakau. Aku berkata :"Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.

Ibu tersenyum dan berkata: "Cepatlah tidur nak, aku tidak capek". Ini adalah kebohongan ibu yang ketiga.

Ketika ujian tiba, ibu sengaja tidak kesawah supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum.

Ibu berkata: "Minumlah nak, aku tidak haus!" Ini adalah kebohongan ibu yang keempat.

Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai kebutuhan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa  kesahajaan. Melihat kondisi keluarga yang seperti itu, ada seorang paman yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sederhana dan bersahaja  menganjurkan ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, Ibu berkata :

"Saya tidak butuh cinta". Ini adalah kebohonga n ibu yang kelima.

Setelah aku, lulus sekolah, ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk kesawah untuk menanam untuk kebutuhan hidup dan biaya pernikahanku  Kakakku yg sudah bekerja  sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan ibu, tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut atao mengasihkan kembali ke cucu cucunya

Ibu berkata :  "Saya punya duit". Ini adalah kebohongan ibu yang keenam.

Setelah lulus dari S1, aku pun bekerja disebuah Koran ternama dijawa timur, dan kemudian keluar untuk membuat  perusahaan sendiri  Dengan penghasilan yang cukup akupun bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup dikota yang sekarang aku tinggal Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku :

"Aku tidak terbiasa". Ini adalah kebohonga n ibu yang ketujuh.

Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit darang tinggi dan lambung, karena depresi sepeninggal alm Bapak, sayapun langsung segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani perawatan Ibu yang keliatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam kondisi seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata :

"Jangan menangis anakku, Aku tidak kesakitan".  Ini adalah kebohonga n ibu yang kedelapan.

Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibuku tercinta  suatu saat akan menutup matanya untuk yang terakhir kalinya. Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan:

"Terima kasih Ibu!"

***

Source: Group WA IKA UINSA Jabodetabe
Editor: Muhammad Mihrob