Mengulik Kisah Jadzab Habib Ja'far Al-Kaff dan Gus Dur

 
Mengulik Kisah Jadzab Habib Ja'far Al-Kaff dan Gus Dur
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Gus Dur memasuki salah satu Mall di Jakarta. Entah bertujuan apa gerangan ke Mall. Boleh jadi mau ke Gramedia atau ke bagian pakaian. Secara tidak sengaja, kebetulan, ada seseorang yang memanggil, "Gus… Gus Dur…!" Merasa ada yang memanggil, Gus Dur pun menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Ternyata yang memanggil adalah orang yang sangat dikenal oleh Gus Dur, yaitu Habib Ja'far Al-Kaff, Kudus. Karena memang mereka berdua sahabat karib, atau istilah jawabnya "bolo plek".

Gus Dur menghentikan langkahnya dan berbelok menuju dan menghampiri Habib Ja'far Al-Kaff Kudus. Mereka berjabat tangan erat. Masing-masing tanya kabar dan berbicara ringan. Ngobrol ngalor ngidul.

Tiba-tiba saja Habib Ja'far mengajak Gus Dur berkunjung ke toko kaset. Ya, toko kaset pita. Karena ini kisah jauh sebelum reformasi. Saat itu Orba sedang di atas puncak kekuasaan dan kekuatannya. Gus Dur masih Ketua PBNU. Habib Ja'far tahu kalau Gus Dur suka musik. Gus Dur pun bersemangat mengikuti ajakannya.

Sesampai di toko kaset. Habib Ja'far memborong kaset Obbie Mesakh dan dihadiahkan kepada Gus Dur. Sambil memberikan kaset-kaset ke Gus Dur, Habib Ja'far berkata, "Ini Gus kaset yang bagus sekali", sembari menunjukkan kaset Obbie Mesakh.

Lanjut Habib Ja'far, "Begini lagunya Gus. sungguh aneh tapi nyata, orang buta jadi presiden," dengan suara lantang dan dinyanyikan berkali-kali oleh Habib Ja'far.

Syair itu gubahan atau plesetan Habib Ja'far dari sepenggal syair, "Sungguh aneh tapi nyata, tak kan terlupa…" yang terdapat dalam lagu Kisah-Kasih di Sekolah, Obbie Mesakh yang meluncur tahun 1987.

Tentu saja Habib Ja'far tidak berniat menghina dengan kata "buta". Akan tetapi Habib Ja'far sedang menyuarakan suara hatinya yang jujur atas suatu misteri masa depan yang akan terjadi. Sebentuk menyibak tabir dengan bahasa simbolik atau tanda yang menandai sesuatu yang dituju.

Gus Dur yang paham betul dengan sahabat karibnya itu, memilih tersenyum dan berterima kasih. Gus Dur paham bahwa sahabatnya itu adalah kekasih Allah, seorang wali, yang weruh sadurunge winara (tahu sebelum kejadian). Barangkali inilah yang disebut la ya'riful wali illal wali (tidak mengenal seorang wali, kecuali wali).

Beberapa tahun kemudian, Pak Harto lengser keprabon. Orba runtuh. Reformasi meletus. Lagu Habib Ja'far gubahan dari lagu Obbie Mesakh menjadi kenyataan; Gus Dur jadi Presiden Republik Indonesia!

Perlahan tapi pasti, weruh sa'durunge winara Habib Ja'far dikenal publik. Dua pemilihan presiden, SBY dan Jokowi, membuktikan itu. Habib Ja'far bersuara bahwa yang akan jadi SBY, ya akhirnya betul SBY jadi Presiden 2 priode. Habib Ja'far bilang yang akan jadi Presiden adalah Jokowi, ya benar Jokowi jadi Presiden 2 periode. Habib Ja'far dengan suara yang mantap pernah menyatakan, "Pak Jokowi dadi meneh. ping pindo." (Pak Jokowi jadi lagi, 2 kali).

Kalau kita menyimak suaranya, sepertinya Habib Ja'far sangat yakin dengan apa yang diucapkannya. Bahkan seakan sesuatu yang sedang dikatakan adalah nyata dan hadir di depan mata. Padahal berisi sebuah prediksi masa depan yang masih banyak kemungkinan yang akan terjadi. Sebab, seringkali beliau mengatakannya berkali-kali. Jokowi Presiden. Jokowi dadi meneh, Jokowi dadi meneh.

Habib Ja'far memang terkenal majdzub. Orang yang kesadarannya ditarik dari kesadaran manusiawi ke kesadaran Ilahi. Karena memang jadzab arti dasarnya adalah tertarik. Sehingga gaya hidup dan pandangan hidupnya sering kali berbeda dengan masyarakat umum. Kehidupan dan cara memandang sesuatu terlihat anti mainstream atau khawariqul 'adat.

Mungkin bagi kita yang awam, kita hanya melihat fisiknya Habib Ja'far. Rambut gondrong. Kumis tebal sampai menutupi bibirnya. Jenggot panjang. Cambang tumbuh lebat. Kuku-kukunya yang panjang-panjang. Akan tetapi fisiknya terlihat selalu bersih. Tapi kita tidak tahu gerak perubahan substansial yang terjadi di alam spiritualitasnya yang dinamis dan dahsyat.

Ada satu hal yang bagi saya menarik dari pakaian Habib Ja'far, yaitu konsisten menggunakan kopiah hitam. Bagi saya, Habib Ja'far menggunakan kopiah hitam mengandung pesan simbolik kepada umat Islam. Kopiah atau peci hitam merupakan simbol kesholehan keislaman yang bersinergi dengan kesholehan kebangsaan. Mayoritas masyarakat muslim Indonesia menggunakan peci hitam.

Peci hitam dipopulerkan oleh Bung Karno. Sehingga orang Mesir menyebutnya qalansuwah Ahmad Soekarno. Di saat kita masih sekolah di Mesir, ada salah satu teman yang menghadiahkan peci hitam pada salah satu pemikir muslim Mesir. Dengan reflek sang pemikir berkata," qalansuwah Soekarno. Rajulun kabir!" (Peci Soekarno. Orang besar).

Boleh dibilang, peci hitam sebentuk representasi nasionalisme Indonesia. Habib Ja'far dengan sengaja sedang memberi pesan nasionalisme sekaligus pesan Islam Nusantara. Sebab, peci hitam sejatinya sudah ada dan dipakai kaum santri dan tukang sate jauh sebelum diviralkan oleh Bung Karno. Sehingga Bung Karno menggunakan peci hitam sebagai representasi masyarakat muslim Nusantara yang mencintai bangsanya (nasionalisme).

Peci hitam paling sederhana dan paling mudah untuk ditangkap maknanya oleh semua masyarakat Indonesia. Habib Ja'far sangat mengerti itu. Beliau tampil sebagai Habib yang nasionalis, mencintai tradisi, budaya, dan simbol-simbol yang hidup di tengah-tengah masyarakat bangsa ini.

Selain Habib Ja'far Alkaff. Ada Habib Syaikhon yang terkenal majdzub. Di kalangan para kyai pun kita banyak mengenal kyai-kyai yang majdzub atau jadzab yang semuanya adalah kehendak dari Allah SWT, bukan sebab dibuat-buat.

Dalam kitab dan dalam pengalaman realitas bahwa jadzab itu ada dua macam. Pertama, jadzab yang bersifat sementara, alias berbatas waktu. Ketika sedang jadzab, seseorang hidup anti manstream. Setelah move on dari jadzab-nya, ia kembali hidup seperti manusia pada umumnya. Kedua, jadzab yang bersifat semi permanen sampai ajal menjemputnya.

Habib Ja'far Al-Kaff telah kembali ke haribaan-Nya. Meninggalkan alam fana ini, dan baqa' bersama Kekasihnya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Begitu juga Gus Dur.

Jika dilihat penanggalan kalender, kedua sahabat karib itu, Habib Ja'far dan Gus Dur, ternyata meninggalkan alam fana ini hanya beda satu hari. Gus Dur wafat 30 Desember, sedangkan Habib Ja'far 1 Januari, meski berbeda tahun.

Pesan substansial yang saya tangkap, bahwa betapa Habib Ja'far Al-Kaff dan Gus Dur sangat mencintai bangsa dan negara ini. Sehingga tak pernah berhenti memikirkan dan mendoakan untuk kebaikan dan kemaslahatan bangsa ini. Habib Ja'far dan Gus Dur adalah dua patok panceng dan rujukan bagi bangsa ini, marja', yang keduanya telah meninggalkan kita semua. Al-Fatihah.... []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 04 Januari 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: KH. Mukti Ali Qusyairi (Ketua LBM PWNU DKI Jakarta dan Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat)

Editor: Hakim