Deputi Kemenpora: Pembinaan Pemuda Kunci Inovasi

 
Deputi Kemenpora: Pembinaan Pemuda Kunci Inovasi

LADUNI.ID, Jakarta - Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan, fa lahu ajruha wa ajru man amila biha. Barang siapa yang memiliki inovasi yang baik kemudian termanfaatkan hasil inovasinya itu untuk kepentingan kebaikan, maka dia mendapatkan pahala inovasinya dan pahala orang yang tergerak melakukan kebaikan akibat inovasi yang ia lakukan, tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang melakukan kebaikan tadi.

Pernyataan itu disampaikan oleh Dr. KH. M. Asrorun Ni’am Sholeh selaku Deputi Pengembangan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga RI sebagai keynote speaker dalam pembukaan acara Readiness of Young Generation for Industri 4.0 yang diselenggarakan oleh Laduni.id, 31 Januari 2021 kemarin. Menurutnya, saat ini kita sedang berada di tengah masyarakat yang sudah sangat terbuka yag itu dibuktikan oleh adanya relasi budaya, relasi ekonomi, bahkan juga relasi pergaulan antarbangsa.

Jika dulu kita merasa aman mengonsumsi makanan dan minuman, karena sudah diolah dan dimasak sesuai dengan keyakinan keagamaan di tempat kita sendiri yang telah mempertimbangkan aspek kehalalan, kebersihan dan kesucian. Maka, begitu kita geser ke daerah yang mayoritas non-muslim, kita kemudian berhati-hati. Kehati-hatian tersebut harus dilakukan karena seiring dengan masyarakat yang terbuka, ada banyak pertukaran barang, pertukaran budaya, pertukaran informasi, bahkan pertukaran produksi pangan, obat-obatan, kosmetika, yang begitu dinamis yang mengharuskan kita untuk tidak boleh mempertahankan cara pandang tradisional.

“Artinya apa? Saya kasih contoh yang seperti ini perlu ada revolusi cara pandangan kita di dalam konteks kehidupan, pada keseharian kehidupan kita. Revolusi berpikir dan juga revolusi bertindak dengan konsep yang sederhana sebenarnya: almuhafadzatu ‘ala al-qadiim as-shaleh wal akhdzu bil jadiidil ashlah. Mempertahankan nilai-nilai lama yang baik, seperti kita konsen dalam produk yang halal, tetapi kemudian mentransformasikan nilai-nilai yang dulu baik di dalam konteks kekinian,” jelas KH. Asorun Ni’am.

Nilai Baik yang Dipertahankan

Lebih lanjut, menurut Kiai Ni’am –sapaan KH. Asrorun Ni’am Sholeh, bila sebelumnya terdapat pandangan al-halalu bayyinun wal haraamu bayyinun wa baynahuma umuurun musytabihat, yang halal jelas yang haram jelas, tapi antara yang halal dan yang haram itu, masih terdapat syubhat. Akan tetapi, bila ditelisik secara mendalam, seiring dengan perkembangan teknbologi pangan yang bergitu rumit, maka wilayah syubhat yang disinyalir oleh baginda Rasululullah SAW tersebut sebagai wa bainahuma umurun musytabihat, itu semakin meluas. Oleh karenanya, perkembangan teknologi, khususnya teknologi pangan yang begitu canggih, maka wilayah yang remang-remang (syubhat) tadi akan relatif lebih mudah dideteksi.

“Bagi temen-temen yang memiliki kemampuan di bidang IT, bisa berkontribusi untuk proses resibilitas, (yakni) memastikan informasi bahwa ingridum proses produksi dan juga komposisi bahan pangannya, itu disampaikan kepada publik secara terbuka. Itu kontribusi kita. Dengan menjadikan urusan keagamaan yang bersifat personal tadi, seperti halal dan haram, kemudian dibangunkan kesadaran publiknya terkait dengan tantangan barunya dan kita berikan informasi sekaligus dakwah dan juga perlindungan,” jelas Kiai Ni’am.

Dalam adagium al-muhafadzatu ala al-qadimi asshalih, jelas Kiai Ni’am, ada nilai-nilai yang ajeg di mana nilai ini tidak akan lekang dengan berbagai perubahan. Artinya, bisa jadi lingkungan berubah, tetapi nilai itu menjadi fondasi yang perlu dipertahankan. Akan tetapi, pada saat yang sama, ada al-akhdzu bil jadiidil ashlah, di mana ada komitmen untuk mengambil perubahan masyarakat yang memiliki dimensi kebaikan.

Nah, di sini butuh kontribusi kita dengan nilai-nilai keagamaan yang kita miliki kemudian nilai profesional yang kita dalami untuk kepentingan memastikan arah perubahan ini menjadi lebih baik. Untuk kepentingan ekonomi, ada Kementerian Pemuda dan Olahraga mengembangkan teknopreneur, mengembangkan edupreneur, mengembangkan digitalpreneur, interpreneur berbasis digital. Bagaimana teknologi digital ini bisa mejadi modal kita untuk melakukan akselerasi pengembangan bidang ekonomi, kewirausahaan, akselerasi di bidang kesukarelawanan dan juga kepeloporan kita di bidang keagamaan, sosial, politik sekalipun. Sekaligus juga membangun literasi,” terangnya.

Inovasi untuk Memperbaiki

Oleh sebab itulah, tidak cukup bagi kita hanya dengan menggunakan al-akhdzu (mengambil atau memanfaatkan teknologi yang dikembangkan, didisain, diinovasi oleh the others). Akan tetapi, dari dua adagium tadi, diperlukan yang ketiga, di mana yang ketiga ini seringkali disebutkan oleh mantan Rais Aam PBNU sekaligus Wakil Presiden Republik Indonesia, KH. Ma’ruf Amin, sebagai: al-ijat ila ma’ wa al-ashlah tsumma al-ashlah fal ashlah. Apa itu? Yakni, inovasi untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan, perbaikan dan terus perbaikan.

“Maka harapan untuk terwujudnya innovator-inovator setelah fase almuhafadzatu ala al-qadiim as-shaleh. Kemudian ada fase yang kedua setelah perubahan, kita bisa mengambil manfaat perubahan untuk kepentingan arah yang lebih baik. Kita tidak larut kepada perubahan, tetapi kita bisa mendrive perubahan itu ke arah dengan norma nilai yang kita yakini sebagai sebuah kebaikan. Kemudian tahapan berikutnya adalah al-ijat ila ma’ wal ashlah, tsumma al-ashlah, fa al-ashlah. Inovasi tiada henti. Inovasi untuk pentingan kebaikan, kebaikan, kebaikan,” lanjutnya.

Kiai Ni’am juga menyampaikan bahwa kunci dari itu adalah berfikir kemudian memulai. Sehingga dengan begitu, akan terlaksanaka fase yang ketiga yakni al-ijat ila ma’ wal ashlah, tsumma al-ashlah, fa al-ashlah, di mana fase ketiga ini akan menjadi nilai tambah di dalam konteks perubahan yang terjadi di masyarakat yang begitu akseleratif. Sebab, menurutnya, apa yang terjadi hari ini adalah continue is improvement bahwa pada hakikatnya perubahan adalah sunnatullah. Sehingga, melalui yang ketiga itu kita bisa menjadi faktor sekaligus aktor yang bertujuan untuk membaikan arah perubahan dan untuk membaikkan masyarakat.

“Jadi kita sebagai orang shaleh, sebagaimana doa orang tua kita auladan shalihin, anak-anak yang shalih, tetapi anak shaleh saja tidak cukup. Ia harus bertransformasi jadi yang shalih menjadi mushlih, membaiki. (Yaitu) kebaikan tidak hanya untuk dirinya, tetapi kebaikan untuk masyarakat. Platforms yang kita ciptakan misalnya, seperti Laduni.id misalnya dengan informasi-informasi yang bersifat eduktif, mudah difahami, kemudian menyasar milenial dengan bahasa yang sederhana, itu bisa lebih efektif daripada saya ceramah seperti ini,” tegasnya.(*)

***

Editor: Muhammad Mihrob