Membaca Kembali Epistemologi Perbaikan Akhlak Bangsa

 
Membaca Kembali Epistemologi Perbaikan Akhlak Bangsa
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Ada dua tonggak fundamental mengapa pendidikan akhlak bangsa sangat dikedepankan untuk mendapatkan prioritas yang bersifat simultan dan serius. Dalam perspektif konstitusi, rumusan Undang-Undang Dasar pasal 31 ayat 3 UUD 1945 amandemen dengan tegas menunjukkan bahwa arah dan tujuan pendidikan nasional adalah peningkatan iman dan takwa serta pembinaan akhlak mulia. Kemudian terbitnya undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yaitu UU Nomor 20 tahun 2003 semakin menegaskan, memperkuat, dan memperteknis fungsi dan tujuan pendidikan bangsa Indonesia, misalnya pada UU Sisdiknas Bab I Pasal (2) menyebutkan, bahwa ”Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama....”.

Pada Rakernas MUI tahun 2012 dan kembali diperkuat pada Munas 2020, Majelis Ulama Indonesia telah menjadikan tiga hal penting sebagai fokus utama perhatiannya.

Pertama, pentingnya ormas Islam, khususnya MUI, melakukan muhasabah tentang kondisi organisasinya. Di sinilah urgensi konsolidasi organisasi.

Kedua, dekadensi moral dan akhlak bangsa yang semakin memprihatinkan. Di sinilah MUI penting menjadi pioneer melakukan gerakan yang menjurus kepada pengarusutamaan perbaikan akhlak bangsa.

Ketiga, kondisi ekonomi bangsa yang tengah terpuruk dalam suasana pandemi wabah Covid 19, subyek yang paling parah mengalaminya adalah umat Islam. Di sinilah perlu digerakkan secara optimal program-program pemberdayaan ekonomi keumatan.

Jelas sudah, baik dari landasan konstitusional maupun civil society, dalam hal ini MUI sebagai tokoh umat dan masyarakat, menempatkan akhlak sebagai faktor kunci supremasi bangsa Indonesia. Posisi ini selaras dengan visi pemerintahan Jowo Widodo dan KH. Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024 yang menempatkan visi penguatan sumber daya manusia sebagi pokok pembangunan.

Unsur konstitusi dan keislaman berada dalam sebuah perspektif yang senyawa, tidak kontradiktif, dan bahkan saling memperkuat. Konstitusi dan keislaman bersepakat, bahwa akhlak atau karakter yang unggul, akan menentukan kekuatan fundamental bangsa dalam semua bidang. Sebaliknya, jika akhlak atau karakter suatu bangsa sudah jatuh sampai titik nadir, maka kredibilitas dan survivalitas bangsa tersebut akan terjerembab kepada dekadensi dan disfungsi di segala sektor, dan dapat menyebabkan negara gagal (failure state).

Idealitas Akhlak Bangsa

Akhlak berasal dari bahasa Arab, yang secara etimologi berarti perangai (As-Sajiyah), At-Thabi’ah (الطبيعة / kelakuan dasar), Al-‘Adat (العادة / kebiasaan), Al-Muru'ah (peradaban baik), bahkan akhlak juga dapat diartikan dengan agama (الدين / Ad-Din). (Jamil Shaliba, Al-Mu’jam Al-Falsafi).

Secara terminologis, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan suatu perbuatan tanpa melalui pertimbangan yang rumit terlebih dahulu. (Ibnu Miskawaih, Tahdzib Al-Akhlaq wa Tathir Al-A’raq).

Sedangkan Imam al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang darinya timbul perbuatan-perbuatan secara mudah tanpa memerlukan banyak pertimbangan dan pemikiran rumit. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin).

Dengan demikian, secara umum akhlak dapat diartikan sebagai sebuah gabungan antara kehendak dan kebiasaan, yang secara jangka panjang mampu mewarnai alam bawah sadar menjadi karakter manusia, yang dengannya memiliki kekuatan penting dalam perubahan personal, dan secara kolektif dapat berperan secara signifikan dalam perubahan sosial.

Dalam tataran ideal, perspektif kebangsaan dan keislaman memiliki konsep yang unggul, bersahaja, dan adiguna terhadap karakter dan tatanan Negara bangsa yang sudah melintas zaman dan peradaban. Misalnya dalam perspektif Islam, dikenal dan muslim ditekankan untuk memegang prinsip religius (Al-Mutadayyin / المتدين), jujur (As-Shidqu / الصدق), kredibel (Al-Amanah / الامانة), transparansi (At-Tabligh / التبليغ), cerdas (Al-Fathanah / الفطانة), keteladanan (Al-Uswah / الاسوة), kebersamaan (Al-Jama’ah / الجماعة), toleran (At-Tasammuh / التسمح), keadilan (Al-I’tidal / الاعتدال), proporsional-nonsektarian (At-Tawazun / التوازن), berkebangsaan (At-Tawaththun / التوطن), komitmen (Al-wafa bi Al-‘Ahdi / الوفاء بالعهد), tolong-menolong (At-Ta’awun / التعاون), gotong-royong (Al-Musyarakah / المشاركة), ksatria/kepahlawanan (As-Syaja’ah / الشجاعة), kerja keras (Al-Mujahadah / المجاهدة), akademis (‘Amal Al-‘Ilmiyah wa ‘Ilmu ‘Amaliyah / عمل العلمية و علم العملية), dan wisdom (Al-Hikmah Al-Muta’aliyah / الحكمة المتعالية). 

Nilai-nilai akhlak dalam Islam tersebut “diamini” oleh Deklarasi Aspen dengan Enam Nilai Etik Utama (core ethical value) yang disepakati diajarkan dalam sistem pendidikan Amerika yang meliputi sifat dapat dipercaya (trustworthy), jujur (honesty), integritas (integrity), tanggungjawab (responsible), adil (fair), kasih sayang (caring), menjadi warga Negara baik (good citizen), dan menghormati orang lain (treats people with respect). (Noor Achmad, Mencari Model Pendidikan Karakter Bangsa).

Dengan nilai dan karakter unggul itulah, Islam dengan gemilang dapat diterima oleh hampir dua Milyar populasi penduduk dunia saat ini. Islam mampu menorehkan tinta emas saat Nabi Muhammad SAW dengan begitu sukses mempersatukan wilayah Arab yang begitu plural, baik secara agama maupun suku, menjadi wilayah yang damai dan tenteram (Dar As-Salam/ دارالسلام), usai hegemoni kebudayaan tribalis dan kanibalis pra Islam. Demikian pula Islam mampu memperkenalkan dan menebarkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada dunia Barat yang saat kejayaan Islam itu, Barat belum sampai di era pencerahan dan revolusi industri enlightenment.

Demikian pula dengan karakter-karakter unggulan di atas, Bangsa Indonesia mampu mencapai kematangan sejarah dan jati diri luar biasa ketika tahun 1928 para pemuda dari beragam suku bangsa bisa bersepakat untuk mengidentitaskan perbedaan mereka pada satu ikatan pemuda, bangsa, bahasa, tanah air, yaitu Indonesia. Padahal belum ada jaminan dan kepastian bahwa Indonesia sebagai Negara bisa terwujud. Pun demikian dengan karakter-karakter unggulan di atas, tahun 1945 bangsa Indonesia mampu memproklamirkan menjadi sebuah negara baru, negara merdeka, negara yang berdaulat dan berhak menentukan langkah dan nasibnya secara mandiri.

Dalam konteks inilah akhlak bangsa menemukan korelasi positifnya, dimana bangsa Indonesia tidak saja hanya menjadi bangsa yang berbeda dengan karakter bangsa lain (Noor Achmad: Mencari Model Pendidikan Karakter Bangsa), namun akhlak bangsa saat itu menjadi faktor modal utama dan fundamental bagi pengembangan dan pembangunan Indonesia selanjutnya.

Realitas Tabiat

Tidak dapat diingkari, bahwa realitas yang terjadi di negeri ini adalah masih tingginya praktik korupsi (الرشوة); yang sejatinya adalah manifestasi dari membenarkan sikap bohong, anti proses, dan pencurian.

Kejahatan akademik berupa praktik manipulatif di lingkungan akademik dengan tujuan perolehan out put pembelajaran secara instan, penyalahgunaan anggaran pendidikan masih marak, padahal sejatinya ini kontradiktif sebagai kaum terpelajar. Paham permisivisme secara langsung maupun tidak, semakin tak terkendali. Ada perilaku memuja kebebasan individu, anti-sosial kemasyarakatan, anti penghormatan kepada yang tua, pengagungan perilaku acuh tak acuh seolah-olah hidup bebas dalam hak tanpa terikat kewajiban. Sehingga melakukan perbuatan dosa menurut agama -misalnya free sex, zina, mengadu domba, memprovokasi, dll- menjadi tidak berarti bila menjadi konsensus antar sesama. 

Paham materialisme yang semakin menguasai alam bawah sadar manusia dan mengendalikan pola pikir, emosi, dan budaya manusia; yang sejatinya pengagungan terhadap pola hidup hedonis, pandangan seolah-olah Allah tidak mengetahui dan melihat perilaku manusia, dan mendewa-dewakan harta benda di atas norma dan spiritualitas.

Egoisme sektarian yang semakin mengkastakan dan mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan suku, kelompok politik, etnis, dan bukannya melihat aspek kapabilitas dan profesional lagi dalam distribusi kekuasaan dan kesejahteraan. Kriminalitas yang semakin hari bukannya semakin berkurang, namun semakin merajalela bahkan menjadi budaya. Kekerasan sudah menjadi bahasa sehari-hari, nyawa manusia seolah-olah berharga sangat murah.  Termasuk di dalamnya kekerasan di media sosial dengan tingginya sebaran hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian (hate read).

Ketika semua realitas tabiat negatif tersebut semakin membanjiri dimensi kesadaran bangsa, akan berujung kepada terpuruknya bangsa ini yang nirprestasi. Bangsa ini dari tahun ke tahun semakin tersudut dalam pojok-pojok ranking prestasi membanggakan, dan justru semakin menghiasi puncak-puncak catatan rekor yang memalukan.

Akibat-akibat Keterputusan Idealitas Akhlak dengan Realitas Tabiat

Bangsa ini semakin berada dalam garis putus antara karakter ideal yang pernah mengantarkan bangsa Indonesia menggapai identitas adiluhung, dan realitas tabiat yang semakin menjerumuskan bangsa ini ke titik nadir jati diri yang memprihatinkan.

Terciptalah mentalitas instan (isti’jal / استعجال); yang menyajikan perilaku reaksioner, mudah heran, mudah marah, dan berpikir pendek. Mentalitas preman (hayawaniyah / حيوانية); yang semakin memburamkan wajah bangsa ini sebagai bangsa yang memiliki tingkat kriminalitas tinggi. Mentalitas egois (ananiyah / انانية); yang menciptakan warga bangsa Indonesia menjadi warga yang tidak mengenal tetangga dan saudara. Mentalitas sekuler (علمانية); yang semakin alergi dan phobi dengan agama dan tuntunan syariat. Sehingga tanpa disadari bangsa ini semakin jauh meninggalkan ajaran agama. Mentalitas partisan (syu’biyah / شعبية); yang semakin mengikis nilai-nilai persaudaraan sebangsa dan setanah air. Lalu terciptalah Mentalitas ikutan (follower/muqallid / تقليد). Bangsa ini terkungkung dalam kekerdilan, sepi prestasi dan inivasi, serta semakin kehilangan identitas dan DNA sebagai bangsa yang besar dan kreatif. Mentalitas asal beda (khalif tu’raf /  خالف تعرف);  yang dalam ranah aliran keagamaan dan kepercayaan semakin marak dan semakin banyak munculnya kelompok menyimpang, sempalan, atau aliran sesat.

Kemunculannya tidak serta-merta sebagai konsekuensi kebebasan berekspresi dan berpendapat serta berkeyakinan, namun disinyalir lebih didominasi oleh motif-motif trouble maker, memecah belah, dan mengail di air keruh, hingga pada motif pencarian jati diri (existence searching). 

Faktor Penyebab

Seyogyanya, tidak begitu urgen untuk mencari kambing hitam siapa yang bersalah hingga bangsa yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang besar, berpengaruh, dan disegani di dunia internasional di bidang perdamaian, intelektual, budaya, kekayaan alam, dan keindahan panoramanya, hingga bangsa ini terkesan menjadi bangsa yang miskin, terbelakang, anarkis, dan tidak punya haluan dan visi yang tegas.

Yang jelas, banyak faktor penyebab mulai dari kekurangdewasaan politik yang masih premature menjalankan demokrasi, sehingga demokrasi mengalami penyumbatan di tingkat elit penguasa semata. Ada faktor orientasi distribusi kesejahteraan yang masih kurang optimal berpihak kepada rakyat kecil, hingga kekayaan alam bangsa justru mengenyangkan segelintir kelompok elit. Ada juga faktor lemahnya pemberdayaan pendidikan, sehingga ilmu pengetahuan tidak lancar tertransformasi hingga kepada rakyat miskin. Pendidikan seolah hanya berpihak kepada mereka yang berpunya sehingga mampu mengenyam bangku pendidikan ke tingkat tertinggi bahkan sampai ke luar negeri yang bonafide.

Sementara ada warga bangsa ini yang tidak mengenal bangku sekolah, ada yang terpaksa putus sekolah dan lebih memprioritaskan untuk bekerja mempertahankan hidup. Indikasinya, di tingkat tenaga pengajar, sertifikasi guru dan dosen pun baru dimulai pada babak awal pasca reformasi. Kalau tenaga pengajarnya saja belum terberdayakan, bagaimana dengan kualitas peserta didiknya?

Peran MUI: Menarik Kondisi Realitas agar Kembali kepada Idealitas

Ada empat hal yang saling terkait secara fundamental dan operasional sebagai metode terwujudnya tatanan negara-bangsa yang berkarakter dalam bingkai religius. Mengenai peran ulama, Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitabnya, Nashoihul ‘Ibad menyebutkan tiga tipe ulama; ulama yang ahli ilmu, ulama yang ahli hikmah, dan ulama yang ahli peran kebijakan publik. Apapun tipe ulama, yang jelas ulama adalah ahli di bidangnya dan disertai dengan akhlak yang tinggi. Ilmu ulama inilah yang harus senantiasa dilibatkan dalam pengambilan kebijakan berbangsa dan bernegara.

Pertama, peran pemerintah; pemerintah yang adil, terkontrol, tegas, dan berpihak pada kesejahteraan publik adalah syarat mutlak. Sebagaimana deklarasi Sayidina Abu Bakar saat dibaiat menjadi khalifah pertama, yang berpidato di depan umat seraya menuntut jika dia sebagai pemimpin bertindak benar maka wajib diikuti. Namun jika berbuat salah, maka pedang sudah disiapkan. 

Kedua, peran zu'ama; kelompok aghniya, kelas aristokrat, dan pengusaha yang bersih dari praktik kotor, harus mendukung penuh terselenggaranya dan tersemainya ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjunjung tinggi akhlak mulia, pembangunan karakter bangsa unggul; mendukung penuh kebijakan pemerintah yang pro kepada supremasi akhlak mulia.

Ketiga, peran rakyat; kelompok umat dan warga negara yang baik adalah menaati perintah pemimpinnya yang jujur, membela yang benar, dan kebijakannya tidak bertentangan dengan ajaran agama; mengawasi dan mengontrol perilaku pejabat dan pengusaha agar senantiasa istiqamah dan konsisten dalam ranah penyelenggaraan pemerintahan dan usaha yang bersih, bermartabat, dan berwibawa.  Dan juga, mendoakan serta patuh sepenuh hati terhadap perintah dan peraturan negara sebagai manifestasi ulil amri selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. 

Falsafah Khadimil Ummah dalam nilai-nilai perkhidmatan MUI kepada umat dan bangsa Indonesia yang meliputi menjaga dan melindungi umat dan bangsa Indonesia dari paham dan pemikiran destruktif (himayah wa ri’ayah al-ummah min al-afkar wa al-fawahim al-fasidah), perbaikan kualitas umat dan bangsa (istishlahiyyah al-ummah), penguatan dan pemberdayaan umat dan bangsa (taqwiyyah al-ummah), penataan pergerakan umat dan bangsa (tansiq al-harakah), konsolidasi dan manajemen system (taswiyah al-manhaj), dan persatuan umat dan kedaulatan bangsa (tawhid al-ummah). []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 13 Februari 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Arif Fahrudin (Wasekjend MUI)

Editor: Hakim