Misteri 26.000 Lebih Manuskrip Kuno Nusantara di Perpustakaan Universitas Leiden

 
Misteri 26.000 Lebih Manuskrip Kuno Nusantara di Perpustakaan Universitas Leiden

LADUNI.ID, Jakarta - Nenek moyang kita sebelum ditemukannya mesin ketik, komputer, dan internet seperti sekarang, demen mendokumentasikan peristiwa, ilmu, dan falsafah hidup mereka dalam bentuk naskah yang kita sebut sebagai manuskrip. Manuskrip-manuskrip ini biasanya ditulis dalam aksara kuno sesuai asal wilayah masing-masing. Ada yang ditulis menggunakan huruf Jawa Hanacaraka, menggunakan aksara Batak, aksara Sunda, dan masih banyak lagi.

Ketika agama Islam mulai memasuki Nusantara, manuskrip juga banyak yang ditulis menggunakan huruf Arab. Yang ditulis juga sama, seputar sejarah, ilmu leluhur, dan falsafah hidup mereka.

Namun sayangnya manuskrip-manuskrip kuno tersebut tak semuanya bisa disimpan oleh pemerintah yang sekarang dan bebas kita akses untuk dipelajari. Ke manakah manuskrip-manuskrip kuno tersebut menghilang?

***

Sebenarnya tidak hilang. Lebih tepatnya tercecer di banyak negara. Ada yang tercecer di Malaysia, ada yang tercecer di Inggris, dan paling banyak ada di Belanda. Di Belanda sendiri, ada sebuah Universitas yang memiliki perpustakaan cukup besar yang menampung manuskrip kuno Nusantara dengan lengkap. Eh, bisa dikatakan lengkap tidak yah? Anggap saja lengkap lah ya, karena di sana tersimpan 26.000 lebih manuskrip kuno Nusantara.

Perpustakaan tersebut adalah perpustakaan Universitas Leiden,  Belanda, yang menjadi jendela untuk melihat masa lalu Nusantara, yakni lokasi tempat tersimpannya naskah-naskah kuno Nusantara hingga mencapai 26.000 lebih naskah. Bahkan, Perpustakaan Nasional RI saja hanya memiliki sekitar 10.300 manuskrip saja, itupun sudah hasil dari ambil sana-sini. Maksudnya, yang tercecer di Perpustakaan Daerah, yang dimiliki bupati, yang dimiliki Gubernur, yang dimiliki rakyat sipil, sudah dikumpulin jadi satu dalam Arsip Nasional. Jumlahnya ternyata tidak ada setengahnya dibandingkan dengan yang disimpan oleh Belanda.

Sangat menggelitik ketika kita tahu naskah-naskah kuno negara kita justru dimiliki oleh negara asing. Padahal dalam naskah tersebut berisi banyak ilmu dan informasi, meliputi sejarah, ilmu spiritual, ilmu politik dan sosial, ilmu keagamaan, budaya, mantra-mantra kuno, ilmu tata kota sejak zaman kerajaan Hindu Buddha, sastra kuno Nusantara, ratusan surat-surat Kartini, bahkan lukisan-lukisan Kartini pun disimpan di Leiden.

Bahkan menurut Prof, Carel Stolker, Rektor dari Universitas Leiden, saking banyaknya manuskrip kuno Nusantara yang disimpan di sana, jika dijejer panjangnya bisa mencapai 12 km loh! Waaaw, kebayang nggak seperti apa banyaknya?

Lalu muncullah pertanyaan: Kenapa naskah-naskah kuno kita malah banyak berada di Belanda? Mengapa Belanda menyimpannya sampai sekarang? Ada kepentingan apakah?

Mengapa pemerintah tidak memulangkan naskah-naskah tersebut ke Indonesia? Bukankah naskah tersebut penting? Bukankah dari naskah-naskah tersebut, bisa saja sejarah dan jati diri bangsa Indonesia terungkap dengan lebih jelas?

Dan pertanyaan yang paling menggelitik adalah: "Se-sexy itukah manuskrip-manuskrip kuno Nusantara, sampai dulu penjajah Belanda rela memboyongnya ke negara mereka hingga menumpuk puluhan ribu jumlahnya?"

Pertanyaan selanjutnya: "Belanda memboyong naskah-naskah kuno tersebut, untuk disimpan saja alias diarsipkan, ataukah ada maksud lebih penting dibandingkan sekedar mengarsipkan data-data dari wilayah jajahannya?"

Mungkinkah ada ilmu penting yang tertera di dalam 26.000 lebih manuskrip kuno tersebut sehingga Belanda rela menyediakan ruangan yang luas untuk penyimpanan, dan menggelontorkan dana tak sedikit untuk biaya perawatannya?

Well, merawat 26.000 lebih manuskrip kuno itu nggak mudah loh. Sebab leluhur kita dulu menuliskan pengetahuan dan data-data mereka ke dalam lembaran-lembaran yang terbuat dari daun lontar dan daun nipah. Ada juga yang dari kulit. Jika tahunnya agak modern sedikit (yah, sekitar era Revolusi industri), barulah ditulis dalam bentuk buku berbahan kertas, itupun kondisinya sudah rapuh banget sekarang. Makanya biaya perawatannya juga tidak murah.

Bagaimana naskah-naskah kuno Nusantara tersebut mencapai negeri Belanda?

Pada tahun 1575, Universitas Leiden dibangun karena Belanda sudah sangat menyadari pentingnya pendidikan. 12 tahun kemudian, tepatnya di tahun 1587, Perpustakaan Leiden resmi dibuka. Perpustakaan ini kemudian digunakan untuk mengarsipkan berbagai dokumen penting yang didapatkan oleh Belanda.

Pada tanggal 27 Juni 1596, koloni Belanda pertama berhasil berlayar dan berlabuh di Banten. Koloni pertama ini dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Tentu saja mereka datang ke Banten untuk berdagang. Hasil bumi tanah Sunda mereka angkut, kemudian mereka bawa pulang ke Belanda untuk dijual dengan margin keuntungan yang menggiurkan. Aktivitas perdagangan ini kemudian dinaungi oleh sebuah perusahaan raksasa bernama Vereenidge Oostindische Compagnie (VOC) yang berdiri di tahun 1602.

VOC ini sebenarnya adalah perusahaan publik yang dibentuk oleh para pemegang saham dari East India Company, perusahaan dagang dengan komoditas produk hasil bumi dari India. Jika East India Company dimiliki oleh para globalis dari Inggris dan beroperasi di India-Inggris, maka VOC adalah anak perusahaan mereka yang beroperasi di Belanda-Indonesia. Masih ingat siapa klan keluarga yang pertama memodali East India Company? Siapa lagi kalau bukan klan keluarga Rothschild?

VOC datang ke Nusantara dengan membawa banyak armada laut. Ketika kembali ke negaranya, kapal-kapal mereka tak hanya membawa hasil bumi untuk dijual kembali, tapi mereka juga membawa 2 hal penting yang didapat dari Nusantara, yakni peta-peta yang dibuat selama pelayaran dan manuskrip-manuskrip kuno Nusantara.

Untuk apakah manuskrip kuno ini diborong?

Tak hanya memborong naskah-naskah kuno Nusantara. Belanda juga kemudian membuat kamus bahasa pribumi di Nusantara yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Ada kamus bahasa Jawa-Belanda, kamus bahasa Bugis-Belanda, kamus bahasa Sunda-Belanda, dan masih banyak lagi.

Tujuan dari dibuatnya kamus ini adalah supaya para akademisi Belanda bisa mempelajari isi dari naskah-naskah kuno yang diborong itu tadi. Tak jarang, pembuat kamusnya juga seorang misionaris (penyebar agama Kristen) di Hindia Belanda, seperti contohnya Benjamin Matthes dan J.H. Neumann.

Di Universitas Leiden, manuskrip-manuskrip kuno ini kemudian diajarkan kepada orang-orang Belanda sebelum mereka dikirim untuk bekerja di Hindia Belanda. Bekerja sebagai pegawai VOC tentunya. Melalui manuskrip kuno ini, mereka belajar tentang bahasa, sejarah, adat istiadat, dan budaya pribumi Nusantara.

Christian Snouck Horgronje adalah nama salah satu guru besar yang menjadi dosen bagi para pegawai VOC Belanda sebelum mereka dikirim bekerja di Nusantara.

Menurut Fances Gouda dalam bukunya Dutch Culture Overseas, mereka (yakni para calon pegawai VOC untuk Hindia Belanda/ Indonesia) harus merasakan :

"Pendidikan modern yang menyerap kurikulum akademis yang kaya dan beragam, yang memadukan mata kuliah seperti geografi, sejarah, dan agama-agama di Indonesia, hukum Islam dan hukum adat, prinsip-prinsip bahasa, baik bahasa Melayu atau Jawa, maupun bahasa pribumi lainnya."

Bahkan di Universitas Leiden dulu ada jurusan yang bernama "Jurusan Indologi" yang khusus mempelajari banyak hal tentang Indonesia.

Setiap kali armada laut Belanda mendatangi Hindia Belanda, ketika pulang mereka kerap memboyong naskah-naskah kuno yang berhasil mereka temukan dan mereka dapatkan dari penduduk setempat. Sampai akhirnya terkumpullah 26.000 lebih naskah-naskah kuno tersebut. Ketika Indonesia merdeka hingga saat ini, Indonesia hanya mampu mengumpulkan 10.300 naskah kuno saja. Itupun sudah naskah-naskah sisa yang tidak sempat dibawa atau ditemukan oleh Belanda. Jumlah ini sangat jauh bila dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Belanda.

Lalu kenapa pemerintah tidak memulangkan 26.000 manuskrip-manuskrip kuno tersebut ke sini?

Menurut Sri Sulasih, Kepala Perpustakaan Nasional RI, pihak Indonesia mengalami kesulitan saat memulangkan naskah-naskah tersebut. Sebab manuskrip-manuskrip tersebut sudah dibeli di luar negeri. Mereka telah menginvestasikan banyak uang untuk membeli naskah-naskah tersebut.

Ini tentu saja menimbulkan pertanyaan kritis. Mengapa naskah-naskah tersebut sampai dibeli dan dipertahankan? Sekedar untuk koleksi barang antik saja, ataukah ada yang lebih berharga nilainya daripada sekedar "barang antik"? Mungkinkah di dalam naskah-naskah tersebut tersimpan ilmu-ilmu penting yang telah dipelajari para pengusaha, konglomerat, bangsawan, dan globalis Belanda dulunya beserta anak buahnya?

Manuskrip pertama Nusantara sampai di Perpustakaan Leiden pada tahun 1597. Jumlahnya ada 10 manuskrip. Salah satu manuskrip ini berkode Or 266, dan berisi tema sebagai berikut:

  1. Doa dan azimat (kitab primbon)
  2. Panduan akhlak-akhlak terpuji bagi seorang Muslim

Tapi dalam kelanjutannya, Belanda hanya menyimpan 4 manuskrip saja. Sisa 6 manuskripnya sudah berpindah ke Inggris dan disimpan di sana. Mengapa sampai berpindah?

Mungkinkah di dalamnya ada ilmu-ilmu spiritual dan mistis yang disematkan di dalam naskah? Sehingga penting untuk mereka pelajari? Jangan lupa, nenek moyang kita di awal penyebaran Islam masih kental menggabungkan mistis dengan ilmu-ilmu agama Islam. Contohnya seperti yang tertuang dalam Serat Centini. Apakah hal tersebut tertuang juga dalam manuskrip kuno yang berpindah-pindah negara tersebut?

Lalu, mengapa Belanda sampai rajin memboyong 26.000 lebih naskah ke Leiden dan menyimpannya? Apakah yang mereka pelajari hanya sebatas sejarah, ilmu tata kota, ilmu budaya, dan filsafat Nusantara? Ataukah ada ilmu mistis dan ilmu spiritual penting yang juga mereka pelajari dari naskah-naskah tersebut?

Jangan lupa, banyak dari anggota VOC yang juga menjadi member dari Secret Society. Sudah rahasia umum bila Secret Society mempelajari beragam ilmu spiritual dan esoteris kuno, berikut filsafat, mistik, dan sihir yang mengiringinya. Banyak literasi yang mengatakan bahwa sumber ajaran dari Secret Society adalah dari ilmu spiritual Mesir Kuno. Tapi bagaimana jika ilmu-ilmu spiritual dan mistik tersebut juga dipelajari dari naskah-naskah kuno Nusantara?

Salahkah jika kita bertanya demikian? Mengingat di Belanda banyak pengusaha global elit yang tergabung dalam VOC dan belajar di Secret Society, sedangkan di Inggris sendiri ada East India Company yang jelas-jelas dimodali oleh klan keturunan Rotschild yang juga anggota dari sebuah Secret Society? Mungkinkah persebaran manuskrip itu terjadi di antara para elit-elit di balik perdagangan rempah-rempah dari India dan Nusantara?

Sangat miris bukan, ketika akademisi kita ingin mengkaji masa lalu Nusantara, mereka banyak yang harus pergi ke Belanda dulu demi bisa membaca naskah-naskah tersebut. Itu yang di Belanda. Bagaimana dengan yang di Inggris? Padahal menurut Peter BR Carey seorang sejarawan Inggris, banyak sekali loh naskah-naskah kuno Nusantara tersebar di berbagai negara. Di Inggris saja diperkirakan ada 500-600 jenis naskah kuno yang tersebar di London, Manchaster, dan Oxford.

Lalu apakah selamanya naskah-naskah kuno tersebut akan tersimpan di negara asing?

Beruntungnya kita yang hidup di zaman ini. Karena sekarang Leiden telah memberikan 20.000 duplikat naskah kuno tersebut ke Indonesia. Selain itu, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) telah bekerja sama dengan Koninklijk Instituut voor Taal-Land-en Volkenkunde (KITLV) untuk men-digital-kan naskah-naskah kuno tersebut. Sehingga generasi penerus bangsa bisa mengaksesnya melalui sistem repositori dan depositori.

Kapankah proses digitalisasi ini selesai? Dan apakah semua manuskrip kuno tersebut akan didigitalkan? Tentulah ini pertanyaan yang jawabannya memerlukan kawalan dari kita.

Percuma juga bila naskah-naskah kuno tersebut di-digital-kan semua, jika tidak ada anak cucu bangsa yang bersedia mempelajari ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya, kemudian mempraktekkan dan menyebarkan ilmu tersebut ke sesama putera-puteri bangsa.

Sayangnya, yang terjadi di Indonesia sekarang adalah, jurusan kuliah atau bidang ilmu yang khusus mempelajari naskah-naskah kuno Nusantara sudah sepi peminat. Selain itu, penjualan naskah-naskah kuno kepada pihak asing justru masih ada, seperti yang dikutip dari halaman Perpusnas.go.id.

Manuskrip kuno Nusantara yang berhasil dibuat versi digitalnya melalui website Perpustakaan Nasional RI pun, saya lihat beberapa di antaranya sudah mulai mengalami kehancuran, sehingga tidak semua tulisan bisa dibaca. Menyimpannya dalam bentuk digital pun bukan jaminan aman selamanya. Kita tak bisa menjamin apakah selamanya listrik dan internet tersedia.

Ilmu dalam bentuk fisik (manuskrip) dan maya (digital) bisa lenyap kapan saja. Tapi bila terekam dalam memory manusia, masih bisa ditularkan ke orang lain.

Jika pihak asing saja masih memburu naskah-naskah kuno Nusantara hingga saat ini, kenapa kita yang justru ahli warisnya malah tidak "aware" (sadar)?.(*)

***

Penulis: Lia Lestari
Editor: Muhammad Mihrob