Memasyarakatkan Perpustakaan Inklusi Sosial

 
Memasyarakatkan Perpustakaan Inklusi Sosial

 

LADUNI.ID, ARTIKEL-Berdasarkan survey World Culture Index Score (WCIS) 2018 kegemaran membaca masyarakat Indonesia meningkat. Indonesia menempati urutan ke-17 dari 30 negara, dalam hal membaca. Indonesia mengha­bisakan waktu membaca sebanyak 6 jam/minggu, mengalahkan Argentina, Turki, Spanyol, Kanada, Jerman, Ame­ri­ka Serikat dan negara maju lainnya dengan rata-rata 3 jam/minggu. Namun, dalam tingkat pema­haman terhadap narasi yang dibaca masih sangat rendah. Senada dengan laporan OECD Program for International Student Assessment (PISA) 2015, berkesimpulan bahwa performa membaca siswa Indonesia berada pada peringkat 65 dari 69 negara.

Peningkatan kegemaran membaca ini seiring dengan keberpihakan kebijakan pemerintah terhadap regulasi, kelembagaan dan pengganggaran pembangunan per­pustakaan, sehingga menghantarkan Indo­nesia menjadi negara peringkat ke-2 ter­banyak infrastruktur perpustakaan di dunia setelah India (OCLC, 2017).

UU No. 43/2007 tentang Perpustakaan pasal 5, mengamanatkan masyarakat mem­punyai hak yang sama memperoleh laya­nan serta memanfaatkan dan mendaya­gunakan fasilitas perpustakaan, baik di daerah terpencil, terisolasi, atau terbelakang sebagai akibat faktor geografis memiliki cacat dan/atau kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial.

Selaras dengan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 12 ayat (2) juga menjelaskan bahwa perpustakaan menjadi urusan wajib pemerintah yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.

Pemerintah melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2019 telah meletakkan fondasi kuat dengan menja­dikan literasi untuk kesejahteraan sebagai kegiatan prioritas nasional dalam rangka percepatan pencapaian sasaran pengem­bangan manusia dan penurunan kemis­kinan. Kebijakan nasional ini juga selaras dengan upaya bangsa Indonesia dalam mewujudkan Indonesia emas 2045. Potensi ini sangat terbuka, dengan dukungan bonus demografi pada tahun 2034 dimana pen­duduk usia produktif 65% akan mendo­minasi populasi (BPS, 2018).

Melalui masyarakat berpengetahunan, maka dapat dipastikan Indonesia dua puluh tahun yang akan datang menjadi pusat produksi barang/jasa. Indonesia tidak lagi sebagai tujuan pasar dunia base on market tapi menjadi negara kuat sebagai pusat produksi barang/jasa. Maka, upaya mewu­judkan masyarakat berpengetahuan tersebut peranan perpustakaan menjadi amat penting dan strategis. Oleh sebab itu, Perpustakaan Nasional menjadikan transformasi per­pustakaan berbasis inklusi sosial menjadi ino­vasi dan unggulan layanan yang bero­rientasi pada dampak langsung bagi masya­rakat.

Perpustakaan tidak lagi sekedar menyim­pan dan meminjam buku. Akan tetapi, per­pus­takaan berubah bentuk menjadi ruang­  publik terbuka, dimana setiap orang dapat men­­jadikan perpustakaan ruang berbagi pe­­nga­laman, ruang eksperesi dan pengem­ba­­ng­an talenta serta ruang belajar sepanjang hayat.

Transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial tahun 2019 memiliki sasaran target 21 provinsi, 60 kabupaten/kota dan 300 desa di seluruh Indonesia, melalui tiga pendekatan proyek; pertama, pembangu­nan konektivitas akses literasi melalui peme­rataan layanan perpustakaan berbasis in­klusi sosial sampai ke pedesaan. Melalui modernisasi layanan perpustakaan dengan teknologi informasi serta penguatan kelembagaan dan regulasi; kedua, pengem­bangan konten melalui informasi terapan yang inklusi melalui buku atau paket informasi baik tercetak maupun digital yang dapat diakses secara cepat; ketiga, peningkatan kapasitas tenaga pengelola perpustakaan melalui pendampingan masyarakat untuk literasi dengan mem­bentuk master trainer dan fasilitator literasi bagi masyarakat desa.

Mekanisme pelaksanaan program ter­­sebut dilakukan melalui kegiatan sosialisasi, workshop penguatan komitmen daerah, bantuan sarana prasarana layanan per­pustakaan, bimtek dan pelatihan, bantuan buku-buku terapan, advokasi dan pendam­pingan serta monitoring.

***Adin Bondar, sumber: analisadaily