Menggugat Israel, “Etno-Demokrasi,” dan Paradoks Modernitas
Laduni.ID, Jakarta - Kenapa mesti mengkritik Israel? Kenapa tidak membelanya? Ada banyak hal yang positif kok dalam Israel yang layak dibela? Jawabannya sederhana. Memakai analogi penjajahan Belanda yang saya pakai dalam dua tulisan sebelumnya, kita bisa saja membela negeri kincir angin itu saat ia menjajah Indonesia. Belanda adalah negara maju, pewaris peradaban Pencerahan Eropa yang berasaskan rasionalitas, pendidikan rakyatnya maju, tingkat peradabannya tinggi, bla-bla-bla.
Banyak alasan yang bisa dipakai untuk membela Belanda. Tetapi jika jalan “pembelaan” atas penjajah itu yang dipilih oleh bangsa Indonesia dulu, generasi Sukarno dkk, sudah pasti tidak akan berjuang untuk memerdekakan Indonesia. Buat apa memerdekakan diri dari Belanda? Bukankah akan lebih baik jika Indonesia menjadi negeri vasal saja dari Belanda, negeri yang maju itu?
Israel perlu dikritik, bukan dibela, sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, ia adalah penjajah. Atau, jika anda tidak setuju menyebut Israel sebagai penjajah, ia adalah kelanjutan dari proyek kolonialisme Eropa pada abad ke-20. David Ben-Gurion, perdana menteri pertama Israel dan salah satu perumus awal konsep pertahanan Israel (disebut dengan “Iron Wall”; penggas awal konsep ini sebetulnya adalah Ze’ev Jabotinsky), mengaku jujur: bahwa Israel pada dasarnya “agresor.” Israel didirikan di tanah yang sudah diduduki selama ratusan tahun oleh orang lain, dan mendirikan negeri baru di sana. Pengakuan jujur ini dicatat oleh Avi Shlaim, seorang sejarawan Yahudi revisionis yang tinggal di Inggris, dalam bukunya The Iron Wall: Israel and The Arab World (2001).
Kedua, dalam posisi saat ini, tidak ada alasan lain kecuali membela Palestina, sebab Israel adalah negara dengan kekuatan besar, disokong tanpa “reserve” oleh negara adi-kuasa saat ini, Amerika Serikat. Setiap tahun, negeri ini medapat kucuran bantuan sebesar US$3,8 milyar. Ini belum memasukkan pasokan lain berupa penjualan senjata paling canggih buatan Amerika. Pada saat konflik Israel-Palestina sedang memanas, misalnya, pemerintahan Presiden Joe Biden menyetujui penjualan senjata senilai US$ 700-an juta kepada Israel. Dan kita tahu, senjata asal Amerika inilah yang selama ini dipakai Israel untuk menindas dan membunuhi warga Palestina. Protes sejumlah anggota Kongres dari Partai Demokrat sama sekali tidak mengubah kebijakan itu.
UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN
Masuk dengan GoogleDan dapatkan fitur-fitur menarik lainnya.
Support kami dengan berbelanja di sini:
Rp279.000
Rp357.000
Rp300.000
Rp132.000
Memuat Komentar ...