Pendekatan Dakwah kepada Pemimpin Ala Habib Umar bin Hafidz dan Syaikh Ramadhan Al-Bhuti

 
Pendekatan Dakwah kepada Pemimpin Ala Habib Umar bin Hafidz dan Syaikh Ramadhan Al-Bhuti
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID Jakarta - "Kala itu Presiden Yaman mengadakan kunjungan ke Darul Musthofa Tarim," guru saya, Syaikh Umar Husain bercerita. Lalu cerita dilanjutkan, "Sebagai tuan rumah, Habib Umar menyambutnya dengan sambutan istimewa, beliau bahkan menggandeng tangan Presiden dan mengajaknya untuk berkeliling melihat suasana di Darul Musthofa. Melihat pemandangan itu, ada salah satu santri asal Amerika yang merasa sangat janggal dan bertanya-tanya."

Santri tadi menggumam, "Bagaimana bisa Habib Umar yang terkenal dengan kewaliannya bisa menghormati Presiden sedemikian rupa? Bagaimana bisa beliau dekat dan bergandengan tangan dengan sosok yang terkenal dengan kezaliman dan kediktatorannya itu?"

Ia akhirnya mendatangi Habib Ali Al-Jufri untuk menanyakan hal itu. Tapi Habib Ali malah menjawab:

"Mengapa kau malah bertanya padaku? Tanyakan saja langsung kepada Habib Umar."

Karena pertanyaan itu makin bergejolak di hatinya, ia akhirnya mendatangi Habib Umar untuk bertanya.

"Habib... Bagaimana bisa Habib memuliakan Presiden seperti itu? Bukankah seharusnya seorang Ulama selalu menjauhi dan memusuhi penguasa?"

Habib Umar menjawab dengan dua patah kata, dua patah kata yang meruntuhkan perasaan suudzon santri tersebut selama ini. Beliau berkata:

"اَلرَّئِيْسُ مَدْعُوٌّ"

"Presiden juga merupakan objek dakwah kita."

Dari jawaban Habib Umar itu, kita bisa memahami bahwa para ulama dan dai' tidak akan pernah tebang pilih dan pandang bulu dalam berdakwah dan menyebarkan kebaikan. Semuanya adalah sasaran dakwah dan kebaikan mereka, baik itu rakyat biasa atau pemimpin sekalipun. Jika bukan mereka yang mendakwahi Presiden dan menunjukkan kepadanya nilai-nilai keindahan Islam, maka siapa lagi? Jika para ulama menjauhi dan tidak merangkul para pemimpin dan penguasa, justru mereka akan semakin jauh dan tidak menyukai hal-hal yang berbau agama.

***

Pada akhir tahun 70-an, Syaikh Ramadhan Al-Bhuti mendapat undangan untuk mengisi ceramah dalam acara peringatan Tahun Baru Hijriyah di hadapan Presiden Suriah kala itu Hafiz Al-Asad. Syaikh Bhuti tak serta merta menerimannya, beliau meminta izin dulu kepada Sang Ayah yang juga merupakan seorang wali besar, Syaikh Mulla Ramadhan Al-Buthi. Dan diluar prasangkanya, ternyata Sang Ayah merestui dan memberikan izin. Beliau akhirnya memenuhi undangan khusus Presiden tersebut, dan pidato Syaikh Buthi kala itu sukses membuat Presiden terkesan.

Momen itulah yang akhirnya membuat Syaikh Buthi memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Hafiz Alasad. Presiden Hafiz begitu kagum dengan pemikiran-pemikiran Syaikh Buthi yang menurutnya sangat maju dan luas, sangat berbeda dengan pemikiran ulama-ulama lain yang hanya bisa mengkritik dan mencaci-maki pemerintahannya di atas podium dan mimbar-mimbar

Kala itu Hafiz Alasad memang sedang sangat sensitif kepada ulama-ulama yang aktif dalam gerakan Islam khususnya Ikhwanul Muslimin. Presiden Suriah yang terkenal dengan kediktatorannya itu tak segan memenjarakan orang yang terang-terangan mengkritik dan menyerang pemerintah. Tak sedikit ulama yang dipenjara, banyak juga yang memilih keluar dari Suriah dan dicekal untuk masuk kembali.

Kedekatan Syaikh Buthi dengan pemerintah jelas membuat banyak pihak tak suka. Mereka menuduh beliau sebagai ulama penjilat, pengecut, ulama bayaran, ulama su' (buruk) dan julukan keji lainnya. Namun Syaikh Buthi tak peduli, beliau justru memanfaatkan kedekatannya itu untuk kepentingan umat Islam. Dan hasilnya benar-benar nyata, berkat dakwah lembut Syaikh Buthi itu, buku-buku dan kitab-kitab Islam yang dulu sempat dilarang di Suriah akhirnya diizinkan untuk diterbitkan kembali. Televisi Suriah mulai ramai diisi dengan acara-acara Islami, termasuk kajian Tafsir yang diisi Syaikh Buthi setiap minggunya.

Fenomena menakjubkan juga diceritakan oleh Dr. Bassam Assai ketika pertama kali mendarat di Suriah setelah 17 tahun lebih beliau tinggal dan menetap di Inggris. Kala itu Syaikh Buthi menyambutnya di Bandara:

"Pada tahun 1997 ketika aku baru mendarat..., tentu saja ada perasaan takut dan khawatir setelah 17 tahun aku tidak pernah kembali ke Suriah. Waktu itu Syaikh Buthi sudah datang untuk menyambutku. Ketika kami berpelukan, tiba-tiba ada sekitar 5-6 pembesar Polisi berjalan menuju arah kami. Aku ketakutan dan bertanya-tanya."

Dalam hatiku bergumam, "Ada apa ini? Apakah mereka semua ingin menangkapku?"

"Tapi betapa terkejutnya diriku setelah mengetahui bahwa mereka hanya ingin "menculik" Syaikh Buthi dariku. Mereka terlihat sangat menghormati beliau, ada yang meminta fatwa mengenai problem istrinya, ada yang curhat mengapa Syaikh Buthi tidak menambah jam kajian di televisi, dan ada juga yang meminta agar beliau meringankan bahasa kajiannya agar lebih mudah dipahami."

"Akhirnya aku merasa tenang. Pertama, karena tidak terjadi apa-apa padaku. Kedua, karena Suriah sedang baik-baik saja. Dimana-mana yang aku ketahui, polisi-polisi merupakan golongan yang paling tidak peduli dengan fatwa-fatwa dan pembahasan agama, tapi sekarang berbeda. Jadi Apakah sebenarnya yang terjadi di Suriah setelah sekian lama aku tinggalkan?"

"Jawabannya baru aku temukan setelah berulang kali aku berkunjung ke Suriah selepas itu. Suriah sekarang (berkat dakwah Syaikh Buthi) sudah banyak berubah. Masjid-Masjid dan Ma'had-ma'had bertambah semakin banyak. Orang-orang yang tertarik datang ke Masjid atau belajar di Pesantren makin meningkat tiap harinya. Makin banyak pemuda yang menjadi Imam dan Khotib Masjid. Simbol-simbol agama semakin dihormati dan dimuliakan. Bahkan di sepanjang jalan Suriah, makin banyak wanita-wanita yang memakai hijab dan berpakaian sopan. Sebuah fenomena yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya!"

Kisah ini sangat mengagumkan dan bisa dipetik pelajaran. Tapi tidak berhenti di sini. Dikisagkan bahwa pasca bertahun-tahun dekat dengan Syaikh Buthi, Presiden merasa ada sesuatu yang aneh. Penyebabnya adalah selama ini Syaikh Buthi sama sekali tidak pernah meminta imbalan apapun atas nasehat dan arahan yang beliau berikan.

Syaikh Buthi memang tak pernah memanfaatkan kedekatannya dengan Presiden untuk meraup keuntungan duniawi. Sejak dulu beliau tetaplah sosok yang zuhud dan sederhana. Habib Ali  Al-Jufri bahkan pernah bercerita bahwa selama 80 tahun kehidupan Syaikh Buthi, beliau tidak memiliki mobil sama sekali, selama hidupnya beliau dan keluarga juga tinggal di lantai 4 apartemen kontrakan.

Untuk mengobati rasa penasarannya, suatu hari Presiden Hafiz memerintahkan anaknya Basil untuk menemui Syaikh Buthi secara khusus dalam rangka menyampaikan bahwa Presiden siap memberikan apapun yang Syaikh Buthi minta.

Tawaran itu telah disampaikan. Tapi beliau justru mengirimkan pesan untuk Presiden:

"Sampaikan salam hormat dan terimakasihku untuk Presiden. Sampaikan bahwa aku tidak meminta apa-apa. Aku hanya meminta satu hal: keluarkan mereka yang ada di dalam dan masukkan mereka yang ada diluar"

Tak lama selelah itu, 3000 anggota Ikhwanul Muslimin (yang kebanyakan dari mereka dulu pernah mencaci maki Syaikh Buthi dan menuduh beliau sebagai ulama penjilat) dibebaskan dari penjara. Cekal tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin yang ada diluar negeri juga dicabut oleh Presiden.

Dan pada akhirnya pada tahun 2013, Syaikh Buthi yang sudah seperti seorang bapak yang mengayomi masyarakat Suriah, dengan jasa-jasa yang menggunung dan tak terhitung itu, beliau meninggal dunia, syahid dibunuh oleh golongan radikal yang menghalalkan darahnya karena dianggap sebagai penjilat dan pembela pemerintah "thoghut" yang zalim.

Kita bisa memetik pelajaran yang sangat berharga dari kisah Syaikh Buthi. Ada makna tersirat yang bisa diteladani. Janganlah terlalu mudah berprasangka buruk kepada seseorang, lantas menyematkan label "penjilat", ulama su', pengecut, munafik, dan lain sebagainya kepada ulama, kiyai, ormas atau bahkan pesantren yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintah.

Sekali lagi tolak ukur di dalam hal ini adalah keikhlasan dan ketulusan hati yang tidak pernah bisa kita ketahui sampai kapanpun. Kita tidak pernah memungkiri bahwa ulama su' dan penjilat pemerintah memang ada, tapi jangan sampai kita lupa -sebagaimana Habib Ali Al-Jufri pernah sampaikan- bahwa di zaman ini yang tak kalah banyak adalah para penjilat publik. Mereka yang menyerang dan mencaci maki pemerintah "hanya" demi tepuk tangan, pujian, pujaan dan simpati para pengikut dan pendukungnya, hanya agar publik dan khalayak menganggapnya sebagai pahlawan penyuara kebenaran yang tegas dan gagah berani.

Kita harus paham, bahwa yang menjadi tolak ukur dalam dakwah bukanlah keras atau lunak, tegas atau tidak. Selama itu merupakan kebenaran dan kebaikan yang disampaikan dengan cara yang baik dan benar pula, maka bungkus dan kemasan tak akan pernah mempengaruhi.

Sejak jauh hari Rasulullah SAW sudah menjelaskan pada kita berbagai hal tentang cara dakwah itu:

إنَّ فِي السَّمَاءِ مَلَكَيْنِ أَحَدُهُمَا يَأْمُرُ بِالشِّدَّةِ وَالْآخَرُ يَأْمُرُ بِاللِّيْنِِ وَكُلٌّ مُصِيْبٌ جِبْرِيُلُ وَمِيْكَائِيْلُ وَنَبِيَّانِ أَحَدُهُمَا يَأمرُ باللِّيْنِ وَالْآخَرُ بِالشِّدَّةِ وَكُلٌّ مُصِيْبٌ إِبْرَاهِيْمُ وَنُوْحٌ وَلِي صَاحِبَانِ أَحَدُهُمَا يَأْمُرُ بِاللِّيْنِ وَالْآخَرُ يَأْمُرُ بِالشِّدََّةِ وَكُلٌّ مُصِيْبٌ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ

"Sesungguhnya di langit ada dua Malaikat, yang satu memerintah dengan keras dan satu lagi memerintah dengan lembut dan kedua-duanya sama sama benar, mereka adalah Jibril dan Mikail. Ada juga dua Nabi, yang pertama memerintah dengan keras, satunya lagi memerintah dengan lembut, dan dua-duanya sama-sama benar, mereka adalah Ibrahim dan Nuh. Dan aku memiliki dua Sahabat. yang satu memerintah dengan lembut, satu lagi memerintah dengan keras, dan dua-duanya sama-sama benar mereka adalah Abu Bakar dan Umar." []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 03 Mei 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

Penulis: Ismael Amin Kholil

Editor: Hakim