Bushido dan Sterlak

 
Bushido dan Sterlak
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Di kalangan samurai dan pendekar Jepang ada spirit Bushido, spirit berani mati demi sebuah prinsip, bahkan jika mereka sendiri merasa telah gagal memegang prinsip itu mereka dengan kesadaran sendiri akan melakukan Harakiri (bunuh diri dengan mengiris perut).

Lalu di Nusantara ini, khususnya di jagat persilatan pun juga ada “prinsip” yang mirip-mirip. Di Sumatra Barat sana ada aliran silek sitaralak atau silat sterlak yang mana di aliran ini memberi sumpah jika “mundur satu langkah masih diperbolehkan, tetapi jika mundur dua langkah akan mati kafir”, tentu konsekuensi dari sumpah ini tidak main-main karena prinsip sumpah ini tidak hanya berlaku dalam pertarungan silat semata, melainkan juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari si pemegang sumpah, jika ia sudah mengatakan A ya akan sepenuhnya akan melakukan tindakan A, pantang baginya untuk mundur/membatalkan jika sekiranya tidak ingin terkutuk mati kafir (dalam artian mati hina, sehina pendekar Jepang pengecut yang enggan melakukan Harakiri).

Dan di Jawa Timur paguyuban pencak silat Persaudaraan Setia-Hati yang dibina oleh Eyang Ki Ngabehi Surodiwiryo mewarisi betul khazanah spirit dari silat sterlak itu, sebab pada masa mudanya Eyang Ki Ngabehi Surodiwiryo mempelajari dengan sangat komprehensif silat sterlak di tanah Minang Sumantra Barat.

Sehingga sudah pada semestinya, jika kita menyaksikan orang-orang yang berguru pada Eyang Ki Ngabehi Surodiwiryo atau orang-orang SH itu meski banyak yang dalam kesehariannya sopan, kalem, dan santun, tetapi jika sudah menyangkut prinsip-prinsip utama mereka diciderai maka pada umumnya mereka dikenal ‘losh dol’, ‘cancut taliwondo’ menghadapi (meski apapun resikonya), “Toto Tatag Tutug” ketiga kata itulah mantra yang akan selalu dipegang.

Maka tidak heran banyak murid-murid Eyang Ki Ngabehi Surodiwiryo adalah para penjuang kemerdekaan yang terkenal gagah berani menentang para kompeni Belanda.

Spirit Bushido dan Spirit Sterlak yang mengkobarkan api keberanian dan menghapus rasa takut akan maut ini sesungguhnya berakar pada prinsip religiusitas yang sangat kuat. Spirit Bushido berakar pada Zen Buddhisme sedangkan Spirit Sterlak berakar pada Sufisme Islam.

Hampir semua aliran beladiri Jepang mulai dari samurai, karate, judo, aikido, jiu jitsu, hingga ninjutsu itu sangat berakar pada spiritualitas Buddhisme (ajaran Buddha), khususnya Zazen (meditasi Zen).

Meditasi Zen yang melatih kondisi kesadaran penuh, keawasan tingkat tinggi, ketenangan seperti arca, rileksasi dalam setiap situasi, dan kepasrahan pada aliran takdir inilah sekiranya yang membuat para pendekar dan kesatria Jepang itu terkenal nekat-nekat dan tidak takut mati.

Sedangkan cerita nekat-nekat dan tidak takut mati dalam khazanah Sufisme Islam, tentu bisa kita dapati pada kisah-kisah martir spiritual seperti Al Hallaj yang masih bisa “tersenyum puas” ketika kedua tangan dan kakinya dipotong dalam eksekusi, atau di Jawa kita menyaksikan keteguhan dan ke-tatag-an luar biasa dari Syeh Siti Jenar dalam memegang prinsip sufismenya meski dipaksa berdiri di depan pintu maut, juga kisah Syeh Jangkung Saridin yang berani nekat terjun dari ketinggian pohon kelapa untuk menguji 'kemanjingan' (peresapan) kalimat syahadat, atau juga dalam sastra pewayangan kita menjumpai sosok Werkudara (dalam lakon Dewa Ruci) yang karena ‘ngugemi dawuh’ dari gurunya, sudah tidak kenal lagi takut dan maut, terjun ke samudera pun dilakoni.

Semua itu mengambarkan tentang keberanian supra-rasional dari orang-orang yang sudah mencapai puncak kepasrahan Tauhid dalam khazanah Sufisme Islam, yang tentu itu bisa kita tarik benang merah dengan prinsip-prinsip Bushido, sebuah ajaran turunan dari Zen Buddhisme di Jepang.

Meski ajaran Setia-Hati sendiri lebih berkiblat pada ajaran Sufisme serta diwarnai sebagian ajaran Advaita Vedanta Hindu, tetapi setidak-tidaknya saya melihat ada satu “frekuensi” juga ajaran SH dengan ajaran Zen Buddhisme, terlebih lebih dengan ”prajna paramita sutra” atau “sutra hati” (sutra ajaran yang sangat dekat dengan aliran Zen), dimana dalam bait sutra itu ada mengatakan; “Wujud (Rupam) adalah Kosong (Sunyata), Kosong (Sunyata) adalah Wujud (Rupam)”, bagi saya dalam bait itu sangat dekat sekali dengan pelajaran rohani dalam Setia-Hati.

Sehingga entah ada sesuatu yang ganjil dan sulit dijelaskan dengan kata-kata, manakala saya secara pribadi merasakan ada semacam “Persaudaraan Batin” yang sangat kuat dengan para meditator Zen, para bhiksu (baik bhiksu Theravada, Mahayana, atau Vajrayana), dan juga dengan para umat Buddha pada umumnya.

 

Repost: Ngawi, 30 November 2020

Oleh: Alvian Fachrurrozi