10 Pemimpin Besar dalam Sejarah Islam

 
10 Pemimpin Besar dalam Sejarah Islam
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Biarlah mereka bercerita tentang Achiles, sang pemberani dalam mitologi Yunani. Atau dongeng manusia setengah dewa, Hercules. Kita Umat Islampun memiliki pahlawan pemberani pula. Ceritakanlah kepada kepada anak-anak kaum muslimin tentang Abdurrahman ad-Dakhil, atau Muhammad al-Fatih, atau Sulaiman al-Qanuni. Agar mereka tahu siapakah yang lebih layak untuk jadi idola.

Memilih 10 nama dari ratusan pemimpin besar Islam (selain sahabat) tentu bukanlah hal mudah. Bisa jadi di antara kita punya idola dan pilihan berbeda. Ada yang menyebut beberapa nama dan menggeser beberapa nama yang lain, demikianlah sejarah. Ia bukan ilmu pasti seperti matematika dan fisika. Ada garis batas yang kaku dan rumus yang jitu untuk menentukan hasil tertentu. Sejarah tidak seperti itu.

Sepuluh nama ini dipilih berdasarkan peranan besar mereka dalam politik dan strategi. Juga kemampuan dalam menghadapi tipu daya musuh yang mengancam dan menipu. Bukan dari sisi prestasi dalam ilmu dan sastra. Juga bukan dalam masalah hukum dan pengetahuan agama. Dan tentu saja, 10 nama ini dipilih agar umat Islam tahu tentang pahlawan mereka.

Dalam kurun 3 abad, nama-nama mereka dicatat sebagai tokoh besar dalam dunia militer.

1.  Abu Ja’far Al-Manshur

Laki-laki tangguh ini memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah berdirinya Daulah Abbasiyah, sebagai pencetus ide utama dibalik kelahiran dinasti tersebut. Dia bukan hanya seorang juru taktik yang ulung, tetapi juga seorang tokoh intelektual yang berpengaruh di belakang saudaranya, Abu Al-Abbas As-Safah, yang kemudian menjadi khalifah pertama Daulah Abbasiyah.

Ketika kekuasaan Daulah Umayyah menyebar dari wilayah Andalusia hingga Asia Tengah, terjadi kegoncangan dalam pemerintahan mereka. Sulit bagi ibu kota mereka, Damaskus, untuk mengelola wilayah yang begitu luas dengan beragam budaya yang berbeda-beda.

Para sejarawan mengaitkan runtuhnya Daulah Umayyah dengan kegagalan mereka dalam berinteraksi dengan masyarakat yang memiliki latar belakang etnik dan budaya yang beragam. Pada saat yang sama, orang-orang Abbasiyah mulai menggalang perlawanan terhadap kekuasaan yang ada.

Abu Ja’far Al-Manshur memiliki wawasan yang tajam terhadap kelemahan Daulah Umayyah. Dia berhasil membangun solidaritas antara orang-orang Persia dan Asia Tengah, mengubah perbedaan etnik dan budaya menjadi kekuatan positif. Prestasinya dalam menyatukan Persia dan Arab belum terulang hingga era modern.

Di bawah kepemimpinannya, identitas sosial lebih ditekankan pada Islam daripada kesukuan, serta ia berhasil mencapai kompromi antara budaya Arab dan Persia yang sering bertentangan. Warisan berharga yang ia tinggalkan adalah fondasi masyarakat yang kuat bagi penerusnya di Daulah Abbasiyah.

Meskipun kemudian, Dinasti Abbasiyah melemah dengan munculnya Dinasti Buwaihi dan Saljuk, serta runtuh di tangan bangsa Mongol pada tahun 656 H/1258 M.

2. Abdurrahman Ad-Dakhil

Abdurrahman Ad-Dakhil, seorang pemuda dari keluarga Bani Umayyah, memiliki perjalanan hidup yang luar biasa. Kisahnya dalam mendirikan Daulah Bani Umayyah II serasa seperti dongeng. Dalam usia belia, ia berhasil memimpin puluhan ribu pasukan, menumpas pemberontakan, dan menyelamatkan banyak nyawa dengan lobi politik tingkat tinggi, semua itu sejak berusia 19 tahun. Kesuksesannya mengingatkan pada kisah-kisah inspiratif seperti pendiri perusahaan sukses atau tokoh seperti Mark Zuckerberg yang mendirikan Facebook.

Abdurrahman Ad-Dakhil menjadi buronan Abbasiyah saat berusia 19 tahun. Menjadi penguasa tunggal di Andalusia pada usia 29 tahun. Dan terus memegang kekuasaan selama sekitar 34 tahun.

Abdurrahman Ad-Dakhil, cucu dari Khalifah Hisyam bin Abdul Malik al-Umawi, menyaksikan pembantaian besar-besaran terhadap keluarga Bani Umayyah saat berdirinya Daulah Abbasiyah. Salah satu korban adalah Abdurrahman sendiri yang harus melarikan diri untuk menyelamatkan nyawanya.

Saat dalam pelarian, ia menyaksikan dua saudaranya tewas di hadapannya sebelum melarikan diri ke Syam, kemudian Mesir, dan akhirnya ke Maroko sebelum menyeberang ke Andalusia, tempat ia memperoleh gelar Ad-Dakhil.

Sejak umat Islam masuk ke Andalusia pada tahun 92 H hingga masuknya Ad-Dakhil pada tahun 138 H, orang-orang Arab belum memiliki posisi yang kokoh di Jazirah Iberia itu. Tidak sampai setahun, Ad-Dakhil telah berhasil mengokohkan posisinya di Cordoba. Dari Cordoba, ia berhasil menguasai Zaragoza dan Barcelona.

Kedua kota tersebut ia taklukkan atas kecerdikannya melobi kekuatan militer bangsa Frank untuk membantunya. Kemudian ia meneruskan hingga menguasai kota-kota lainnya.

Mengingat ruwetnya lobi politik partai-partai pasca pemilu, kita bisa mengetahui bagaimana kehandalan politik anak muda yang bernama Abdurrahman bin Muawiyah ini. Kalau level partai, level nasional saja sulit menyatukan pendapat, kita jadi tahu bagaimana jitunya lobi Abdurrahman Ad-Dakhil yang bisa merangkul bangsa Eropa agar mau bekerja untuknya.

 3. Alib Arselan As-Saljuki

Garis batas wilayah kekuasaan Dinasti Saljuk – orang-orang Turki – meluas dengan pesat. Mulai dari Asia Tengah hingga ibu kota Daulah Abbasiyah di Baghdad. Kekuatan dinasti ini terus tumbuh hingga ia menjadi penguasa seluruh wilayah Islam. Dinasti ini menguasai orang-orang Buwaihi dan melindungi Abbasi, khususnya dari gangguan Syiah Fatimi (Daulah Ubaidiyah) yang menyebarkan ideologi Syiah Ismaili.

Di balik kejayaan Dinasti Saljuk ada nama Alib Arselan sebagai tokoh utamanya. Orang-orang Turki patut berbangga karena lahir seorang Alib Arselan di tengah-tengah mereka. Alib Arselan pernah memukul mundur 200.000 pasukan Romawi hanya dengan 20.000 pasukan saja,1 banding 10.

Pasukan adidaya Romawi yang sudah berkuasa berabad-abad lamanya. Pasukan yang kuat yang disangka tak terkalahkan itu takluk dengan pasukan yang jauh lebih sedikit jumlahnya. Sejak saat itu, pengaruh Romawi di Asia kecil melemah hingga akhirnya ditaklukkan oleh Muhammad Al-Fatih.

Saat ini, melihat kebijakan Tayib Recep Erdogan saja kita kagum. Bagaimana pula kiranya Alib Arselan yang berhasil meruntuhkan mental negara adidaya tersebut kemudian menguasainya.

4. Nuruddin Zanki

Nuruddin Zanki, ia adalah pahlawan Islam yang berhasil mengusir tentara Salib diari tanah Suriah dan sebagian wilayah Palestina. Mungkin namanya tidak sepopuler Salahuddin Al-Ayyubi, tapi dialah yang membuka jalan bagi Salahuddin untuk membebaskan Jerusalem.

Setelah menggantikan ayahnya sebagai penguasa Aleppo, Nuruddin berusaha sekuat tenaga menyatukan wilayah-wilayah Syam. Ia membebaskan Damaskus, Baalbek, Edessa, Harran, dan Mosul. Setelah itu ia mengarahkan pasukannya menuju Palestina menghadapai Pasukan Salib. Ia juga menghadapi orang-orang Salib di Mesir. Dan kemudian memasukkan wilayah-wilayah tersebut di bawah kekuasaannya.

Sama seperti Alib Arselan, Nuruddin Zanki juga dikenal sebagai seorang yang shaleh dan zuhud. Ia memberi perhatian yang besar terhadap perkembangan agama Islam. Saat wafat pada tahun 569 H/1174, Nuruddin telah membangun banyak masjid, madrasah, rumah sakit, dan rumah para musafir.

5. Salahuddin Al-Ayyubi

Salahuddin Al-Ayyubi adalah penerus perjuangan Nuruddin Zanki. Dilahirkan dari suku Kurdi, Salahuddin tumbuh besar di wilayah Syam karena ayahnya pindah ke Aleppo membantu perjuangan Imaduddin Zanki, ayah dari Nuruddin Zanki. Di Aleppo Salahuddin kecil mempelajari agama dan kemiliteran. Kemudian ia bergabung ke dalam pasukan pamannya, Asaduddin Syirkuh, yang merupakan salah seorang panglima pasukan Nuruddin Zanki.

Di bawah bimbingan Nuruddin Zanki, karir Salahuddin terus menanjak, hingga ia diamanahi untuk memimpin Mesir setelah mengusir orang-orang Fatimiyah dari wilayah Sunni itu. setelah Nuruddin wafat, Salahuddin menempati kekuasaannya. Ia pun jadi pemimpin Mesir dan Syam. Misi pembebasan Jerusalem pun dilanjutkan.

Pada Perang Hattin tahun 583 H/1187 M, Salahuddin berhasil mengalahkan Pasukan Salib. Dalam waktu hanya tiga bulan, wilayah-wilayah yang dikuasai Tentara Salib; Acre, Beirut, Sidon, Nablus, Jaffa, dan Ashkelon kembali ke tangan kaum muslimin. Kemudian Jerusalem setelah 88 tahun dikuasai oleh Pasukan Salib.

6. Saifuddin Qutuz

Saifuddin Qutuz adalah orang kepercayaan Sultan Al-Mu’iz Izuddin Aibek dan anaknya, Sultan Al-Manshur Ali. Salah satu prestasi terbesarnya adalah mengalahkan pasukan Mongol yang tak terkalahkan itu.

Ketika Mongol sampai di wilayah Syam, mereka mengutus duta kepada Qutuz, agar menyerah dan tunduk kepada Mongol. Tunduk kepada orang Asia Tengah yang nomaden yang telah menjelma menjadi kekuatan dunia. Kekuatan besar yang telah mengalahkan negeri sebesar Tiongkok. Kekuatan besar yang tak ada satu pun negeri-negeri Timur mampu membuat mereka mundur.

Qutuz membalas penghinaan Mongol terhadap Daulah Mamluk dengan memenggal para utusan mereka dan memajang kepala mereka di Gerbang Zuwaylah, Kairo. Tindakan ini menegaskan sikap tegas Mamluk terhadap ancaman Mongol dan memicu Perang Ainjalut, yang menjadi perang paling bersejarah dalam sejarah Kota Kairo dan berhasil menyelamatkan peradaban Islam dari keganasan bangsa Mongol dengan izin Allah.

Mengalahkan Mongol hanya dengan bermodal keberanian, sama saja menyerahkan leher-leher kaum muslimin untuk disembelih. Tentu butuh strategi dan perhitungan yang jitu. Mongol telah mengalahkan Cina, bangsa yang kuat dan memiliki peradaban yang mapan.

Kemudian mengalahkan Abbasiyah yang telah berkuasa di tanah Arab berabad-abad. Oleh karena itu, pencapaian Qutuz dengan mengalahkan Mongol adalah sesuatu yang luar biasa. Selain itu, moral kaum muslimin pun kembali meninggi.

7. Yusuf bin Tasyafin

Yusuf bin Tasyafin, sang singa Murabithin. Kecerdasannya tampak saat Penguasa Murabithin di Maroko, Amir Abu Bakar, menunjuknya sebagai penguasa wilayah Sijilmasa. Kemudian Abu Bakar menyerahkan kekuasaan Daulah Murabithin kepadanya secara utuh. Dimulailah masa keemasan Murabithin hingga 45 tahun berikutnya.

Yusuf mulai membangun kota Marrakesh. Memperluas kekuasaan Murabithin hingga meliputi seluruh wilayah Maroko dan Aljazair. Kemudian menuju Andalusia, menyelamatkan kaum muslimin setelah jatuhnya Kota Toledo ke tangan orang-orang Nasrani. Ia terus masuk ke Andalusia hingga berhasil mengalahkan Raja Alfonso dari Kerajaan Kastilia pada tahun 479 H/1086 M.

8. Muhammad Al-Fatih

Muhammad Al-Fatih adalah seorang pemimpin Daulah Utsmani yang sangat dikenal. Ia memegang kekuasaan Utsmani pada tahun 855 H/1451 M dan berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 857 H/1453 M. Ia memerintah kerajaan ini selama 30 tahun.

Selain digelari dengan Al-Fatih, ia juga disebut dengan Kaisar Romawi, karena mewarisi kerajaan Romawi Bizantium. Ia juga dikenal dengan Tuan Dua Benua dan Dua Lautan, karena menguasai Anatolia dan Balkan serta merajai Laut Aegea dan Laut Hitam.

Masa pemerintah Muhammad Al-Fatih dikenal dengan masa reformasi Daulah Utsmani. Ia membuat tata aturan yang berlaku merata di wilayah kekuasaannya. Keistimewaan pemerintahannya ditandai dengan penjagaan luar biasa terhadap masyarakat pedangang dan perkembangan diplomasi dengan wilayah-wilayah tetangga.

Selain dikenal sebagai pembuka jalan masuknya Islam ke Eropa, Muhammad Al-Fatih juga dikenal sebagai seorang yang toleran. Semua lapisan masyarakat Istanbul mengetahui hal itu. Ia sering berdiskusi dengan cendekiawan Itali dan Yunani di Kota Balata. Menunjukkan betapa terbukanya dia. Dalam pemerintahannya, gereja Kristen ortodoks di Turki tetap berjalan normal seperti sebelumnya, hingga ditutup di masa pemerintahan Turki modern di abad ke-20.

9. Sultan Salim I

Hanya 8 tahun saja Sultan Salim I memerintah Daulah Utsmani, namun pencapaiannya begitu luar biasa. Mesir, Suriah, dan Hijaz menjadi bagian dari Utsmani. Inilah kali pertama Daulah Utsmani menjadi penguasa wilayah bumi terbesar.

Pada masa pemerintah Sultan Salim I, muncul ancaman di wilayah timur Utsmani dari Kerajaan Syiah Shafawi di Iran. Orang-orang Persia itu mulai mengancam Anatolia. Sultan Salim I “membeli” “dagangan” mereka. terjadilah pertempuran melawan Syiah Shafawi di perbatasan Timur Utsmani, di Sungai Eufrat, pada tahun 920 H/1514 M. Dari peperangan tersebut, wilayah Turkmenistan dan Kurdistan menjadi bagian dari Utsmani.

Pada tahun 922 dan 923 H/1516 dan 1517, wilayah Mesir dan Syam menjadi wilayah Utsmani. Kemudian syarif Mekah menyerahkan kekuasaannya atas Mekah dan Madinah kepada Sultan Salim I di Kairo.

10. Sultan Sulaiman Al-Qanuni

Setelah Sultan Salim I wafat, kekuasaan Utsmani dipegang oleh anaknya, Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M). Sultan Sulaiman mengikuti kebijakan pendahulunya dalam kemiliteran. Namun di masa pemeritahannya, hukum, kebudayaan, dan tata kota lebih tersusun rapi. Oleh karena itu, masa pemerintahannya terkenal dengan puncak kejayaan peradaban Utsmani.

Pada masa Sultan Sulaiman wilayah Beograd – ibu kota Serbia sekarang – Rhodes, Hungaria, dan Wina – ibu kota Austria – menjadi wilayah Turki Utsmani. Sultan Sulaiman melakukan aktivitas militer besar-besaran sebanyak tiga kali menghadapi Daulah Shafawi yang berpaham Syiah. Pertama pada tahun 941 H/1534 M ketika orang-orang Shafawi masuk ke Kota Erzurum di bagian timur Turki sekarang. Kedua, pada tahun 955 H/1548 M terjadi kontak senjata atas wilayah Danau Van. Ketiga, tahun 961 H/ 1554 M.

Di masa ini juga muncul seorang pemimpin angkatan laut Utsmani yang terkenal, Khairuddin Barbarosa. Barbarosa adalah seorang panglima angkata laut terbaik dalam sejarah Islam. Jasanya sangat besar dalam menjaga Laut Mediterania, Pantai Yunani, Venice (kota di Italia), dan Spanyol.

Tak terbantahkan bahwa sejarah Islam kaya dengan pemimpin yang menginspirasi dan meninggalkan jejak yang tak terlupakan dalam perjalanan umat. Dari kisah Abu Ja’far al-Manshur yang menegaskan keteguhan sebagai fondasi kepemimpinan, hingga kebijaksanaan Salahuddin yang membangkitkan semangat jihad dan kemanusiaan, 10 pemimpin besar ini telah menandai peradaban Islam dengan visi, ketekunan, dan keteguhan hati mereka.

Melalui dedikasi mereka terhadap nilai-nilai Islam, mereka bukan hanya membentuk masa lalu, tetapi juga memberi arahan bagi masa depan umat Islam yang lebih baik. Dengan meneladani kepemimpinan mereka, kita diingatkan untuk terus memuliakan nilai-nilai keadilan, keberanian, dan ketulusan dalam setiap langkah perjalanan kita.

Sebagai penutup, mari kita terus menggali inspirasi dari kisah-kisah mereka, memelihara warisan mereka, dan mengambil hikmah dari pengalaman hidup mereka untuk menerangi jalan kita dalam membangun masa depan yang lebih baik bagi umat Islam dan umat manusia secara keseluruhan. []


 

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada 19 Juni 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.

Penulis: Nurfitri Hadi

Editor: Muhammad Iqbal Rabbani