Gus Nadir: Kembali ke Titik Nol (bagian 1)

 
Gus Nadir: Kembali ke Titik Nol (bagian 1)
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Ingat film Kungfu Panda? PO (pemeran utama dalam film tersebut) tidak disangka-sangka ditahbiskan sebagai the Dragon Warrior oleh Grand Master Oogway. Po tidak punya background kungfu sama sekali. Bagi yang lain penunjukkan ini sebuah kesalahan. Bagi sang Grand Master, penunjukkan ini kehendak langit dan akan ada rahasia tersendiri di kemudian hari.

Untuk melawan Tai Lung sang macan yang begitu hebatnya, setelah melewati berbagai latihan berat, Po dibekali dengan the Dragon Scroll. Semua orang sudah membayangkan akan ada mantra ajaib di dalamnya.

Masalahnya begitu gulungan kertas itu dibuka, isinya ternyata kosong, tak ada apa-apa. Bercandakah sang Grand Master meletakkan Scroll yang jadi rebutan dunia per-kungfu-an itu? Apa yang bisa dilakukan Po dengan kertas kosong itu? Iya. Kosong. Cuma kertas putih.

Hmmm... Begini:

Rahasia terbesar dari kemampuan diri adalah mengosongkan segalanya. Kembali ke titik nol. Ulama menyebutnya kembali kepada fitrah bagai kertas putih atau bayi yang baru lahir. Sejauh mana perjalanan kita tempuh, pada hakikatnya kita tidak pernah beranjak pergi. Yang dicari bukan diluar sana, tetapi ada di dalam diri.

Kita tidak akan meraih kebahagiaan dan ketenangan kalau kita mencarinya di luar diri kita – tidak peduli berapa banyak zikir yang kita baca atau berapa kali kita bolak-balik ke tanah suci. Selama kita belum berhasil meleburkan diri kita hingga ke titik nol, kita belum memahami rahasia ini: when you disappear, God will appear. Karena kita kosong, maka kita akan dipenuhiNya.

Grand Master Oogway berkata dengan bijak: “kadangkala orang justru menemukan takdirnya pada jalan yang dia ingin hindari.” Master Shifu yang menghabiskan semua umurnya di padepokan dan merasa itulah jalan takdirnya masih belum paham juga. Bagaimana orang yang biasa-biasa saja seperti Po kok bisa menjadi Pendekar Naga yang ditunggu-tunggu kehadirannya?

Ini persis dengan ocehan orang kafir Mekkah yang bertanya-tanya: Dan mereka berkata: “Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” (QS al-Furqan ayat 7). Dengan kata lain, kenapa seorang Muhammad yang menjadi rasul terakhir? Dia seorang yatim-piatu, tidak bisa baca-tulis, dan hanya orang biasa yang makan dan berjalan di pasar? Tidak layak. Sungguh tidak layak. Begitu pikiran para pembesar jahiliyah saat itu. Tentu maksud mereka, yang layak itu adalah mereka sendiri.

Takdir sudah memilihkan jalan dengan caraNya yang luar biasa. Grand Master Oogway sesaat sebelum menuju alam baqa berpesan pendek kepada Master Shifu: “Anda hanya harus percaya pada ini semua!” Ya, pada titik ini, kita hanya harus percaya.

Jikalau kekosongan itu diisi dengan keimanan, maka kita akan mampu melakukan sesuatu yang tidak mungkin; membalik kelemahan menjadi sebuah kekuatan; melipatgandakan potensi diri menuju hal-hal yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Masalahnya, bagi orang yang telah mencapai banyak hal dan percaya pada amalan diri, mereka tidak rela kembali lagi ke titik nol – mengosongkan segala yang ada, yang sudah diraih dengan susah payah. Maka tragedi kemanusiaan pun dimulai seperti dilukiskan dalam surat di bawah ini:

اَلۡهٰٮكُمُ التَّكَاثُرُۙ‏

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,

حَتّٰى زُرۡتُمُ الۡمَقَابِرَؕ

Sampai kamu masuk ke dalam kubur,

كَلَّا سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَۙ‏

Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),

ثُمَّ كَلَّا سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَؕ

Kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui,

كَلَّا لَوۡ تَعۡلَمُوۡنَ عِلۡمَ الۡيَقِيۡنِؕ

Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti,

لَتَرَوُنَّ الۡجَحِيۡمَۙ

Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim,

ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيۡنَ الۡيَقِيۡنِۙ

Kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri,

ثُمَّ لَـتُسۡـَٔـلُنَّ يَوۡمَٮِٕذٍ عَنِ النَّعِيۡمِ

Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu). (QS. At Takatsur: 1-8).

Dikutip dari Gus Nadirsyah Hosen


Editor: Daniel Simatupang