Perbedaan Pendapat di NU Itu Biasa

 
Perbedaan Pendapat di NU Itu Biasa
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik, pendiri Mazhab Maliki. Imam Syafi’i berguru pula kepada Muhammad As-Syaibani yang merupakan murid Imam Abu Hanifah, dan kita tahu Mazhab Syafi’i sering berbeda pendapat dengan Mazhab Maliki dan Hanafi. Murid Imam Syafi’i yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, juga sering berbeda dengan beliau sehingga mendirikan Mazhab Hanbali.

Jadi keempat mazhab utama dalam fiqih meski punya hubungan guru dan murid namun mereka dan para pengikutnya juga berbeda pendapat. Dan hal itu merupakan kewajaran dalam dunia ilmu pengetahuan.

Nahdlatul Ulama berdiri dengan semangat mewarisi tradisi 4 mazhab fiqih di atas. Itu sebabnya perbedaan pendapat di kalangan ulama NU juga hal biasa. Para santri senior sudah terbiasa membaca berbagai kitab fiqih yang membahas berbagai perbedaan pendapat para ulama. Dalam Bahtsul Masail adalah hal biasa bagi para santri berdebat panas, namun setelah itu ya guyonan lagi.

Perbedaan pendapat Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri dan Rais Akbar NU, dengan KH. Faqih Mas Kumambang yang merupakan wakil beliau, sudah sangat populer di kalangan para kyai. Namun kedua kyai besar kita ini tetap santun dan saling menghormati. Begitu juga perbedaan pendapat antara KH. Wahab Chasbullah dengan KH. Bisri Syansuri juga menjadi legenda di kalangan NU. Sewaktu Gus Dur masih ada, beliau juga sempat berpolemik di media massa dengan adik kandungnya, Gus Sholah. Sekali lagi, ini hal yang biasa di lingkungan NU.

Kenapa demikian? Karena para kyai tahu ilmunya. Perbedaan pendapat di kalangan orang berilmu itu justru bagian dari proses pengembangan ilmu dan pembelajaran bagi para santri. Yang penting diskusi dilakukan dengan santun, terhormat, dan substansinya pada argumen, bukan menyerang pribadi.

Itu sebabnya keputusan di tingkat PBNU seringkali tidak diikuti oleh umat di lapisan bawah karena umat merujuk ke kyai NU lokal di sekitar mereka. Independensi para kyai dalam beritijhad dan mengabdi pada umat itu harus dihormati. Ini juga sebabnya NU bergerak di antara bandul jam’iyah dan jama’ah. Ini sebuah kelemahan sekaligus sebagai kekuatan NU. Kelemahan karena keputusan organisasi sering tidak jalan di lapangan, tetapi dianggap kekuatan karena suara NU yang berbeda membuat NU susah diprediksi dan selalu lentur dan bisa melenting ke segala penjuru. Pihak-pihak yang hendak membungkam atau membajak NU akan kepusingan sendiri.

Ini bedanya NU dengan organisasi modern yang satu komando, atau patuh begitu saja pada keputusan qiyadah. Atau kemudian diancam murtad, kafir, dll, hanya karena berbeda pendapat. NU itu unik. Makanya banyak yang gagal paham.

Kalau Anda berkesempatan sowan ke rumah para Kyai NU, Anda akan lihat para tamu yang berdatangan itu dari mulai jomblo yang mencari jodoh, para pengusaha, para penguasa sampai urusan anak sakit, kunci rumah hilang, semuanya mengadu ke para kyai, dan semua dilayani, diayomi dan dibuat nyaman. Tidak ada yang lantas takut mendekat karena akan disalah-salahkan para kyai atau dianggap kurang Islami. Ini karena para kyai sudah biasa melihat keragaman budaya, keragaman pendapat dan keragaman pilihan politik. Inilah ahli waris Nabi Muhammad SAW yang sesungguhnya. Apik kabeh.

Yang main mutlak-mutlakan dalam semua persoalan, merasa mutlak paling benar dan merasa mutlak masuk surga akan terkaget-kaget melihat kiprah para kyai dan santri. Disangkanya NU itu cuma hitam-putih saja. NU itu seperti pelangi yang berwarna-warni. Indah mempesona. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 21 Oktober 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Prof. Nadirsyah Hosen

Editor: Hakim