Jalan Menuju Makrifat (bagian 1)

 
Jalan Menuju Makrifat (bagian 1)
Sumber Gambar: Ilustrasi/Iqra.id

Laduni.ID, Ngawi – Sebelum menginjak usia 15 tahun, saat itu Al-Ghazali sudah menguasai bahasa dan tata bahasa Arab, Al-Quran, hadis, fiqih, serta aspek-aspek pemikiran dan puisi sufi. Selanjutnya, dia melakukan studi rinci mengenai fiqih di bawah bimbingan Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Radhkani di Thus dan Abul Qasim Ismail bin Mas’ada Al-Ismaili, seorang ahli terkemuka dalam bidang ini dalam seminar Jurjan. Pada usia 17 tahun, Al-Ghazali berhasil menyelesaikan pendidikannya dalam bidang fiqih dan pulang ke Thus untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi.

Menjelang usia 20-an, Al-Ghazali berangkat menuju Naishabur untuk mengejar pelajaran lanjutan dalam ilmu-ilmu keislaman. Dia mempelajari teologi Islam dan fiqih dibawah bimbingan "Imam Al-Haramain" Abdul Ma'ali Abdul Malik al-Juwaini (w. 478 H/1086 M).

Al-Juwaini mengajar di madrasah Nizamiyyah yang terkenal di Naishabur dan Al-Ghazali menjadi salah seorang murid favoritnya. Al-Juwaini sangat terkesan dengan kecemerlangan intelektual dan kemampuan analisis Al-Ghazali, sehingga ia mencalonkan Al-Ghazali sebagai asisten pengajarnya.

Al-Ghazali berguru kepada Imam Al-Juwaini hingga menguasai ilmu mantiq, kalam, fiqih, ushul fiqih, filsafat, tasawuf, dan retorika perdebatan. Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar ia kuasai, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut, hingga ia mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya.

Karena kemahirannya dalam masalah ini, Al-Juwaini menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan bahr mu’riq (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasan dan keluasan wawasan berpikir yang dimiliki Al-Ghazali membuatnya menjadi populer. Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa diam-diam di hati Al-Juwaini timbul rasa iri.

Begitu Al-Ghazali mulai mengajarkan fiqih, kalam, hadis di Nizamiyyah, nama dan ketenarannya mulai tersebar di seluruh wilayah Islam. Sebagai pelindungnya, Nizam Al-Mulk secara rutin mengkonsultasikan semua isu agama dan politik penting saat itu. Kuliah-kuliah harian Al-Ghazali di Nizamiyyah menjadi begitu terkenal sampai-sampai dihadiri oleh tiga ratus orang murid dalam sekali perkuliahannya.

Namun, ketika Al-Ghazali mengira telah mencapai semuanya dalam usia yang begitu muda, tiba-tiba dia merasa dirinya terdampar di tengah-tengah krisis intelektual. Pada titik ini Ghazali meragukan semua ilmu yang telah dimilikinya. Keraguan itu mengalami titik kulminasinya yang menyebabkan sang hujjatul Islam itu tidak mampu lagi mengajar, tidak mampu lagi menyuguhkan argumentasi Naqliah dan Aqliah. Bahkan, begitu akutnya sampai-sampai ia nyaris tidak bisa lagi berbicara.

Dia mengalami gangguan saraf serius yang sangat memengaruhi kesehatan fisiknya. Al-Ghazali mendambakan wawasan ketuhanan yang bersifat pasti melalui pengalaman intuitif secara langsung, bukan hanya berdasarkan dalil-dalil naqli bayaniyah dan argumen-argumen spekulatif-filosofis.

Akhirnya, setelah memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M, atau pada Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah, dengan banyak meninggalkan karya tulis.

Karya-karya tulis yang ditinggalkan Al-Ghazali menunjukkan keistimewaannya sebagai seorang pengarang produktif. Dalam seluruh masa hidupnya, baik sebagai penasihat kerajaan maupun sebagai guru besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naishabur maupun setelah berada dalam keyakinan yang mantap, ia tetap aktif mengarang.

Tasawuf Al-Ghazali

Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah Nabi Muhammad SAW, ditambah dengan doktrin Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah. Al-Ghazali menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan, sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.

Al-Ghazali berpendapat bahwa, sosok sufi adalah "Dia yang menempuh jalan kepada Allah SWT, dan perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik. Jalan mereka adalah jalan yang paling benar. Moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin diambil dari cahaya kenabian."

Al-Ghazali menolak paham hulul dan ittihad. Karena itu, ia menyodorkan paham baru tentang "Makrifah", yaitu pendekatan diri kepada Allah SWT (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengannya. Jalan menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal. Sementara buahnya adalah moralitas.

Perjalanan menuju tasawuf menurut Al-Ghazali diawali dengan penyucian hati (tathir al-qalb), serta melepaskan diri dari ketergantungan kepada selain Allah SWT. Menurut Al-Ghazali, hati memang perlu disucikan karena ia adalah media untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

Menurutnya, hati memiliki dua pintu; menghadap ke luar, dan menghadap ke dalam. Pintu yang menghadap ke dunia luar dapat menangkap pengetahuan melalui panca indera. Sementara pintu yang menghadap ke dalam, akan menangkap pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari alam ghaib.

Inilah yang disebut Al-Ghazali sebagai ma’rifah. Al-Ghazali menganggap ma’rifah merupakan tujuan akhir yang harus dicapai manusia sekaligus merupakan kesempurnaan tertinggi yang mengandung kebahagiaan hakiki.

Kamis, 28 Oktober 2021

Oleh: Salman Akif Faylasuf


Editor: Daniel Simatupang