Kritik Moral Seorang Sufi

 
Kritik Moral Seorang Sufi
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Ibrahim bin Adham seorang sufi yang terkenal, lahir dari kalangan bangsawan di Balh, daerah Khurasan. Ia mengawali hidupnya dalam kemewahan yang amat berlimpah dan suasana yang penuh glamour di istana, karena dia adalah seorang putra mahkota. Kehidupan yang teramat mewah itu kemudian ia tinggalkan, ia mengembara dan berkelana ke berbagai tempat untuk mencari ilmu dan hikmah, serta menempa dirinya menjadi seorang sufi.

Ia hidup sederhana, menjauhi perbuatan dosa, maqomat atau stasiun-stasiun sufi, setingkat demi setingkat ia lalui sehingga menjadi seorang sufi yang termasyhur. Kritik-kritik Ibrahim bin Adham terhadap kehidupan masyarakat yang banyak dipenuhi oleh sikap hipokrit senantiasa mengena. Kritik-kritik moralnya begitu tajam, demikian juga kritik sosialnya.

Di antara kritik-kritik moralnya, ia sampaikan ketika sedang berkelana memasuki perkampungan-perkampungan padat dan pasar-pasar di kota Bashrah. Waktu itu ia dikerumuni sejumlah banyak kaum Muslimin. Mereka berkata, "Wahai Aba Ishaq (panggilan Ibrahim bin Adham); sesungguhnya Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an:

ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ

“Berdoalah kepada-Ku, Aku akan kabulkan doamu.” (QS. Ghafir: 60)

“Kami telah berdoa berkali-kali dalam waktu yang lama akan tetapi doa dan permohonan kami tidak dikabulkan oleh-Nya?”

Ibrahim bin Adham lalu menjawab, “Hati kalian telah mati dalam sepuluh hal, maka bagaimana doa dan permohonan kalian akan dikabulkan?”

"Sepuluh hal itu adalah:

1. Anda sekalian telah mengenal Allah akan tetapi tidak menunaikan hak-Nya

2. Anda membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengamalkannya

3. Anda mengaku mencintai Rasulullah tetapi meninggalkan sunnahnya

4. Anda mengatakan membenci setan tetapi mengikuti dan menaati ajarannya

5. Anda menghendaki surga akan tetapi tidak mau beramal yang mengantarkan Anda menuju ke surga

6. Anda takut terhadap neraka, tetapi melemparkan diri ke dalamnya

7. Anda meyakini kematian, tetapi tidak pernah mempersiapkan diri untuk menghadapinya

8. Anda menyibukkan diri dengan mencari dan mengekspose dosa, kesalahan, cacat, dan aib orang lain, akan tetapi tidak pernah mencari kekurangan-kekurangan pada diri sendiri

9. Anda merasakan begitu banyaknya karunia nikmat Tuhanmu yang dikaruniakan pada Anda, akan tetapi tidak bersyukur

10. Anda telah menguburkan sebagian dari jenazah teman anda, akan tetapi tidak mau mengambil pelajaran dari peristiwa kematian itu

Demikian kisah Ibrahim bin Adham, seorang sufi besar yang sangat sederhana, sebagaimana dikutip di dalam Kitab Ajaibul Qalbi karya Imam Al-Ghazali dan juga terdapat di dalam Kitab Durratun Nasihin karya Al-Khaubani Utsman.

Kritik-kritik tersebut di atas merupakan peringatan bagi kita agar mau memikirkan dan mengadakan instrospeksi terhadap diri sendiri, serta membuka mata hati kita dari kepalsuan-kepalsuan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Jika diuraikan lebih panjang, kritik-kritik mengenai sepuluh hal yang penting di atas kita akan mendapati bahwa sebagai seorang Muslim, hakikatnya kita semua telah bermakrifat atau mengenal Allah. Allah kita sebut dalam berbagai kegiatan. Nama Allah itu telah menyatu dengan lisan setiap pribadi Muslim, akan tetapi kita belum dapat sepenuhnya menaati. Kita belum dapat atau justru secara sengaja tidak melaksanakan perintah-Nya dan menerjang larangan-Nya.

Kita terkadang masih saja tepeleset dalam perbuatan dan aktivitas yang tidak terpuji. Kita juga membaca Al-Qur’an, kitab suci yang senantiasa dimuliakan dan diagungkan. Kita membaca dengan tajwid yang bagus, dengan suara yang merdu, bahkan dengan lagu-lagu yang teramat indah, akan tetapi belum dapat mengamalkan isi ajarannya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an seolah-olah hanya dikagumi, disanjung dan dimuliakan akan tetapi tidak berusaha untuk dipraktikkan dalam segala lini kehidupan.

Umat Islam, sebagai manusia beriman senantiasa mengaku mencintai Nabi. Nama Nabi Muhammad SAW senantiasa lekat dalam lidah kita. Nama itu terus dikumandangkan dalam berbagai syair dan lagu, dalam pujian dan sanjungan, “Engkau adalah matahari yang bersinar terang... Engkau purnama yang indah... Engkau cahaya di atas segala cahaya... Engkau pelita segala hati.”

Sayangnya kecintaan terhadap Nabi SAW kurang atau tidak direalisasikan dalam contoh-contoh yang hidup. Bahkan banyak umat Islam yang tidak memahami sunnah Rasul dan sebagian yang lain meninggalkannya.

Terhadap iblis dan setan kita senantiasa berlindung kepada Allah dari godaannya. Bukankah setiap saat kita selalu mengucapkan, “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” Itulah pengakuan yang dilakukan umat Islam, akan tetapi dalam praktiknya masih banyak dijumpai di antara kita yang mengikuti perbuatan tercela yang disenangi oleh setan.

Kita sering berdoa memohon kepada Allah agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, akan tetapi kita malas berbuat baik dan enggan berusaha untuk mengadakan perbaikan di tengah-tengah umat. Padahal untuk mencapai ke sana seseorang harus senantiasa meningkatkan kebajikan.

Kita mohon kepada Allah agar dijauhkan dari api neraka, akan tetapi tidak mau menghindari perbuatan-perbuatan yang mencampakkan seseorang ke dalamnya, misalnya berbuat fasiq, menebar fitnah, berbuat maksiat dan sebagainya. Seharusnya, agar terlepas dari siksa yang menyakitkan itu kita harus menghindari perbuatan-perbuatan tercela dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak terpuji.

Setiap indvidu manusia pasti meyakini dan mempercayai mengenai kematian dirinya, sebab mati itu ibarat pintu yang semua orang pasti memasukinya. Al-Qur’an menyatakan:

قُلۡ إِنَّ ٱلۡمَوۡتَ ٱلَّذِي تَفِرُّونَ مِنۡهُ فَإِنَّهُۥ مُلَٰقِيكُمۡۖ 

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kamu sekalian lari menghindarinya, maka sesungguhnya ia pasti akan menjumpaimu...’” (QS. Al-Jumu’ah: 8)

Demikian pastinya maut atau wafat itu akan menghampiri kita, akan tetapi masih saja belum mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Dalam arti belum menyiapkan bekal berharga untuk kehidupan yang abadi di akhirat setelah meninggal.

Manusia pada umumnya gemar mencari-cari dan meneliti aib, kesalahan, cacat dan kekurangan orang lain, tapi sebaliknya, kita jarang menyadari kekurangan, cela, atau aib yang ada pada dirinya. Seharusnya kita selalu mengadakan introspeksi agar menyadari kekurangan kita, kemudian dengan kesadaran itu kita komitmen untuk memperbaikinya.

Kitab tahu, bahwa nikmat dan karunia Allah begitu banyak telah dianugrahkan kepada makhluk-Nya, seperti nikmat iman, kesehatan, rezeki, ketenangan, petunjuk, ketentraman dan sebagainya. Demikian banyaknya nikmat itu sehingga kalau kita mencoba untuk menghitungnya, pasti tidak mampu, bahkan membayangkannya saja pasti tidak bisa.

Allah SWT berfirman:

وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَةَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَغَفُورٞ رَّحِيمٞ 

“Jika kamu menghitung nikmat Allah pasti kamu tidak akan dapat menentukan jumlahnya sesungguhnya Allah, maha pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Nahl: 18)

Terhadap nikmat yang agung itu, sedikit sekali manusia yang bersyukur. Kematian atau wafatnya seseorang, mungkin ia saudara, teman, orang tua atau guru kita, merupakan pemandangan sehari-hari di tengah-tengah kehidupan. Kita telah bertakziah kepadanya, mengerjakan shalat dan berdoa untuk jenazah itu. Kitapun sering mengantarkan salah satu jenazah dari kalangan kita ke kuburan. Akan tetapi sebagian besar dari kita tidak mau mengambil pelajaran terhadap peristiwa itu. Padahal kalau menshalatkan dan menguburkan seseorang, kita harus sadar bahwa pada suatu saat kita akan dishalatkan dan dikuburkan oleh orang lain setelah meninggal, sebagaimana yang telah kita saksikan itu. Mereka yang mau mengambil pelajaran dari peristiwa wafatnya seseorang akan banyak mendapat petunjuk ke jalan yang benar, yakni jalan yang diridhoi Allah SWT.

Dalam ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW, kita adalah umat yang beriman yang diperintahkan agar banyak mengingat mati. Perintah itu sejalan dengan usaha agar kita segera meningkatkan kebajikan. Sebab peristiwa kematian akan datang kepada umat manusia secara pasti, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dan manusia akan menerima apa adanya, sebagaimana keterangan di dalam Surat Al-A'raf ayat 34 berikut:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٞۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ لَا يَسۡتَأۡخِرُونَ سَاعَةٗ وَلَا يَسۡتَقۡدِمُونَ 

“Dan pada tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”

Hal ini akan lebih memperjelas, bahwa setiap kali kita melakukan takziah, bukanlah semata-mata ucapan berbela sungkawa atau memberi sesuatu yang sifatnya meringankan beban ahli waris, namun yang utama adalah juga bertafakkur kepada Allah dengan mengambil pelajaran dari peristiwa itu. Dengan tafakkur itu kita akan memperoleh pelajaran yang berharga, bahwa pada suatu saat kita akan mengalami seperti dia.

Demikianlah kritik-kritik moral yang disampaikan Ibrahim bin Adham, seorang sufi yang amat terkenal. Kritik-kritik itu sepertinya akan terus relevan, tak lekang oleh waktu dan tak lapuk oleh zaman. Semoga kita dapat mengambil pelajaran di atas dan bisa senantiasa mengoreksi diri agar lebih baik dari hari ke hari. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 03 September 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Dr. KH. Zakky Mubarak

Editor: Hakim