Prespektif Psikologi tentang ‘Titik Koma’ dan Ilmu Kalam

 
Prespektif Psikologi tentang ‘Titik Koma’ dan Ilmu Kalam
Sumber Gambar: Ilustrasi/Pexels

Laduni.ID, Jakarta – Akhir-akhir ini kita kerap kali melihat atau menemukan lambang titik koma yang beredar di dunia maya. Awalnya filosofi adanya titik koma sebagai tanda baca merupakan simbol yang tepat untuk mereka yang tenggah berjuang, namun berbeda dengan prespektif dari seorang penulis yang memahami bahwa titik koma digunakan ketika seorang penulis bisa memilih untuk mengakhiri kalimat, tapi mereka memilih untuk tidak mengahiri pembahasan sampai di situ.

Terdapat berbagai makna dan arti dari dua goresan kecil yang awalnya dianggap remeh, namun sekarang lebih dianggap memiliki makna yang universal berkat seorang perempuan bernama Amy Bluel.

Karena kisah perjuangannya mengatasi depresi setelah ayahnya meninggal bunuh diri, suatu hari ia tersadar dan mempunyai keinginan untuk mengenang ayahnya sekaligus menumbuhkan kesadaran terhadap kasus kesehatan mental. Dengan mengikuti Project Semicolon, Amy bisa melakukan dua hal tersebut.

Project itu didedikasikan untuk menghandirkan harapan dan cinta mereka yang berjuang mengatasi depresi, keinginan bunuh diri, kecanduan, dan menyakiti diri sendiri. Mereka mendorong orang-orang untuk mrnggambar atau membuat sebuah tato “titik koma” sebagai pengingat akan kekuatan diri.

Fenomena itu terjadi pada masyarakat yang tidak memeluk agama Islam, berbeda dengan kita yang sejak lahir sudah mendengar lantunan suara adzan dari orang tua. Sejak kita belum mengenyam pendidikan sekolah, sosok ayah dan ibu maupun keluarga pasti telah memberi tauladan kepada kita bagaimana caranya shalat, mengenalkan ketauhidan agar kita senantiasa berada dalam agama Islam sebagai “Rahmat bagi seluruh alam”.

Tapi ketika kita mengesampingkan perbedaan agama tadi dan melihat sekililing, walaupun hanya di lingkungan sekitar. Banyak sekali orang-orang yang sebenarnya lupa atau malas untuk melaksanakan ibadah padahal merupakan sebuah kewajiban.

Memang kedua hal itu sangat berbeda, orang yang mengalami stress atau depresi belum tentu dikarenakan ia malas beribadah. Tapi apa salahnya kita mengintropeksi diri apakah kehidupan kita saat ini sesuai dengan ajaran orang tua ataupun guru-guru kita.

Seharusnya kita bisa mempercayai secara gamblang sesuai dengan akal pikiran, ketika kita berada di posisi terpuruk, lalu banyak orang yang pergi meninggalkan kita, melupakan kebaikan kita, hanya karena kita telah mengecewakan mereka. Lalu coba dipikir baik-baik siapa kah yang tetap memahami segala perasaan kacau, kesepian, dan luka yang dialami oleh batin kita selain pencipta.

Cobalah kita mengosongkan pikiran dari segala macam tangung jawab dan beban hidup ketika menghadap dan ber’ibadah kepada dzat yang paling sempurna, walaupun kita sadar diri telah melakukan banyak kesalahan, kekhilafan dan berbagai macam dosa. Namun sadarlah, Pencipta sudah mengabadikan sebuah ayat yang begitu bermakna untuk kita yang serinng putus asa, takut menghadapi segala masalah hidup, dan merasa tidak memiliki daya apapun untuk menjalani kehidupan.

Ingatlah sedikit kisah mengenai Nabi Yusuf yang diabadikan dalam Al-Qur’an:

يَٰبَنِىَّ ٱذْهَبُوا۟ فَتَحَسَّسُوا۟ مِن يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَا۟يْـَٔسُوا۟ مِن رَّوْحِ ٱللَّهِ ۖ إِنَّهُۥ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِن رَّوْحِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلْقَوْمُ ٱلْكَٰفِرُونَ

Artinya: “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum kafir.” (QS. Yusuf: 87)

Ketika kita memahami kisah yang terkandung dalam ayat ini, kita dapat memahami bahwa Allah SWT telah memberitahukan kepada kita sebagai hambanya, agar tidak berputus asa dari rahmat Allah. Kita mencoba memahami ungkapan terlalu luas pembahasannya itu, karena Rahmat Allah SWT bisa berbagai macam bentuk, seperti hembusan nafas yang kita nikmati setiap hari, kesehatan, ketenangan hati, ataupun rasa gelisah, takut, maupun kekecewaan.

Hidup bukan hanya berisi warna-warni canda tawa yang membahagiakan, tetapi jangan pernah lupa bahwa putih dan hitam selalu beriringan, sama dengan tawa dan tangis yang silih berganti. Tidaklah mungkin ada kehidupan yang hanya berisi kesedihan maupun cobaan yang selalu menghantui langkah manusia, pasti ada kebahagiaan yang membuat kita melupakan rasa sedih yang telah lalu.

Jangan pernah merasa memegang kendali kehidupan pribadimu seluruhnya, karena segala gerak-gerik dan takdirmu sudah diatur oleh Allah SWT yang maha sempurna. Manusia boleh berusaha dengan sekuat tenaga, merencanakan banyak hal dengan pemikirannya agar bisa terlaksana sebaik mungkin, tapi jangan pernah lupa kalau yang memiliki skenario dan takdir terbaik untuk seluruh alam hanya Allah SWT.

Jadi, tetap semangat dan tidak menyerah untuk melewati skenario kehidupan yang telah kamu miliki sejak di alam kandungan. Tetap berusaha menjadi orang baik, walaupun tidak selau diterima oleh orang lain secara baik-baik. Niatkan saja segala niat baik dan pengorbananmu, karena sang Penciptalah yang paling adil mengatur semesta.

Oleh: Mochamad Maulana Dimas A


Editor: Daniel Simatupang