Hukum Meminjam Tanpa Izin: Konsekuensi Serta Perbedaan Ghasab dan Mencuri

 
Hukum Meminjam Tanpa Izin: Konsekuensi Serta Perbedaan Ghasab dan Mencuri
Sumber Gambar: Foto ist

Laduni.ID, Jakarta - Bagaimana hukumnya mencuri tapi nanti dikembalikan tanpa sepengetahuan yang punya? Apakah dosa? semisal niatnya mau meminjam tapi tidak izin terlebih dahulu pada pemilik, karena jika si pemilik mengetahui khawatir tidak dikasih, lalu apakah tetap dihukumi dosa atau tidak?. Ini berarti tidak termasuk mencuri tapi masuk pada hukum ghasab. Adapun ghasab hukumnya dosa.

Ghasab artinya menguasai harta (hak) orang lain dengan tanpa izin (melampaui batas). Ghasab ini dilakukan secara terang-terangan, hanya saja tanpa sepengetahuan pemiliknya. Berbeda dengan pencurian yang memang dilakukan secara diam-diam. Ghasab juga tidak harus berbentuk pada barang yang konkret, hal yang abstrak seperti kemanfaatan juga masuk didalamnya. Mulai dari duduk didepan teras rumah orang lain tanpa izin sampai numpang bercermin di kaca spion motor milik orang lain.

Hal ini memang tidak mengurangi kualitas dan kuantitas barangnya secara langsung, namun tetap saja kita telah mengambil manfaat dari barang yang dighasab. Karena yang dimaksud ghasob secara definitive adalah mengambil manfaat suatu barang tanpa idzin dari pemilik barang.

Ghasab hukumnya haram. Hal tersebut berdasarkan QS. Al-Baqarah Ayat 188, yaitu sebagai berikut:

وَلَا تَأْكُلُوٓا أَمْوٰلَكُم بَيْنَكُم بِالْبٰطِلِ…

Artinya: Dan janganlah di antara kamu memakan harta dengan jalan yang batil. [Al Baqarah: 188]

Juga diperkuat oleh hadis riwayat Imam Bukhari dari Said bin Zaid, yaitu:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَبَّاسِ بْنِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اقْتَطَعَ شِبْرًا مِنْ الْأَرْضِ ظُلْمًا طَوَّقَهُ اللَّهُ إِيَّاهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa’id dan Ali bin Hujr mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Isma’il -yaitu Ibnu Ja’far- dari Al ‘Ala bin Abdurrahman dari Abbas bin Sahl bin Sa’d As Sa’idi dari Sa’id bin Zaid bin ‘Amru bin Nufail, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengambil sejengal tanah saudaranya dengan zhalim, niscaya Allah akan menghimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari Kiamat.” [HR. Bukhari]

Karena dasar itulah, para ulama sepakat bahwa hukum ghasab adalah haram, juga termasuk ke dalam dosa besar. Sebagaimana tertuang dalam Fiqh Manhaji.

Para ulama juga sepakat akan keharaman menggunakan barang hasil ghasab meskipun digunakan untuk ibadah. Hal ini sebagaimana dipaparkan dalam kitab Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karangan Imam Nawawi juz 3 halaman 164

اﻟﺼﻼﺓ ﻓﻲ اﻷﺭﺽ اﻟﻤﻐﺼﻮﺑﺔ ﺣﺮاﻡ ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ ﻭﺻﺤﻴﺤﺔ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻭﻋﻨﺪ اﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻣﻦ اﻟﻔﻘﻬﺎء ﻭﺃﺻﺤﺎﺏ اﻷﺻﻮﻝ

Artinya: Shalat di atas tanah hasil ghashab hukumnya haram berdasarkan ijma’. Namun demikian, shalatnya tetap sah menurut pandangan kami dan mayoritas ulama fikih, termasuk ashhab ushul.

Hal ini senada dengan pendapat Abu Ishaq Ibrahim, Syekh al-Bujairimi, Syekh Bakri Syaththa dan ulama lainnya.

Jika kita lihat terkadang ada santri di pondok pesantren “asal pake” sandal jepit, baju, sarung, peci bahkan kitab turats (kuning) yang bukan miliknya, penghapus pensil tentu bukan hal aneh jika digunakan oleh banyak orang tanpa meminjamnya terlebih dahulu kepada pemiliknya.

Persoalan yang muncul, apakah menggunakan barang-barang dengan ketentuan seperti di atas dapat dikatakan ghasab yang haram hukumnya?

Jawabannya mari kita simak berdasarkan paparan Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fathul Muin juz 1 halaman 494, sebagai berikut:

ﻭﻳﺠﻮﺯ ﻟﻹﻧﺴﺎﻥ ﺃﺧﺬ ﻣﻦ ﻧﺤﻮ ﻃﻌﺎﻡ ﺻﺪﻳﻘﻪ ﻣﻊ ﻇﻦ ﺭﺿﺎ ﻣﺎﻟﻜﻪ ﺑﺬﻟﻚ ﻭﻳﺨﺘﻠﻒ ﺑﻘﺪﺭ اﻟﻤﺄﺧﻮﺫ ﻭﺟﻨﺴﻪ ﻭﺑﺤﺎﻝ اﻟﻤﻀﻴﻒ ﻭﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﻟﻪ ﻣﺮاﻋﺎﺓ ﻧﺼﻔﺔ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﻓﻼ ﻳﺄﺧﺬ ﺇﻻ ﻣﺎ ﻳﺨﺼﻪ ﺃﻭ ﻳﺮﺿﻮﻥ ﺑﻪ ﻋﻦ ﻃﻴﺐ ﻧﻔﺲ ﻻ ﻋﻦ ﺣﻴﺎء

Artinya: Seseorang diperbolehkan mengambil seumpama makanan temannya dengan sangkaan bahwa ia akan ikhlas dan rela ketika makanannya diambil. Berbeda halnya pada saat bertamu, maka hendaklah tidak mengambil sesuatu kecuali yang telah dihidangkan oleh tuan rumah atau ia ridha karenanya. Hal tersebut mesti didasarkan atas kebaikan dirinya, bukan karena perasaan malunya (jika tidak memberi).

Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum ghasab (mengambil sesuatu yang bukan miliknya) dapat dihalalkan apabila telah diketahui atau disangka bahwa pemiliknya akan ikhlas dan rela.

Jadi, jika dengan memakai sandal, pensil, penghapus, peci dan kitab orang lain sedang telah diketahui keridhaannya, baik karena tabiat atau adat, maka hal tersebut dibolehkan.

Khusus dalam bertamu, kita tidak diperkenankan mengambil atau memakan sesuatu “di luar” hidangan. Karena sesuatu yang terhidang di tempat lain, disinyalir bukan diperuntukkan bagi kita, kecuali jika sang pemilik rumah ridha. Dalam hal ini, alangkah baiknya etika izin dibudayakan. Adapun jika perangainya telah terbaca bahwa ia tidak ikhlas, hendaklah untuk tidak memaksanya.

Konsekwensi Ghasab

Barang siapa mengghasab harta seseorang, maka wajib baginya untuk mengembalikan pada pemiliknya, walaupun dalam pengembalian tersebut ia harus menanggung berlipat-lipat dari harga barang tersebut.

(وَمَنْ غَصَبَ مَالًا لِأَحَدٍ لَزِمَهُ رَدُّهُ) لِمَالِكِهِ وَلَوْ غَرِمَ عَلَى رَدِّهِ أَضْعَافَ قِيْمَتِهِ

Dan ia juga wajib mengganti rugi kekurangan barang tersebut jika memang terjadi kekurangan seperti orang yang mengghasab pakaian kemudian ia pakai, atau menjadi kurang tanpa ada pemakaian.

(وَ) لَزِمَهُ أَيْضًا (أُرْشُ نَقْصِهِ) إِنْ نَقَصَ كَمَنْ غَصَبَ ثَوْبًا فَلَبِسَهُ أَوْ نَقَصَ بِغَيْرِ لَبْسٍ

Dan juga wajib membayar ongkos standar dari penyewaan harta yang ia ghasab.

(وَ) لَزِمَهُ أَيْضًا (أُجْرَةُ مِثْلِهِ)

Sedangkan seandainya nilai barang yang dighasab menjadi kurang sebab turunnya harga di pasaran, maka orang yang mengghasab tidak wajib menggantinya menurut pendapat ash shahih.

أَمَّا لَوْ نَقَصَ الْمَغْصُوْبُ بِرُخَصِ سِعْرِهِ فَلَا يَضْمَنُهُ الْغَاصِبُ عَلَى الصَّحِيْحِ

Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa, “barang siapa mengghasab harta seseorang, maka ia dipaksa untuk mengembalikannya”.

وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ  وَمَنْ غَصَبَ مَالَ امْرِئٍ أًجْبِرَ عَلَى رَدِّهِ.

 

Perbedaan ghasab dan mencuri

Dalam kitab Syarah Zaadul Mustaqni’ diterangkan perbedaan antara ghasab dan mencuri adalah:

1. Kalau ghosob itu mengambil dengan kekuatan dan paksaan dan terang² an. Sedangkan mencuri itu mengambil secara diam².

2. Ghosob tidak menyebabkan pelakunya dikenakan had. Sedang mencuri pelakunya wajib di had.

3. Barang ghosob tidak ada ukuran tertentu, sedang mencuri ada ukuran satu nishob yg menyebabkan pelakunya dikenai had.

4. Ghosob itu mengambil dari tempat penyimpanan barang ataupun tidak sedangkan mencuri mengambil dari tempat penyimpanan barang.


Editor: Nasirudin Latif
Referensi: Syarah Zaadul Mustaqni’ juz 11 hal 230: