Imam Nawawi: Demi Ilmu Rela Menjomblo Seumur Hidup

 
Imam Nawawi: Demi Ilmu Rela Menjomblo Seumur Hidup
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Siapa yang tidak mengenal Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi atau akrab disebut Imam Nawawi? Seorang ulama kesohor pemuka Mazhab Syafi’i yang kapasitas keilmuan dan integritasnya sudah diakui dari penjuru Timur hingga Barat. Syaikhul Islam yang kitab-kitab susunannya banyak dijadikan rujukan umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Imam Nawawi juga termasuk salah satu ulama produktif dalam menghasilkan karya pada masanya. Di antara karya yang dianggitnya adalah Riyadhus Shalihin, al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab, Raudha at-Thalibin, Fathul Wahhab, al-Tahqiq, Bustanul Arifin, al-Adzkar, dan lain sebagainya.

Dari saking alimnya sosok Imam Nawawi, apabila terjadi perbedaan pendapat antara Imam Rafi’i dan Imam Nawawi dalam menetapkan hukum, maka yang diunggulkan (ikuti) adalah pendapat Imam Nawawi. Walau begitu, siapa sangka orang sekaliber Imam Nawawi ini, lebih memilih menjomblo seumur hidup. Tentu saja, pilihan Imam Nawawi ihwal kejomblowannya itu bukan sembarang pilihan.

Perihal kejomblowan Imam Nawawi ini bahkan dibukukan oleh Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, seorang murid dari Syekh Zahid Kautsari yang merupakan mufti terakhir dari kerajaan Turki Utsmani periode terakhir, dalam risalahnya yang bertajuk Al-Ulama Al-Uzzab Alladzina Atsaru Al-Ilma Ala Az-Zawaj, kemudian diterjemahkan oleh Yayan Musthofa, Para Ulama Jomblo: Kisah Cendekiawan Muslim yang Memilih Membujang (2020).

Tak hanya Imam Nawawi, dalam risalahnya tersebut, Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah juga menyebutkan sederet daftar para ulama-ulama yang memilih menjomblo seumur hidup. Misal, Ibnu Jarir At-Thabari sang sejarawan, ahli tafsir, dan seorang faqih-ushuli terkemuka pada abad pertengahan, Imam Az-Zahid Al-Abid seorang ahli hadis dan fikih yang tiada duanya pada zamannya, kemudian Imam Az-Zamakhsyari sang begawan nahwu dan bahasa yang beraliran Muktazilah, dan masih banyak ulama lainnya.

Karena itu, kepada para jomblowan-jomblowati, tidak usah risau dan khawatir. Sebab, pilihan panjenengan-panjenengan semua sudah ada mazhabnya masing-masing dari para ulama yang kapasitas keilmuan, serta integritasnya tak ada seorang pun yang meragukan. Dengan begitu, memilih menjomblo untuk seumur hidup pun, tidak melulu sebuah hal negatif. Bahkan sebaliknya, menjomblo seumur hidup, bisa menjadi hal yang bersifat positif.

Kembali kepada Imam Nawawi. Perihal kejomblowannya itu, kita bisa menemukan ketegasan dari beliau, sebagaimana yang termaktub dalam Muqodimah (bagian pembuka) kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab (kitab komentar dari kitab Al-Muhadzzab). Dalam karyanya ini, Imam Nawawi secara tegas dan lugas menyatakan dukungan atas “thariqoh jomblowiannya”. Dengan menyitir beberapa argumentasi para ulama. Seperti Al-Hafizh Al-Khatib Al-Baghdadi (ulama pakar hadis dan sejarawan) yang berpesan demikian,

يستحب للطالب أن يكون عزبا ما أمكنه، لئلا يقطعه الاشتغال بحقوق الزوجة، والاهتمام با لمعيشة، عن إكمال طلب العلم

Artinya: “Dianjurkan bagi penuntut ilmu (pelajar) untuk menjomblo sebisa mungkin, agar kesibukan kewajiban-hak suami-istri dan mencari nafkah tidak memotong (mengganggu) proses kesempurnaan mencari ilmu.” (Lihat, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab, JuzI, hal. 65)

Juga ungkapan seorang sufi besar Ibrahim bin Adham berikut,

من تعود أفخاذ النساء لم يفلح

Artinya: “Barangsiapa yang terbiasa (disibukkan) dengan mulus paha para wanita (seks), maka dia tidak akan beruntung atau bahagia.” (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab, Juz I, hal. 65)

Kemudian Imam Nawawi juga menyitir pendapat Sufyan Ats-Tsauri (seorang mujtahid mutlak berkebangsaan Kufah),

اذا تزوج الفقيه فقد ركب البحر، فإن ولد له فقد كسربه

Artinya: “Ketika seorang fakih (orang yang menguasai ilmu di bidang agama) menikah, maka ia telah menaiki perahu untuk berlayar di atas samudera. Apabila lahir seorang anak (memiliki anak), maka ia telah hancurkan perahu itu berkeping-keping.” (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab, Juz I, hal. 65)

Walaupun Imam Nawawi menjomblo, bukan berarti beliau tidak paham mengenai hukum menikah yang sangat dianjurkan oleh agama. Akan tetapi, Imam Nawawi lebih memilih untuk memendam urusan duniawinya demi sebuah ilmu pengetahuan. Ini artinya, sebegitu mahalnya ilmu hingga sebagian ulama-ulama kita terdahulu (salah satunya Imam Nawawi) lebih memilih ilmu pengetahuan daripada menikmati hidup dengan cara menikah.

Kemudian, untuk memperkuat mazhab jomblonya ini, Imam Nawawi menegaskan kembali dalam Muqodimah kitab Al-Majmu’-nya,

قلت هذا كله موافق لمذهبنا، فان مذهبنا أن من لم يحتج الى النكاح استحب له تركه، وكذا إن احتاج وعز عن مؤنته

Artinya: “Saya menegaskan. Semua ucapan ulama di atas (yang menganjurkan membujang), sesuai dengan prinsip mazhab kami (mazhab Asy-Syafi’i). Seseorang yang belum membutuhkan pernikahan dianjurkan untuk tidak melakukannya (menjomblo). Begitu juga bagi seseorang yang merasa membutuhkan pernikahan, akan tetapi ia belum mampu membiayai pernikahan (tidak punya biaya).” (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab, Juz I, hal. 66)

Dari sini jelas bahwa Imam Nawawi adalah termasuk orang yang tidak membutuhkan pernikahan. Bahkan, andaikan menikah, maka menurutnya, fokus pengabdian terhadap ilmu akan terganggu. Berkat kejomblowannya itu, Imam Nawawi banyak menghasilkan karya ilmiah dan dijadikan rujukan oleh banyak kalangan.

Catatan: Penulis tidak bermaksud menganjurkan untuk menjomblo bahkan seumur hidup, seperti halnya ulama-ulama terdahulu. Lagi-lagi itu adalah hak sahabat masing-masing. Namun, yang patut kita teladani adalah semangat Imam Nawawi dalam menuntut ilmu, bahkan beliau rela membujang hingga akhir hayatnya. Lantas bagaimana dengan kita? Apalagi hidup di era yang serba ada. Segala sesuatu yang kita butuh kan sudah tersedia secara instan. Tinggal kita sendiri mau apa tidak untuk bersungguh-sungguh dalam mencari atau menuntut ilmu. Wallahu A’lam

Selasa, 11 Januari 2022
Oleh: Gus Saidun Fiddaraini


Editor: Daniel Simatupang