Apakah Semua Pertanyaan Terkait Hadis Harus Dijawab?

 
Apakah Semua Pertanyaan Terkait Hadis Harus Dijawab?
Sumber Gambar: dok. pribadi/FB Fahrizal Fadhil

Laduni.ID, Jakarta – Dalam Sunan Abi Daud ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh para perawi yang dinilai shahih, melalui jalur Sahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من سئل عن علم فكتمه ألجمه الله بلجام من النار.

“Barang siapa yang ditanya tentang suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya (tidak menjawab) maka ia akan dicambuk oleh Allah dengan cambuk dari api neraka.”

Hadis ini juga diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Majah melalui jalur Sayyidina Anas namun ada perawi yang dinilai lemah. Juga diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi melalui jalur Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Umar dan Ibnu Abbas, dengan sanad yang lemah.

Hadis ini jika difahami secara tekstualis maka cakupannya menjadi umum, apapun pertanyaannya, dan siapapun yang bertanya, maka orang alim harus menjawab pertanyaan tersebut. Karena kata "barang siapa" dalam ilmu ushul fiqih memberikan efek generalisasi kepada kata setelahnya.

Namun realita yang ada, tidak semua jawaban bisa dijawab saat itu juga, dan tidak semua penanya bisa mampu untuk menerima jawaban yang akan diberikan. Contoh kecilnya yang sering terjadi, jika ada masyarakat yang menanyakan tentang hukum, misalnya hukum minum dalam keadaan berdiri, maka kita akan jawab makruh. Namun jika dilanjutkan, apa dalilnya, dan kenapa dalil itu bisa menunjukkan makruhnya minum dalam keadaan berdiri, tentu kita tidak akan menjawabnya. Toh jika dijawab mereka akan kebingungan mencerna jawaban yang diberikan.

Al-Mufassir Syekh Thahir Ibnu 'Asyur dalam buku yang berjudul Tahqiqat wa Anzhar fi Al-Quran wa al-Sunnah menegaskan bahwa konsensus ulama menyatakan makna hadis ini tidak seperti apa yang terlihat. Beliau memberikan rumusan konsensus tersebut begini: hukuman dalam hadis tersebut menunjukkan kalau itu adalah pidana yang berat, dan sesuatu bisa dikatakan berdosa jika ada dampak kerusakan yang ditimbulkan, nyatanya ulama tidak selalu menjawab pertanyaan, dan kerusakan yang dimaksud, semisal masyarakat tidak tau bahwa shalat itu wajib atau hal-hal lain yang mesti diketahui, itu tidak ada. Bahkan terkadang, ulama tidak menjawab karena melihat maslahat, seperti kasus orang awam yang bertanya proses lahirnya sebuah hukum.

Syekh Abu Bakr Ibn Al-'Arabi dalam buku 'Aridhah Al-Ahwadzi menjelaskan bahwasanya hadis ini memiliki kemungkinan beberapa makna:

1. Seorang 'alim berdosa jika dia menyimpan ilmu tersebut sekiranya jika ia tidak sebarkan maka ilmu itu akan hilang, karena mungkin saja hanya ia yang mengetahui perkara tersebut di daerah terdekat.

2. Seorang 'alim berdosa jika dia menyimpan ilmu yang nantinya orang yang tidak mengetahui tidak mendapat manfaat pahala atau maslahat yang berkaitan dengan agama.

3. Jika ada seorang santri yang mendatanginya untuk belajar, maka ia harus mau mengajari santri tersebut demi melaksanakan wasiat Rasulullah yang pernah disampaikan kepada Abu Sa'id Al-Khudri, “Sesungguhnya ada sekelompok orang yang akan mendatangi kalian untuk belajar, jika mereka datang maka wasiati mereka dengan kebaikan.” Para ulama mengartikan wasiat dengan kebaikan dengan mengajari pelajaran agama yang mesti mereka ketahui.

Kesimpulan dari kalam Ibnu Al-'Arabi, bahwa hadis tersebut tidak umum seperti apa yang terbaca, namun terikat dengan beberapa syarat, seperti orang yang bagaimana yang harus diberikan ilmu tersebut, dan ilmu yang bagaimana yang harus disampaikan. Searah dengan ini, Al-Khattabi saat menuliskan penjelasan hadis ini dalam kitab Syarah Sunan Abi Daud, beliau berkata:

هذا في العلم الذي يلزمه تعليمه إياه و يتعين عليه فرضا؛ كمن رأى كافرا يقول: علموني ما الإسلام، و كمن يرى رجلا حديث عهد بالإسلام لا يحسن الصلاة و قد حضر وقتها يقول: علموني كيف أصلي، و كمن جاء مستفتيا في حلال و حرام يقول: أفتوني و أرشدوني، فإنه يلزم في مثل هذه الأمور أن لا يمنعوا الجواب عما سئلوا عنه من العلم، فمن فعل ذلك كان آثما مستحقا للوعيد و العقوبه، و ليس كذلك في الأمر في نوافل العلم التي لا ضرورة بالناس الى معرفتها.

“Ilmu yang dimaksud dari hadis ini adalah ilmu yang diwajibkan untuk diajari, dan dia diwajibkan untuk menyampaikannya, seperti orang yang yang bertemu dengan non-muslim yang meminta untuk diajarkan Islam. Atau bertemu dengan orang yang baru masuk Islam dan belum bisa melaksanakan shalat dan ia minta untuk diajarkan. Atau orang yang menanyakan sebuah hukum (dan anda memang mampu untuk menjawab) tentang halal dan haram, dalam keadaan-keadaan di atas, maka ia wajib mengajarkan dan tidak boleh diam, jika dia diam maka ia berdosa dan berhak mendapatkan ancaman hukuman yang tertera pada hadis. Berbeda lagi jika kasusnya pada ilmu-ilmu yang tidak wajib diajarkan, yaitu ilmu yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat awam.”

Permasalahan ini mengingatkan saya akan sebuah kisah yang disaksikan beberapa guru kami di Ribath Tarim, saat dikunjungi oleh Al-Syahid Muhammad Sa'id Ramadhan Al-Buthi. Saat itu, jika saya tidak salah, ada seseorang yang bertanya tentang sebuah hukum, waktu itu ulama duduk berjejer memenuhi barisan terdepan. Kesempatan pertama untuk menjawab diberikan untuk Syekh Al-Buthi, namun beliau mengopernya kesempatan itu untuk ulama yang ada disebelahnya, ulama itu pun juga melakukan hal yang sama, hingga berputar kembali lagi ke Syekh Al-Buthi.

Kisah yang memberikan kita jawaban atas permasalahan ini dengan cahaya adab para ulama, mereka tidak merasa berhak untuk menjawab hingga kesempatan terus dioper. Mereka bukannya tidak mengetahui hadis di atas tentang ancaman orang yang menyembunyikan ilmu, namun mereka faham bahwa hadis itu memiliki ikatan dengan keadaan tertentu. Mungkin bisa saja, jika penanya tersebut bertanya langsung dengan Syekh Al-Buthi empat mata, Syekh akan menjawabnya.

Berbeda dengan kisah ini, saya pernah diceritakan oleh salah satu Lora (sebutan anak kyai di Madura), bahwasanya beliau pernah menemukan salah seorang guru di madrasah yang tidak saya sebut namanya, yang memiliki pemahaman yang salah dalam memahami hadis ini. Guru tersebut memiliki kebiasaan jika menjaga ruangan ujian, dan ada anak murid yang bertanya tentang jawaban soal, maka ia akan menjawabnya, berdalih dengan hadis tersebut.

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin menceritakan sebuah kisah tentang seorang ulama yang ditanya tentang beberapa permasalahan namun ia memilih diam dan tidak menjawab. Tentu ulama tersebut memiliki alasan tersendiri untuk tidak menjawab.

Penanya yang kurang beradab itu pun terlihat agak kesal dan mengatakan, “Apakah kamu tidak tau, bahwa orang yang menyembunyikan ilmu akan dicambuk dengan cambuk api neraka?!”

Ulama tersebut menjawab, “Lebih baik anda pergi dan biarkan aku dicambuk, Allah berfirman, ‘Janganlah kamu berikan harta kamu untuk orang-orang bodoh.’” (QS. An-Nisa: 5)

Ulama tersebut ingin menjelaskan bahwa menjaga ilmu dari orang yang akan merusak dan menodainya lebih utama dari menjaga harta. Harta saja dilarang untuk diberikan kepada orang yang akan merusaknya, apalagi ilmu.

Ahad, 13 Februari 2022
Oleh: Gus Fahrizal Fadil Al-Jomblowi


Editor: Daniel Simatupang