Bagaimana Hukum Nikah Beda Agama? Ini Penjelasan

 
Bagaimana Hukum Nikah Beda Agama? Ini Penjelasan
Sumber Gambar: Ilustrasi/Pixabay

Laduni.ID, Jakarta – KH. Syansuri Badawi salah satu santri kesayangan tokoh pendiri NU, KH. Hasyim Asy'ari, beliau memiliki karya tulis yang berjudul Ahkam al-Ahwal asy-Syahsyiah. Kitab ini menjelaskan tentang hukum-hukum pernikahan yang selesai disusun pada 16 Oktober 1989 M.

Masyayikh Tebuireng satu ini termasuk memiliki perhatian khusus terhadap hukum pernikahan. Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari menyusun kitab berjudul Dhou' al-Misbah fi Bayan Ahkam an-Nikah. Cucu beliau, Gus Ishom menyempurnakannya dengan menyusun kitab Miftah al-Falah fi Ahadis an-Nikah.

Dalam muqddimah kitab Dhou' al-Misbah dijelaskan bahwa latar belakang penulisan kitab tersebut adalah banyaknya masyarakat yang tidak memahami hukum nikah yang sesuai dengan syarat, rukun dan etikanya. Atas sebab itu, Hadratussyaikh menyusun kitab yang ringkas serta mudah difahami oleh masyarakat umum.

Dalam kitab yang disusun oleh KH. Syansuri Badawi, terdapat pembahasan nikah-nikah yang bathil dan fasad. Salah satunya menikahi wanita non muslimah atau musyrikat. Siapakah wanita musyrikat itu? Wanita-wanita yang tidak memiliki kitab samawi yang dipedomani. Dan hukum menikahi wanita non kitabiyat menurut syara' tidak boleh. Berdasar surat al-Baqarah:

وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Qs. Al-Baqarah: 221)

Imam Qotadah menafsiri al-Musyrikat dengan wanita-wanita yang tidak memiliki kitab samawi yang dipedomani. Sedangkan Imam Ibrahim mengatakan bahwa al-Musyrikat adalah mereka wanita Majusi dan penyembah berhala.

Lantas apakah wanita yang berpedoman kitab Injil atau Taurat termasuk al-Musyrikat? Kiai Syansuri Badawi memberikan dua pendapat:

Pendapat pertama, ia termasuk al-Musyrikat. Ini adalah pendapatnya Ibnu Umar, beliau berpendapat bahwa orang yang mengatakan Nabi Isa adalah Tuhan juga termasuk bagian dari musyrik.

Terdapat atsar bahwasanya Sahabat Hudzifah menikahi wanita Yahudi, lantas Sayyidina Umar mengirimkan surat padanya yang berisi, "Lepaskanlah atau ceraikanlah dia." Sahabat Hudzaifah membalasnya, "Apakah kamu berpendapat bahwa menikahinya itu haram lantas harus saya ceraikan?". "Bukan, saya tidak menghukumi haram, melainkan saya khawatir nantinya banyak orang yang mengambil pelacur dari kalangan kitabiyah (untuk dijadikan istri, sebab cantiknya)," jawab Sayyidina Umar.

Pendapat ini diikuti oleh Mazhab Imamiyah dan Zaidiyah. Mereka juga berargumen bahwa ayat surat al-Maidah ayat 5:

وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ

"Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu."

Surat Maidah Ayat 5 di atas dinaskh dengan ayat al-Baqarah ayat 221:

وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ

"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman."

Ayat khas (al-Maidah) dinaskh dengan yang amm (al-Baqarah).

Pendapat kedua, tidak termasuk musyrikat. Jadi diperbolehkan menikahinya, dan ini pendapat Jumhur Ulama. Berargumen bahwa pendapat yang mengatakan ayat surat al-Maidah ayat 5 dinaskh dengan al-Baqarah ayat 221 itu tidak bisa. Sebab al-Baqarah termasuk surat yang pertama kali turun di Madinah, sedangkan al-Maidah termasuk surat yang akhir turun di Madinah. Hal ini menyalahi kaidah dalan Usul Fikih, ayat yang belakangan turunnya bisa menaskh ayat yang awal turun, dan tidak sebaliknya.

Walhasil, Kiai Syansuri Badawi lebih condong dengan pendapat yang memperbolehkan menikahi kitabiyat dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Namun dengan beberapa syarat:

1. Wanita kitabiyatnya harus asli, artinya dia keturunan atau nenek moyangnya dulu itu dari bani Israil yang beragama Yahudi atau Nasrani. Walaupun ada pendapat yang mengatakan yang penting dia beragama Yahudi atau Nasrani.

2. Tidak mengganggu psikologis anak, sebab akan berpengaruh pada mental anak dan bagaimana menjaga hubungan baik antara anak dan orang tua mengenai perkawinan beda agama. Dan orangtuanya akan berkompetisi untuk mempengaruhi ajaran si anak.

Walaupun Kiai Syansuri Badawi berpendapat membolehkan menikahi wanita kitabiyah, beliau tetap tidak menyarankannya. Terlihat pernikahan beda agama itu akan memberikan pengaruh pada masyarakat dan nantinya banyak masyarakat umum lebih memilih wanita kitabiyah dibanding menikahi wanita muslimah, hal seperti ini yang ditakutkan oleh Sayyidina Umar.

Jika wanita muslimah menikahi non-muslim, dalam Islam jelas haram. Pendapat yang boleh hanya, muslim menikahi wanita non-muslim. Lho kenapa gitu? Guru kami, Kiai Musta'in Syafi'i pernah menjelaskan saat kajian Tafsir Ayatil Ahkam karya Syaikh As-Sobuni.

“Agama Islam menghormati Nabi Isa sebagai nabi yang agung, begitu pula nabi Musa wajib dihormati dan diyakini. Ajaran agama Islam menghormati nabi-nabi yang lain dan kitab-kitab yang lain seperti halnya menghormati Nabi Muhammad dan Al-Qur'an. Namun sebaliknya, mereka ahli kitab ingkar kepada Nabi Muhammad dan Al-Qur'an. Tidak menghormati dan meyakininya serta tidak mengakuinya sebagai nabi. Tidak sepadan, mereka hanya meyakini dan menghormati satu saja, sedangkan kita meyakini dan menghormati semuanya,” kurang lebihnya seperti itu.

Oleh: Gus Ilham Zihaq


Editor: Daniel Simatupang