Kisah Saudagar Kaya dan Wakilnya yang Menimbun Barang

 
Kisah Saudagar Kaya dan Wakilnya yang Menimbun Barang
Sumber Gambar: Ilustrasi/Pixabay

Laduni.ID, Jakarta – Menimbun barang dagangan khususnya bahan kebutuhan pokok keseharian dengan maksud agar mendapat laba besar, sementara komoditas tersebut sangat dibutuhkan masyarakat hingga mengakibatkan kelangkaan barang dan harganya meroket tinggi, termasuk tindakan buruk dan tercela (zalim). Dalam istilah muamalah disebut ihtikaar

Namun bagi para pedagang yang komitmen keagamaannya kuat akan berusaha menghindari perilaku ini, di antaranya seperti kisah pedagang yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin jilid II halaman 83.

Bersumber dari beberapa orang dahulu (salaf) diceritakan, di sebuah daerah bernama Washith ada seorang saudagar yang dalam menjalankan bisnisnya senantiasa berpedoman pada ketentuan agama. Waktu itu saudagar ini tengah menyiapkan barang dagangannya berupa gandum dalam sebuah kapal. Gandum satu kapal itu akan dikirimkan ke Kota Bashrah. Ia lalu mengirim surat kepada wakilnya yang diserahi tugas pengiriman ini.

“Juallah bahan makanan ini pada hari di mana barang tersebut sampai di tujuan. Dan jangan ditunda hingga hari besok-besoknya,” demikian isi surat itu.

Tapi bersamaan waktu tibanya kapal pengangkut gandum tersebut, kebetulan harga gandum di Bashrah sedang turun. Beberapa pedagang lalu menyarankan pada si wakil dari saudagar ini supaya barang dagangan ditahan dahulu sampai beberapa hari ke depan supaya mendapat untung besar.

“Apabila anda menahan sampai Jumat, maka akan mendapat keuntungan dari penjualan makanan ini beberapa kali lipat,” begitu bujuk para pedagang lain.

Si wakil itu pun akhirnya menerima saran itu dan menunda penjualan bahan makanannya yang sebenarnya telah tiba. Dan ternyata memang benar, dari hasil penjualannya ia meraup laba lebih besar.

Peristiwa keuntungan yang berlipat ganda tersebut oleh si wakil ini lalu diberitahukan kepada saudagar pemilik gandum yang diwakilinya. Tapi rupanya si saudagar tidak bergembira dengan berita itu. Kemudian mengirim surat balasan kepada si wakilnya itu.

“Sesungguhnya saya sudah merasa cukup dengan laba yang sedikit tapi agamaku terpelihara. Kamu telah berbuat menyimpang dengan menunda penjualan. Saya tidak senang dengan untung berlipat namun menanggalkan pranata agama,” katanya dalam surat.

“Oleh karena itu, begitu surat ini sampai padamu maka ambillah semua harta keuntungan itu dan sedekahkan harta itu kepada orang-orang fakir di Kota Bashrah. Mudah-mudahan hal demikian dapat menyelamatkan saya dari dosa menimbun barang kebutuhan pokok.”

Masih adakah pedagang saat ini yang seperti kisah di atas?

Dikutip dari unggahan FB Gus Dewa pada 22 Maret 2022


Editor: Daniel Simatupang