Konteks Kritik dalam Ranah Publik dan Privat

 
Konteks Kritik dalam Ranah Publik dan Privat
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Apabila ada orang yang melakukan kesalahan, maka apakah seharusnya dia disanggah dan diingatkan kekeliruannya di depan publik ataukah secara privat empat mata saja? Bila pertanyaan ini ditanyakan ke orang awam, mungkin yang Anda dapatkan adalah satu jawaban yang menggeneralisir, dan bahwa hal itu tidaklah tepat. Yang benar adalah diperinci sesuai dengan kasusnya, sebagai berikut:

1. Kasus kesalahan pribadi yang tidak melibatkan orang lain

Kasus semacam ini biasanya tentang pelanggaran haqqullah (aturan Allah) semisal tidak shalat, tidak berpuasa, berzina, mabuk-mabukan dan lain-lain. Yang demikian ini masih terbagi menjadi dua:

Disembunyikan oleh pelakunya. Apabila kesalahan itu jelas-jelas disembunyikan oleh pelakunya, maka aib semacam ini tidak boleh diumbar. Yang ingin menasihati harus melakukannya diam-diam, tidak di depan umum apalagi sambil direkam lalu diupload. Dalam konteks inilah berbagai Hadis tentang menutup aib berlaku. Siapa yang menutup aib saudaranya, maka Allah juga akan menutup aibnya di akhirat (mengampuni dosanya).

Diumbar ke publik. Apabila aib semacam ini diumbar ke publik oleh pelakunya sendiri, seperti yang biasa kita saksikan di televisi oleh para artis atau seperti orang yang bermaksiat terang-terangan, maka kita tidak berkewajiban menutupinya sebab semua sudah tahu. Tatkala Anda menyalahkan perilaku tersebut di depan publik yang sudah mengetahuinya, maka Anda tidak salah sebab memang sudah diumbar sendiri.

Yang demikian juga tidak termasuk pada ghibah yang diharamkan. Dalam istilah fikih, orang yang mengumbar maksiatnya sendiri disebut sebagai mujahir dan dalam suatu Hadis disebutkan bahwa kecil peluangnya untuk diampuni oleh Allah.

2. Kasus kesalahan pribadi tetapi berpotensi diikuti orang banyak

Terkadang ada juga kasus seperti di atas yang merupakan kesalahan personal terkait aturan Allah. Namun ketika itu berpotensi diikuti oleh orang banyak sehingga mengubah sunnah Rasulullah, maka kesalahannya wajib dikemukakan di depan umum untuk diluruskan.

Dalam sebuah Hadis shahih yang populer diceritakan, bahwa tiga orang sahabat besar berikrar di depan istri Rasulullah untuk beribadah berat yang melebihi Rasulullah SAW. Salah satunya berkata akan shalat malam selamanya dan tidak tidur di malam hari, satunya lagi berkata akan berpuasa di semua hari tanpa putus dan yang terakhir berkata tidak akan menikah selamanya agar fokus beribadah. Mereka mengatakan itu tidak di depan umum tetapi di rumah Rasulullah SAW.

Namun ketika Nabi Muhammad mendengar perihal itu dari istri beliau, maka Nabi pun membahasnya di depan orang banyak dan dengan lantang menyalahkan tindakan berlebihan tersebut kemudian beliau bersabda, “Siapa yang tidak suka dengan kebiasaanku (sunnahku), maka dia bukan golonganku.”

Tentu ketiga sahabat itu merasa malu atas kejadian itu, tetapi menjaga sunnah Rasulullah SAW lebih utama daripada menjaga rasa malu mereka. Kalau dibiarkan, sunnah rasul berpotensi berubah dan umat akan mengikuti ajaran yang berlebihan.

3. Kasus kesalahan pemerintah

Dalam kasus yang melakukan kesalahan adalah pemimpin pemerintahan, maka ada dua kemungkinan. Pertama, adalah kesalahan yang berhubungan dengan personalnya, misalnya dia tidak shalat lima waktu, selingkuh dan sebagainya. Yang demikian ini seyogyanya diingatkan secara privat jangan di depan publik sebab itu tidak membawa manfaat.

Kedua, adalah kesalahan yang berhubungan dengan seluruh rakyatnya. Apabila kesalahan pemimpin berhubungan dengan nasib rakyatnya, misalnya ada kebijakannya yang menyulitkan rakyat atau apalagi zalim, maka baik menasihati secara diam-diam atau terus terang di depan publik sama-sama dibenarkan dan dipilih mana yang lebih efektif. Bila memang cukup diingatkan secara privat, maka itu sangat baik, tetapi bila tidak cukup atau sulit dilakukan, maka opsi kedua dapat dilakukan.

Dalam suatu Hadis yang juga populer, Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa jihad yang paling utama adalah berkata benar di depan seorang sultan yang zalim. Sebab itulah, orang-orang yang mengkritik pemimpin secara terbuka di media cetak atau elektronik tidak masalah secara hukum selama dilakukan dengan batas yang wajar.

Dalam konteks yang seperti inilah kita dapat mengambil pelajaran dari cerita di masa khalifah kedua, Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Ketika beliau di depan publik menetapkan batas mahar (mas kawin) adalah 400 dirham, maka seorang sahabat wanita menyanggahnya saat itu di depan publik juga dengan menukil Surat An-Nisa’ ayat 20.

وَاِنْ اَرَدْتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍۙ وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ اَتَأْخُذُوْنَهٗ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا

“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS. An-Nisa’: 20)

Akhirnya Khalifah Umar meralat kebijakannya saat itu juga. Para sahabat yang hadir saat itu tidak ada yang menyalahkan wanita tersebut meski menyanggah khalifah di depan umum.

5. Kasus salah fatwa atau salah wacana

Dalam kasus ketika seorang ulama salah memberikan fatwa, seorang cendekiawan salah memberikan wacana atau seorang ilmuwan salah dalam menyimpulkan sebuah temuan dan itu semua dilakukan secara terang-terangan melalui media apa pun, baik itu media cetak atau media sosial, maka sanggahannya pun harus dilakukan secara terang-terangan pula.

Kesalahan yang menjadi konsumsi publik semacam ini harus diluruskan di depan publik, dan juga tanpa perlu ada yang merasa tersinggung. Ini perlu dilakukan dalam rangka menjaga khalayak umum dari menelan informasi yang salah.

Sebab itulah, di masa lalu fatwa yang dianggap salah di sebuah kitab selalu dibalas dengan kitab juga yang keduanya sama-sama disebar pada publik. Demikian juga tulisan di jurnal, media cetak atau media elektronik bila dianggap salah akan selalu disanggah di media serupa yang juga diakses publik.

Siapa yang salah dan apa kesalahannya harus dibahas secara umum tanpa harus merasa segan atau "ewuh-pakewuh" kata orang Jawa. Kesalahan semacam ini sangat tidak tepat apabila diselesaikan dengan sekadar ngobrol atau tabayyun empat mata, sebab info yang salah terlanjur beredar luas dan dipercaya oleh publik. Sebab itu, pembahasannya harus dipublikasi juga agar publik bisa tahu mana info yang tepat.

Lain lagi apabila kasusnya adalah seseorang mempunyai pendapat pribadi yang salah tetapi tidak dia ungkapkan ke publik, maka menasihatinya juga tidak perlu dilakukan di depan publik, tapi cukup diselesaikan empat mata. Misalnya ada saudara kandung Anda yang secara personal berpendapat lelaki halal menikah dengan puluhan wanita dalam waktu yang sama, maka jangan Anda bahas itu di medsos tetapi cukup diajak ngobrol saja dan ditunjukkan bagaimana ajaran Islam yang benar.

Lain lagi kalau ucapannya di depan umum, direkam dan disebar padahal posisinya sebagai publik figur yang punya banyak pengikut, maka meski itu saudara kandung Anda sendiri yang tinggal serumah dengan Anda. Maka jangan hanya ngobrol berdua di dalam ruang keluarga, tapi Anda wajib meluruskannya ke orang-orang luar yang mendengarnya agar mereka tidak terkontaminasi pendapat yang salah.

Jadi, jangan menggeneralisir seolah mengingatkan orang lain harus selalu dilakukan secara privat empat mata. Itu ada konteksnya tersendiri. Kadang wajib suatu kesalahan dibahas di depan publik dengan pertimbangan di atas. Menjaga kebenaran ilmu jauh lebih perlu diutamakan daripada menjaga nama seseorang di depan umum. 

Demikian semoga bermanfaat. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 25 Maret 2022. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ustadz Abdul Wahab Ahmad

Editor: Hakim