Hukum Menggunakan Air yang Panas Karena Sinar Matahari

 
Hukum Menggunakan Air yang Panas Karena Sinar Matahari
Sumber Gambar: Samad Deldar dari Pexels

Laduni.ID, Jakarta - Terdapat dua pendapat berbeda dalam masalah penggunaan air musyammas atau air yang panas karena sinar matahari. Berikut ini uraikan perbedaan pendapat tersebut, beserta dalil-dalil yang mendasarinya:

Pendapat pertama, menyatakan bahwa penggunaan, air musyammas, yaitu air yang panas karena terkena sinar matahari hukumnya itu makruh (makruh tanzih). Pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama' madzhab syafi'i.

Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah A'isyah rodhiyallahu 'anha:

ﺩَﺧَﻞَ ﻋَﻠَﻲَّ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﻗَﺪْ ﺳَﺨَّﻨْﺖُ ﻣَﺎﺀً ﻓِﻲ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲِ , ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻟَﺎ ﺗَﻔْﻌَﻠِﻲ ﻳَﺎ ﺣُﻤَﻴْﺮَﺍ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻳُﻮﺭِﺙُ ﺍﻟْﺒَﺮَﺹَ

Artinya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk saat aku sedang memanaskan air dengan sinar matahari, kemudian beliau berkata: "Jangan lakukan itu wahai humairo' (panggilan Aisyah), karena hal itu bisa menyebabkan penyakit barosh (kusta atau lepra)". (Sunan Ad-Daruquthni, no.86)

Imam Syafi'i juga meriwayatkan bahwa Ibnu Umar tidak menyukai mandi dengan menggunakan air musyammas. Imam Baihaqi juga meriwayatkan:

ﻗَﺎﻝَ ﻋُﻤَﺮُ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ : ﻟَﺎ ﺗَﻐْﺘَﺴِﻠُﻮﺍ ﺑِﺎﻟْﻤَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤُﺸَﻤَّﺲِ، ﻓَﺈِﻧْﻪُ ﻳُﻮﺭِﺙُ ﺍﻟْﺒَﺮَﺹَ

Artinya: "Umar radhiyallahu 'anhu mengatakan: "Janganlah kalian mandi dengan air musyammas, karena dapat menyebabkan penyakit barosh" (Sunan Kubro, no.13)

Jadi, illat (alasan) dari kemakruhannya adalah karena penggunaan air musyammas dapat menyebabkan penyakit kulit, yaitu lepra. Dan dalam kemakruhan ini tidak memandang apakah disengaja memanaskannya atau tidak, sebab dalam kedua keadaan tersebut illat hukumnya tetap ada.

Namun, para ulama menetapkan beberapa syarat dimakruhkannya menggunakan air musyammas, jika salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka hukumnya tidak makruh lagi.

Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:

1. Air tersebut ditempatkan pada wadah yang terbuat dari logam, seperti besi, tembaga, atau timah, kecuali wadah yang terbuat dari emas dan perak. Alasannya ketika air yang ditempatkan pada wadah yang terbuat dari wadah-wadah yang terbuat dari logam, panas matahari akan menyebabkan partikel-partikel dari logam tersebut akan menguap dan membahayakan kulit.

Sedangkan pengecualian emas dan perak dikarenakan kemurnian bahan dasar keduanya. Maka jika airnya diletakkan pada wadah yang tidak terbuat dari logam tidak makruh, karena illat hukumnya tidak terjadi.

Begitu juga tidak dimakruhkan air laut atau air sungai yang panas karena terkena sinar matahari sebab tidak mungkin untuk menghindarkannya dari sinar matahari, dan juga tidak ditempatkan pada wadah, jadi sinar matahari tidak mempengaruhinya sebagaimana pengaruh dalam air yang ditempatkan dalam wadah yang terbuat dari logam.

2. Panasnya air tersebut dikawasan atau negara yang panas, seperti Hijaz dan Hadhromaut, Yaman. Karena itu apabila panasnya air tersebut terjadi dikawasan yang tidak panas, seperti Syam dan Mesir, maka tidak dimakruhkan penggunaannya, sebab pengaruh panas matahari pada air dikawasan tersebut lemah, jadi apa yang dikhawatirkan dalam penggunaannya, yaitu terkena penyakit barosh, tidak bisa terjadi.

Namun Imam Mawardi tidak sependapat mengenai syarat ini, menurut beliau selama illatnya ada, maka tak ada bedanya air tersebut panas didaerah mana saja.

3. Penggunaannya dilakukan saat air tersebut masih panas, maka apabila sudah tidak panas lagi, sudah tidak dimakruhkan lagi, sebab illatnya sudah tidak ada.

4. Penggunaan air tersebut pada kulit, bukan untuk pakaian, sebab illat hukumnya (penyakit baros) hanya terjadi pada kulit.

5. Orang yang menggunakannya tidak mengkhawatirkan terjadi sesuatu yang membahayakan pada kulitnya, apabila penggunaannya jelas-jelas membahayakan bagi dirinya, maka hukum penggunaan air musyammas adalah haram.

6. Orang yang menggunakannya adalah orang yang masih hidup, karena itu apabila digunakan untuk orang yang sudah meninggal, maka tidak makruh, menurut Imam Ibnu Hajar. Sedangkan menurut Imam Romli, meskipun digunakan untuk orang yang sudah meninggal dunia, sama saja, tetap makruh, jadi menurut Imam Romli penggunaan air musyammas itu makruh, baik digunakan oleh orang yang masih hidup atau sudah meninggal dunia.

7. Masih ada air lain yang bisa digunakan, karena itu apabila memang sudah tidak ada air yang lain yang bisa digunakan selain air musyammas tersebut, maka penggunaannya tidak makruh.

Satu hal yang perlu diketahui adalah, meskipun penggunaan air musyammas itu makruh, namun apabila digunakan untuk bersuci tetap bisa, sebab air musyammas itu termasuk kategori air thohir muthohir (suci dan menyucikan).

Pendapat kedua, menyatakan bahwa penggunaan air musyammas itu tidak makruh. Pendapat ini didukung oleh Imam Nawawi. Untuk memperkuat alasannya, Imam Nawawi dalam kitab Al Majmu' menjelaskan kelemahan dasar-dasar hukum yang dipakai oleh pendapat yang menyatakan kemakruhan penggunaan air musyammas sebagai berikut:

1. Hadis yang diriwayatkan dari sayyidah Aisyah radhiyallahu 'anha yang dipakai sebagai dasar hukum kemakruhan penggunaan air musyammas adalah hadis dho'if (lemah) menurut kesepakatan semua ulama ahli hadis, bahkan sebagian ahli hadis menyatakan bahwa hadis tersebut adalah hadis maudhu' (palsu).

2. Riwayat kedua dari Sayyidina Umar radhiyallohu 'anhu itu juga merupakan hadias dho'if, karena diriwayatkan oleh Ibrohim bin Muhammad bin Abi yahya yang dinyatakan sebagai perawi yang dho'if menurut kesepakatan ulama'ahli hadis, kecuali menurut Imam Syafi'i rohimahullah, menurut beliau Ibrohim bin Muhammad bin Abi Yahya itu termasuk perowi yang tsiqqoh, sehingga riwayatnya bisa diterima.

3. Illat hukum yang mendasari kemakruhan penggunaan air musyammas, yaitu dikahwatirkan akan terjadinya penyakit barosh itu tidak terbukti, karena setelah diadakan riset oleh beberapa ahli masalah kesehatan, mereka tidak menemukan adanya keterkaitan antara penggunaan air musyammas dan penyakit barosh.

Kesimpulannya, menurut mayoritas ulama madzhab Syafi'i menggunakan air musyammas hukumnya makruh sedangkan menurut Imam Nawawi hukumnya tidak makruh, namun karena apabila penggunaannya dilakukan saat tidak ada pilihan lain, maka semua ulama sepakat memperbolehkannya. Wallhu a'lam.