Perjuangan KH Bisri Syansuri di Masa Penjajahan

 
Perjuangan KH Bisri Syansuri di Masa Penjajahan
Sumber Gambar: KH Bisri Syansuri (foto ist)

Laduni.ID, Jakarta - KH Bisri Syansuri merupakan figur kiai pejuang, yang aktif dalam organisasi perjuangan. Pecahnya Perang Dunia II dan pendudukan Jepang membawa keprihatinan tersendiri bagi KH Bisri Syansuri. Mula-mula ia merasa prihatin akibat penjajahan Jepang, terutama menyangkut kegiatan NU dan kelangsungan pendidikan di pesantrennya sendiri. Setelah itu, ditambah lagi keprihatinan atas tindakan pemerintah Jepang yang menangkap guru kesayangannya, yang kini telah menjadi besannya dengan pernikahan putrinya dengan anak sang guru, Abdul Wahid Hasyim. Meski demikian, ia berusaha sekuat tenaga meneruskan tugas-tugas organisasi dan kewajiban mendidik santri-santrinya dengan tekun dan tidak kenal putus asa. Ketika Masyumi dibentuk, KH Bisri Syansuri turut aktif berkiprah di tingkat lokal karena bagaimana pun juga kesetiaannya yang pertama adalah pada NU.

Pada masa perjuangan melawan penjajah, KH Bisri Syansuri sebagaimana ulama-ulama lainnya memiliki peranan yang signifikan. Ia senantiasa memberikan semangat dan dukungan besar terhadap perjuangan arek-arek Suroboyo di bawah pimpinan Bung Tomo yang berusaha melakukan perlawanan dan menghalau kedatangan tentara Sekutu di Surabaya. KH Bisri Syansuri bersama para ulama dalam sebuah pertemuan di Surabaya berhasil mengeluarkan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad ini mewajibkan setiap kaum muslimin untuk melaksanakan jihad fi sabilillah, melakukan perlawanan terhadap penjajah demi kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Resolusi Jihad yang telah dirumuskan selanjutnya diimplementasikan oleh para ulama dalam bentuk tindakan praktis dengan melakukan koordinasi dengan para tokoh TKR (yang kemudian menjadi TRI dan selanjutnya menjadi TNI). Tidak sebatas itu, para santri juga turut serta berjuang dengan masuk TNI dan menjadi anggota Laskah Hizbullah serta Laskar Sabilillah.

Berakhirnya masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun ternyata masih belum juga dapat menghilangkan keprihatinan KH Bisri Syansuri. Kemerdekaan bangsa telah tercapai, namun yang menjadi masalah adalah cara mempertahankannya. Karena itu, kemudian ia mengambil jalan yang paling dikenalnya, yaitu turut aktif dalam pertahanan negara dengan menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT) yang berkedudukan di Waru dekat Surabaya. MODT dibubarkan ketika TNI telah berdiri dan menjadi satu-satunya angkatan bersenjata yang bertanggung jawab atas pertahanan negara.

Di usia usianya yang sudah menginjak ambang 50 tahun saat itu, tidak mengurangi mobilitas dan kegesitan gerak fisiknya sama sekali. Jenderal (purn.) A.H. Nasution pernah memberikan informasi tentang bagaimana ketika KH Bisri Syansuri melakukan konsultasi dengan para komandan militer di daerah pertempuran Surabaya, Jombang, seperti Overste Kretatro dan sebagainya. Bahkan, setelah Clash Kesatu sekalipun. Dapat dipastikan yang menjadi motif KH Bisri Syansuri untuk terjun langsung ke dalam perjuangan militer secara langsung adalah karena turunnya fatwa guru tercinta KH Hasyim Asy’ari tentang hukum jihad akbar, perjuangan di jalan Allah untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Terlihat jelas di sini bagaimana keputusan di bidang fikih ternyata mampu mendorong tindakan-tindakan besar.

Periode kemerdekaan juga membawa tahap baru dalam kehidupan KH Bisri Syansuri, yaitu keterlibatannya dalam lembaga pemerintahan. Dimulai dengan keanggotaan dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masyumi (tempat NU tergabung secara politik). Pada waktu perang gerilya, ia sempat membubarkan pesantrennya untuk sementara waktu dan ia juga berhenti terlibat dalam lembaga pemerintahan. Pada tahun 1956, ia terlibat kembali di pemerintahan dengan menjadi anggota Dewan Konstituante. Akan tetapi, umur Dewan Konstituante tidak lama karena kemudian dewan itu dibubarkan. Pada waktu pemilihan umum tahun 1971, ia terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat hingga saat berpulangnya ke rahmatullah tahun 1980.


Source: Buku biografi singkat Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah Pendiri dan Penggerak NU (penulis Jamal Ghofir Penerbit GP Ansor Tuban Jawa Timur)