Menghafal Versus Menalar (Seri 5-Habis)

 
Menghafal Versus Menalar (Seri 5-Habis)

LADUNI.ID - Pandangan Ibnu Rusyd di atas sebelumnya pernah disinggung oleh filsuf besar sekaligus sufi agung, Imâm Abu Hamid al-Ghazâlî, penulis buku "Ihya Ulum al-Din" yang amat populer itu. Katanya:

فإنه إن اكتفى بحفظ ما يقال كان وعاء للعلم ولا يكون عالما. ولذلك يقال : فلان من أوعية العلم . فلا يسمى عالما إذا كان شأنه الحفظ من غير إطلاع على الحكم والاسرار. ومن كشف عن قلبه الغطآء واستنار بنور الهداية صار فى نفسه متبوعا مقلَّداً. (إحياء علوم الدين 1 ص 78.)

Jika dia merasa cukup dengan menghapalkan apa yang dikatakan "shahib al-syari'ah" (Nabi atau ulama), maka dia disebut "Wi'a al-'Ilm" (wadah ilmu) dan dia bukan seorang 'Alim. Oleh karena itu dikatakan : "si Fulan/Anu itu termasuk wadah ilmu", (atau "kamus"?). Tidak disebut âlim (pandai/pintar/ulama) orang yang pekerjaannya hanya menghapal teks-teks tanpa mengkaji dan menggali hikmah-hikmah dan rahasia-rahasianya. Dan “Orang yang telah terbuka hatinya dan hati itu memancarkan cahaya petunjuk Tuhan, maka dirinya adalah panutan”. (Ihyâ Ulûm al-Dîn, I/87).

Hikam (kebijaksanaan) dan "Asrar" (yang tersembunyi/rahasia-rahasia) tentu saja adalah hal-hal yang terdalam, yang substantif dan yang rasional, bukan yang formal, yang kulit dan yang tekstual.

Hikam adalah kata plural dari “Hikmah”. Kata ini dimaknai para ahli bahasa secara berbeda-beda. Murtaza al-Zabidi dalam kamus Taj al-Arus memaknainya sebagai :

العلم بحقاءق الاشياء على ما هى عليها

“al-‘Ilm bi Haqaiq al-Asy-ya ‘ala Ma Hiya ‘alaih”

(pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu sesuai dengan apa adanya).

Allah berfirman :
.
ُؤتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْراً كَثِيراً وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الأَلْبَابِ

“Allah menganugerahkan al-hikmah kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 269).