Hukum Mengurus Mayit yang Terkena Penyakit Antraks

 
Hukum Mengurus Mayit yang Terkena Penyakit Antraks

Penyakit Antraks

Tuntunan ibadah terkait kasus seseorang meninggal dunia karena terserang penyakit berbahaya (antraks) dan dia seorang  muslim.

A. Diskripsi Masalah

Baru-baru ini ada kasus seseorang meninggal dunia karena terserang penyakit berbahaya (antraks) dan dia seorang  muslim. Menurut penelitian medis, penyakit yang menyerang orang tersebut (antraks) termasuk jenis penyakit berbahaya dan bisa menular kepada yang menyentuhnya.

B. Pertanyaan

Apakah mayit yang mengidap penyakit antraks harus dimandikan dan dirawat sebagaimana aturan syariat terhadap mayit sehat, dan bagaimana cara memandikan dan menguburnya?.

C. Jawaban

Jenazah yang meninggal dunia akibat penyakit antraks tetap harus dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikubur sebagaimana aturan syariat. Sedang cara memandikannya dengan mempergunakan peralatan yang bisa mencegah penularan penyakit tersebut. Sementara untuk penguburannya tidak harus di tempat terpisah asal dianggap telah bisa mencegah akibat penularannya.  

D. Dasar Pengambilan Hukum

1. Al-Mauhibah Dzi al-Fadhl [1]

(قَوْلُهُ بِشَرْطِهِ)

أَيْ التَّيَمُّمُ وَهُوَ فَقْدُ الْمَاءِ حِسًّا أَوْ شَرْعًا وَيُشْتَرَطُ طَهَارَةُ كَفَنِهِ أَيْضًا إِلَى فِرَاغِ الصَّلاَةِ عَلَيْهِ. فَلَوْ مَاتَ بِهَدْمٍ أَوْ نَحْوِهِ كَأَنْ وَقَعَ فِي بِئْرٍ أَوْ بَحْرٍ عَمِيْقٍ وَقَدْ تَعَذَّرَ إِخْرَاجُهُ مِنْهُ وَطُهْرُهُ مِنْهُ لَيُصَلَّى [2]

عَلَيْهِ لِفَوَاتِ الشَّرْطِ، هَذَا مَا نَقَلَهُ الشَّيْخَانِ عَنِ الْمُتَوَلِّى وَأَقَرَّاهُ، قَالَ فِي الْمَجْمُوْعِ أَنَّهُ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لَكِنِ اعْتَرَضَهُ جَمْعٌ مِنَ الْمُحَقِّقِيْنَ، قَالَ فِي الْمُغْنِى نَقْلاً عَنْ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِيْنَ وَلاَ وَجْهَ لِتَرْكِ الصَّلاَةِ عَلَيْهِ لِأَنَّ الْمَيْسُوْرَ لاَ يَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ وَلِمَا صَحَّ : وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَ لِأَنَّ الْمَقْصُوْدَ بِالصَّلاَةِ الدُّعَاءُ وَالشَّفَاعَةُ لِلْمَيِّتِ وَجَزَمَ الدَّارِمِيُّ وَغَيْرُهُ أَنَّ مَنْ تَعَذَّرَ غَسْلُهُ صُلِّيَ عَلَيْهِ، قَالَ الدَّارِمِيُّ وَإِلاَّ لَزِمَ أَنَّ مَنْ أُحْرِقَ فَصَارَ رَمَادًا أَوْ أَكَلَهُ سَبُعٌ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ وَلاَ أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِنَا قَالَ بِذَلِكَ، وَيَبْسُطُ اْلأَذْرَعِيُّ الْكَلاَمَ فِي الْمَسْئَلَةِ، وَالْقَلْبُ إِلَى مَا قَالَهُ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِيْنِ أَمِيْلُ لَكِنَّ الَّذِي تَلَقَّيْنَاهُ عَنْ مَشَايِخِنَا اْلأَوَّلُ

(Ungkapan penulis: “Dengan syaratnya.”), maksudnya tayamum. Yaitu tidak menemukan air secara nyata atau menurut syari’ah. Disyaratkan pula sucinya kafan sampai selesai dishalati. Maka bila seseorang mati sebab terkena bangunan roboh atau semisalnya, seperti jatuh di sumur atau laut yang dalam dan sulit dikeluarkan dan disucikan, maka ia tidak dishalati karena tidak syaratnya tidak terpenuhi. Ini adalah yang dikutip al-Nawawi dan al-Rafi’i dari al-Mutawalli, dan mereka berdua menetapkannya. Dalam al-Majmu’ al-Nawawi berkata: “Sungguh dalam hal itu tidak terdapat khilaf.” Namun sekelompok muhaqqiqin menentangnya.   Syaikh Muhammad Khatib al-Syirbini dalam kitab Mughni al-Muhtaj berkata dari mengutip sebagian ulama mutaakhkhirin: “Dan tidak ada alasan meninggalkan menyolatinya. Sebab, perkara yang mudah tidak gugur karena perkara yang sulit, dan karena hadits shahih -muttafaq ‘alaih-: “Dan bila kalian aku suruh dengan suatu perkara maka laksanakanlah semampu kalian.” Dan karena maksud menyolatinya adalah mendoakan dan menolong si mayit. Al-darimi dan selainya mantap atas sungguh mayit yang sulit dimandikan itu tetap dishalati. Al-Darimi berkata: “Bila tidak, maka semestinya sungguh orang yang terbakar dan menjadi abu, atau dimakan binatang buas  tidak dishalati. Dan aku tidak tahu seorang ulama pun dari madzhab Syafi’i yang berpendapat demikian.” Al-Adzra’i menjelaskan secara panjang lebar mengenai masalah ini. Dan hatiku lebih condong pada pendapat sebagian ulama mutaakhkhirin itu. Namun pendapat yang ku terima dari guru-guruku.  

2. Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj [3]

(وَمَنْ تَعَذَّرَ غَسْلُهُ)

 لِفَقْدِ الْمَاءِ أَوْ لِغَيْرِهِ كَأَنْ احْتَرَقَ أَوْ لُدِغَ وَلَوْ غُسِلَ لَتَهَرَّى أَوْ خِيْفَ عَلَى الْغَاسِلِ وَلَمْ يُمَكِّنْهُ التَّحَفُّظُ (يُمِّمَ) وُجُوْبًا قِيَاسًا عَلَى غَسْلِ الْجَنَابَةِ وَلاَ يُغْسَلُ مُحَافَظَةً عَنْ جُثَّتِهِ لِتُدْفَنَ بِحَالِهَا، وَلَوْ وُجِدَ الْمَاءُ فِيْمَا إِذَا يُمِّمَ لِفَقْدِهِ قَبْلَ دَفْنِهِ وَجَبَ غَسْلُهُ

(Dan jenazah yang sulit dimandikan) sebab tidak ada air atau selainnya, seperti terbakar atau terkena racun binatang dan bila dimandikan akan rontok, atau dikhawatirkan orang yang memandikannya tertulari -semisal racun dari tubuh jenazah- dan tidak mungkin menjaga diri -darinya-, maka (jenazah itu ditayamumi) secara wajib, karena diqiyaskan pada mandi jinabah. Dan tidak boleh dimandikan karena menjaga jasadnya agar dimandikan sesuai kondisinya. Dan bila sebulum penguburan ditemukan air dalam kasus ketika jenazah ditayamumi karena tidak adaanya air, maka ia wajib dimandikan.  

3. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah [4]

وَيَقُوْمُ التَّيَمُّمُ مَقَامَ غَسْلِ الْمَيِّتِ عَنْ فَقْدِ الْمَاءِ أَوْ تَعَذُّرِ الْغَسْلِ كَأَنْ مَاتَ غَرِيْقًا وَيُخْشَى أَنْ يَتَقَطَّعَ بَدَنُهُ إِذَا غُسِلَ بِدَلْكٍ أَوْ يُصَبَّ الْمَاءُ عَلَيْهِ بِدُوْنِ دَلْكٍ. أَمَّا إِنْ كَانَ لاَ يَنْقَطِعُ بِصُبِّ الْمَاءِ فَلاَ يُتَيَمَّمُ بَلْ يُغْسَلُ بِصُبِّ الْمَاءِ بِدُوْنِ دَلْكٍ

Dan tayamum bisa menggantikan memandikan mayit karena tidak ada air atau karena tidak dimungkinkan dimandikan, semisal orang mati tenggelam dan dikhawatirkan tubuhnya akan rontok jika dimandikan dengan digosok atau jika dituangi air tanpa digosok. Adapun jika (tidak dikhawatirkan) akan rontok bila sekedar dituangi air, maka tidak boleh ditayamumi, namun harus dimandikan dengan cara dituangi air tanpa digosok.  

4. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab [5]

(فَرْعٌ)

قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ وَالْأَصْحَابُ إذَا تَعَذَّرَ غُسْلُ الْمَيِّتِ لِفَقْدِ الْمَاءِ أَوِ احْتَرَقَ بِحَيْثُ لَوْ غُسِّلَ لَتَهَرَّى لَمْ يُغَسَّلْ بَلْ يُيَمَّمُ وَهَذَا التَّيَمُّمُ وَاجِبٌلِأَنَّهُ تَطْهِيرٌ لَا يَتَعَلَّقُ بِإِزَالَةِ نَجَاسَةٍ فَوَجَبَ الانْتِقَالُ فِيهِ عِنْدَ الْعَجْزِ عَنْ الْمَاءِ إلَى التَّيَمُّمِ كَغُسْلِ الْجَنَابَةِ وَلَوْ كَانَ مَلْدُوغًا بِحَيْثُ لَوْ غُسِّلَ لَتَهَرَّى أَوْ خِيفَ عَلَى الْغَاسِلِ يُمِّمَ لِمَا ذَكَرْنَاهُ وَذَكَرَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ وَآخَرُونَ مِنْ الْخُرَاسَانِيِّينَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ بِهِ قُرُوحٌ وَخِيفَ مِنْ غُسْلِهِ إسْرَاعُ الْبِلَى إلَيْهِ بَعْدَ الدَّفْنِ وَجَبَ غُسْلُهُ لِأَنَّ الْجَمِيعَ صَائِرُونَ إلَى الْبِلَى هَذَا تَفْصِيلُ مَذْهَبِنَا وَحَكَى ابْنُ الْمُنْذِرِ فِيمَنْ يُخَافُ مِنْ غُسْلِهِ تَهَرِّي لَحْمِهِ وَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى غُسْلِهِ عَنْ الثَّوْرِيِّ وَمَالِكٍ يُصَبُّ عَلَيْهِ الْمَاءُ وَعِنْدَ أَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ يُيَمَّمُ قَالَ وَبِهِ أَقُولُ

(Sub Masalah) Penulis -Abu Ishaq al-Syairazi- dan para Ashhab berkata: “Apabila tidak dimungkinkan memandikan mayit karena tidak ada air atau karena korban kebakaran, yang  jika dimandikan akan jenazah akan rontok, maka tidak boleh dimandikan, namun ditayamumi.” Tayamum ini hukumnya wajib, karena berfungsi menyucikan tanpa terkait membersihkan najis. Karenanya wajib beralih pada tayamum ketika tidak ada air, seperti mandi janabat. Kalau jenazah itu mati karena sengatan binatang berbisa, yang sekira bila dimandikan akan rontok atau berbahaya bagi yang memandikannya, maka jenazah harus ditayamumi karena alasan yang telah kami sebutkan.   Al-Imam al-Haramain, al-Ghazali dan ulama lain dari Khurasan menyebutkan, jika pada jenazah ada luka yang bernanah, di mana jika dimandikan dikhawatirkan mempercepat hancurnya jenazah setelah dikuburkan, maka tetap wajib memandikannya, karena semua orang akhirnya akan hancur. Begitu perincian madzhab kita.   Ibn al-Mundzir meriwayatkan pendapat dari Imam al-Tsauri dan Imam Malik tentang jenazah yang dikhawatirkan bila dimandikan menyebabkan dagingnya rontok, dan orang-orang tidak mampu memandikannya: “Cukup dituangi air.” Sedangkan menurut Imam Ahmad dan Ishaq, jenazah itu ditayamumi. Dan Ibn al-Mundzir berkata: “Dengan pendapat ini aku berpendapat.”  

5. Irsyad al-Syari Syarh Shahih al-Bukhari [6]

 (وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُّ)

 أَيْ كَفِرَارِكَ (مِنَ اْلأَسَدِ) فَمَا مَصْدَرِيَّةٌ، وَاسْتُشْكِلَ مَعَ السَّابِقِ أَكْلُهُ r مَعَ مَجْذُوْمٍ وَقَالَ ثِقَّةً بِاللهِ وَتَوَكُّلاً عَلَيْهِ وَأُجِيْبَ بِأَنَّ الْمُرَادَ بِنَفْيِ الْعَدْوِ أَنَّ شَيْئًا لاَ يُعْدِى بِطَبْعِهِ نَفْيًا لِمَا كَانَتْ الْجَاهِلِيَّةُ تَعْتَقِدُهُ مَعَ أَنَّ اْلأَمْرَاضَ تُعْدِى بِطَبْعِهَا مِنْ غَيْرِ إِضَافَةٍ إِلَى اللهِ [7]

كَمَا سَبَقَ فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ  اعْتِقَادَهُمْ ذَلِكَ وَأَكَلَ مَعَ الْمَجْذُوْمِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ أَنَّ اللهَ تَعَالَى هُوَ الَّذِيْ يُمْرِضُ وَيَشْفِى. وَنَهَاهُمْ عَنِ الدُّنُوِّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ لِيُبَيِّنَ أَنَّ هَذِهِ اْلأَسْبَابَ الَّتِيْ أَجْرَى اللهُ الْعَادَةَ بِأَنَّهَا تُفْضِى إِلَى مُسَبَّبَاتِهِمَا، فَفِيْ نَهْيِهِ إِثْبَاتُ اْلأَسْبَابِ وَفِيْ فِعْلِهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهَا لاَ تَسْتَقِلُّ، بَلِ اللهُ هُوَ الَّذِيْ إِنْ شَاءَ سَلَبَ قُوَاهَا فَلاَ تُؤَثِّرُ شَيْأً وَإِنْ شَاءَ أَبْقَاهَا فَأَثَّرَتْ

(Menjauhlah dari orang berpenyakit kusta, seperti kamu menjauh) maksudnya menjauhmu (dari singa). Huruf مَا adalah mashdariyah. Hadits tersebut dijanggalkan besertaan hadits yang telah lewat, yaitu Nabi Saw. makan bersama penderita kusta, dan beliau Saw. bersabda: “Karena percaya dan tawakal kepada Allah.” Kejanggalan itu dijawab dengan: “Sungguh yang dimaksud dengan menafikan penularan penyakit adalah bahwa suatu penyakit tidak menular sebab wataknya. Karena menafikan keyakinan orang jahiliyah yaitu bahwa penyakit-penyakit itu bisa menular tanpa disandarkan kepada Allah, seperti keterangan yang telah lewat. Maka Nabi Saw. membatalkan keyakinan mereka dan makan bersama penderita kusta untuk menjelaskan kepada mereka bahwa Allah Swt. adalah dzat yang membuat sakit dan menyembuhkannya. Dan beliau Saw. mencegah mereka untuk mendekat penderita kusta untuk menjelaskan bahwa sebab-sebab ini yang Allah berlakukan sebagai adat bisa memunculkan musabbab (akibat)nya. Maka dalam pencegahan beliau Saw. terdapat penetapan sebab-sebab dan dalam tindakan beliau terdapat isyarat bahwa sebab-sebab itu tidak bisa bereaksi sendiri. Namun Allah yang bila berkehendak maka Ia cabut kekuatan sebab-sebab itu dan bila  berkehendak Ia tetapkan kekuatannya, lalu bereaksi.  

[1] Mahfud al-Termasi, Mauhibah Dzi al-Fadhl, (Mesir: al-Amirah al-Syarafiyah, 1362 H), Jilid I3, h. 443.

[2] Mungkin yang dimaksud adalah kata:  لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ  (tidak dishalati), seperti redaksi dalam kitab Minhaj al-Thalibin. Lihat al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin pada Mughni Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th.), Juz II, h. 50.  (Pen.).

[3] Muhammad al-Khatib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj, (Mesir: al-Tujjariyah al-Kubra, t. th.), Jilid I, h. 358.

[4] Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), Jilid I, h. 476.

[5] Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), Jilid V, h. 137.

[6] Shihabiddin Ahmad al-Qusthalani, Irsyad al-Sari bi Syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), Jilid V, h. 137.

[7] Mungkin yang benar tanpa huruf  مَعَ,  seperti redaksi dalam Fath al-Bari. Lihat, Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, (Beirut: 1379 H), Juz X, h. 160.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 434 HASIL KEPUTUSAN MUSYAWARAH NASIONAL ALIM ULAMA NAHDLATUL ULAMA Di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta 25-28 Juli 2002/14-17 Rabiul Akhir 1423 Tentang : MASAIL DINIYYAH WAQI’IYYAH