Pesantren Attauhidiyyah, Cikura Tegal
- by Budi
- 39.483 Views
- Senin, 19 Desember 2022

Profil
Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Ponpes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulian, kemudian berubah nama menjadi desa Syukura/ Cikura.
Ponpes didirikan setelah KH. Armia sepulang dari pengembaraannya menuntut ilmu kepada banyak ulama, diantaranya di daerah Kasuben Lebaksiu Tegal, Sumpyuh Banyumas, Cirebon dan terakhir di Mbah Kyai Anwar Lemah Duwur, seorang ulama kharisma di Kabupaten Tegal. Kemudian beliau bertemu dengan para calon ulama besar, seperti: Kyai Soleh Pekuncen, Kyai Romdon (kakek Nyai Jamilah)| dan Kyai Abu Ubaidah yang kemudian menjadi besannya.
Bermula, KH. Armia mengajarkan ilmunya kepada para pengembala, mereka diajari tentang tatacara shalat dan bacaan Al Qur’an. Pada saat itu belum ada alat tulis. Sistem pembelajarannya masih menggunakan metode menghafal (sorogan), dimana santri menghafal ayat-ayat Al Qur’an, kitab kitab seperti Syafinah, Kifayatul Awam, Sanusiyah dan kitab lainnya.
Pesantren Attauhidiyah berada di dua lokasi, yakni di Giren dengan jumlah santri putra dan putri sebanyak 3000, dan di Cikura sebanyak 400 santri putra putri.
Sejarah
Pondok pesantren Cikura Bojong Tegal didirikan oleh KH. Armia bin Kurdi. Beliau mengawali pengajaranya di pondok kecil dan beliau mengajarkan ilmu agama dan tauhid kepada santrinya. pada waktu kondisi pemahaman masyarakat sangat memperhatikan melihat kondisi itu KH. Armia akhirnya dengan tekad mengajak masyarakat untuk belajar ilmu agama. KH. Armia mengubah kebiasaan buruk masyarakat dengan sentuhan supaya dapat menumbuhkan kesadaran dan bisa menjauhi segala yang dilarang oleh Allah.
Beliau selalu mengajarkan tentang kebaikan kepada masyarakat dan tidak pernah lupa untuk menuturkan tentang rukum Islam maupun rukun iman. Beliau adalah seorang waliyullah yang memperjuangkan penyiaran agama Islam terutama tauhid. Beliau menggunakan kajian kitab dari Imam Sanusi. Membedakan pesantren dari pesantren ini pendalaman dalam bidang tauhid diantaranya karya Sayyid bin Abdillah Muhammad bin Yusuf Sanusi Alkhasani atau dikenal dengan Imam Sanusi dan kitab tauhid lainnya seperti Nūrudh Dholām.
KH. Abu Ubaidah bin kyai Syaikhon merupakan pengasuh pondok Attauhidiyyah. Beliau wafat pada ( W 1936 M). Pondok pesantren Attauhidiyyah dalam sejarahnya tidak bisa terlepas dari peranan ulama kharismatik ini. Putra pribumi sekitar era 1870-an M, di kala bangsa Indonesia masih dalam keadaan carut marut karena berada dibawah naungan pemerintahan kolonial Belanda, begitu pula ekonomi global masih berada dalam posisi yang mengenaskan, hal ini jelas jelas telah punya dampak yang luar biasa pada perekonomian masyarakat.
Apalagi di dalam permasalahan agama, maka dari itu sepulangnya beliau dari petualangannya mencari ilmu agama dari beberapa ulama di tanah Jawa ini, ditambah keyakinannya yang kuat dan bertawakal pada Allah Swt akhirnya memutuskan untuk mendirikan sebuah majlis ta’līm di tanah beliau sendiri yang berada di komplek masjid Dukuh Giren kecamatan Talang kabupaten Tegal, yang sekarang terkenal dengan sebutan masjid Ubaidiyyah, dalam rangka mengamalkan serta menyebarkan ilmu agama yang telah dienyamnya bertahun-tahun di pondok pesantren. Notabene beliau meneruskan pendahulunya yaitu mbah Giri, seorang ulama yang konon beliau adalah kerabat dari sunan Giri bahkan ada yang mengatakan sebagai sunan Giri sendiri. Makamnya terletak di
Putra ke dua dari tiga bersaudara, anak dari kyai Syaikhon ini, ketika muda memang tergolong anak yang gemar dan cinta pada ilmu agama., di mana dan siapa saja guru-guru beliau tidak ada sumber yang menceritakan dengan pasti, namun diceritakan bahwa termasuk guru-guru besarnya adalah ulama besar dari Jawa Timur yaitu Syekh Ubaidillah, mbah Kholil Bangkalan (1820-1925), di samping beliau menimba ilmu di sana konon kabarnya beliau juga di percaya sebagai salah satu staf pengajar di sana dan termasuk gurunya lagi adalah seorang ulama kharismatik dari Tegal sendiri, yaitu mbah Anwar (Lemah Duwur), seorang ulama lokal yang menghembuskan nafas terakhirnya di Makkah Al-Mukaromah.
Mbah Ubaidah mendidik santrinya dengan penuh perjuangan, ketabahan serta kesabaran. Berawal pondok atau majlis ta’līmnya dibuka dengan sangat sederhana, hanya beralaskan tikar dinaungi dengan rumah yang sederhana. Setelah beberapa waktu kemudian berkembanglah pondok tersebut. Kabar tentang pondoknya mulai tersebar keberbagai wilayah sampai kepelosok negeri ini. Hingga akhirnya santrinya mulai banyak berdatangan, baik yang datang dari dalam maupun luar daerah Tegal sendiri.
Namun sayang kiprah beliau sebagai ulama sejati harus berakhir pada tanggal 15 Jumadil Tsani bertepatan tahun 1936 M. KH. Ubaidah dipanggil oleh Allah di rumah duka. Pemakaman beliau terletak di pemakaman umum desa Giren di samping makam sesepuh Giren yaitu mbah Giri. Sehingga kepemimpinan pondok Giren di pegang dan diteruskan oleh murid sekaligus menantu beliau yaitu KH. Sa’id bin Armia. Tapi lagi-lagi kesedihan menghampiri KH. Sa’id, pasalnya di sekitar tahun 1958 M, sang istri tercinta yaitu nyai Hj. Nafisah meninggal dunia. Jenazah istri tercinta di makamkan di samping ayah handanya yaitu KH. Abu Ubaidah.
Periode KH. Said bin KH. Armia (1895-1975 M) pada 1895 adalah tahun yang bahagia bagi pasangan kyai Armia dan nyai Aliyyah di desa Cikura Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal. Saat itu, Allah Swt telah memperlihatkan kekuasaan-Nya dengan memberi anugrah seorang bayi yang sangat dinanti, dilahirkan sehat tanpa cacat, bayi yang dilahirkan oleh seorang wanita solehah itu diberi nama Sa’id.
Selain gus Sa’id KH. Armia juga mempunyai beberapa putra dan satu putri yang bernama Kyai Sanadi, Kyai Rois, Kyai Abdul Kholiq dan seorang putri yang bernama Nyai Aminah. Gus Sa’id kecil dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang sangat religius. Sangatlah jelas jika hal yang paling diutamakan adalah menuntut ilmu agama, tidak ada sumber yang pasti tentang siapa saja guru-guru beliau, sebelum menginjakan kaki beliau di pesantren KH. Abu Ubaidah, yang
ternyata kelak akan menjadi mertuanya sendiri. Beliau adalah tokoh ulama yang arif billah yang alim serta abid. Kepemimpinannya sebagai pengasuh pondok Giren sepeninggalan sang guru sekaligus mertuanya itu di segani oleh banyak ulama, tidak sedikit para ulama, baik dari golongan habaib maupun kyai yang berdatangan pada beliau untuk sekedar silaturahim(sowan), tanya jawab ilmiyah, ada juga yang menjadikan beliau sebagai labuhan akhir untuk menjawab beberapa pertanyaan yang tidak bisa dipecahkan oleh selain beliau pada saat itu.
Beberapa habaib dan kyai yang pernah menimba pada beliau adalah Syekh Ali Basalamah (Jatibarang), habib Lutfi bin Yahya (Pekalongan), KH. Barmawi (Tegal Wangi), Kyai Mansyur (Kalimati), KH. Dimyati (Comal), KH. Abdul Malik (Babakan), Habib. Abdullah (Pasuruan), Habib Salim bin Jindan (Jakarta), Habib. Ali bin Husen Al-Atos (Jakarta), Habib. Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang-Jakarta) dan masih banyak lagi santri-santri beliau.
KH. Said adalah orang yang ahli dalam segala bidang ilmu agama bukan hanya tauhid saja, terbukti pada suatu saat beliau pernah diundang dalam acara pembagian waris, hadirlah beliau pada tempat tersebut, kemudian berlangsung pulalah pembagian warisan tersebut. KH. Sa’id bin KH. Armia dalam rangka menyebarkan serta melestarikan ajaranya, sebagai perwujudan cinta kasihnya pada orang-orang awam dalam rangka mengentaskan kebodohannya apalagi kebodohan dalam masalah akidah, belaiu sendiri menulis beberapa kitab tauhid, diantaranya
Penerus sang Kyai Sepuh, Kyai Mustofa ( W 1979 M) kepemimpinan pondok pun di pegang oleh putra beliau dari istri yang bernama nyai Nafisah yaitu kyai Mustofa cucu dari KH. Ubaidah. Berhubung pada waktu itu, putra-putra beliau dari istri Nyai Hj. Jamilah binti KH. Abdul Manan belum cukup dewasa. Kepemimpinan pondok akhirnya dipegang oleh kyai mustofa. Seiring berjalannya waktu, kegiatan santri pun seperti biasanya, biarpun sang kyai sepuh telah tiada. Kyai Mustofa memimpin pondok Giren hanya beberapa tahun saja, hingga akhirnya tahun 1979 M. Kyai Mustofa sakit keras sehingga akhirnya dipanggil juga oleh Allah Swt di desa Pegirikan kecamatan Adiwerna kabupaten Tegal, kediaman istri beliau.
Nyai Jamilah ( W 2005 M) Figur Wanita Sholehah beliau adalah putri sulung pasangan KH. Abdul Manan dengan Nyai Hj. Umi Kulsum dilahirkan di daerah Narawisan desa Pesayangan kecamatan Talang kabupaten Tegal. Seorang anak perempuan yang dibesarkan di tengah keluarga yang kental agamanya sehingga tidak heran jika di kemudian hari menjadi wanita serta istri yang solehah. Nyai Jamilah menikah dengan KH. Sa’id pada tahun 1959 M.
Uniknya ketika sang Nyai masih sendirian belum menikah ternyata pernah di beri hadiah oleh ayahnya sebuah kitab Qosidah milik kanjeng Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (khomriyyah) dan minta agar supaya Qasidah ini diberikan kepada kedua anak beliau kelak. Padahal beliau belum menikah dan punya anak. Setelah beliau menikah dengan KH. Sa’id akhirnya beliau dianugerahi dua orang putra yaitu KH. Ahmad Sa’idi dan KH. M. Khasani.
Nyai Hj. Jamilah memimpin pondok giren dengan keadaan sendiri, karena pada waktu itu putra-putra beliau masih belum cukup dewasa serta masih dalam keadaan menuntut ilmu, di pondok pesantren. Biarpun kala itu, pondok dalam keadaan fakum, karena telah kehilangan pengasuhnya Nyai Hj. Jamilah binti KH. Abdul Manan berusaha keras untuk mempertahankan keberadaan pondok giren agar tidak sampai bubar, hilang tidak ada santrinya, dikarenakan pengasuh meninggal dunia, sembari menunggu kepulangan putranya yaitu gus Ahmad Sa’idi dalam studinya di Malang.
Sekitar tahun 1961 M. Gus Ahmad kecil dilahirkan tanggal 17 Romadhon 1380 H/5 Maret 1961 M. Beliau adalah putra sulung dari dua bersaudara yang dilahirkan dari rahim wanita solehah istri dari suami yang soleh yaitu KH. Sa’id bin KH. Armia, yang kelak akan mengemban amanat agung dari para pendahulunya, yaitu memimpin sebuah pondok pesantren. Gus Ahmad kecil memang dibesarkan serta dididik di keluarga yang sangat agamis di dalam lingkungan pesantren, tidak heran meskipun gus Ahmad kecil suka bermain seperti anak-anak pada umumnya, namun beliau tetap tidak lupa akan kewajibannya yaitu belajar ilmu agama.
Beliau mulai belajar dasar-dasar ilmu agama pada sang abah dan kakaknya sendiri yaitu kyai Mustofa, beberapa disiplin ilmu telah beliau dapati walau dari keluarga sendiri. Hasrat mencari ilmu agama mungkin menjadi pesona magis bagi gus Ahmad ini, sehingga beliau rela tinggalkan keluarga tercinta, sahabat, serta teman-teman dekatnya hanya untuk hijrah menuju tempat impian, ladang keilmuan yang menawarkan berjuta wawasan dan impian masa depan yaitu pondok pesantren.
Pesantren yang pernah beliau singgahi untuk mencari ilmu adalah Kaliwungu, Termas (Gondang legi), Ploso, Kediri, di daerah Cirebon, dan yang cukup mashur yaitu di daerah Malang Jawa Timur yaitu di pondok pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyah asuhan Al-Ustadzul Imam Al-Hafidz Al-Musnid Al-Quthub Prof. Dr Al-Habib Abdullah bin Al-Habib Abdul Qadir Bilfaqih Al-Alawi R. A.
Akhirnya atas desakan keluarga dan para gurunya sekembalinya beliau menimba ilmu dalam rangka menggapai cita-citanya yang mulia, maka pada tahun 1984-an M, beliau di perintahkan untuk memegang serta melanjutkan estafet kepemimpinan pondok pesantren Giren yang telah vakum beberapa tahun sepeninggalan kakaknya kyai Mustofa . Pada saat itu beliau mulai mendirikan sebuah majlis ta’lim dengan istilah MTDA (Majlis Ta’līm Wa Da’wahAt-Tauhīdiyyah), secara tidak langsung, seiring berjalannya waktu akhirnya pondok pun terkenal sebagai pondok pesantren Attauhidiyyah hingga sekarang.
Sekitar tahun 1990-an akhirnya beliau menikah dengan nyai Munawaroh, putri dari KH. Fahrur Rozi pengasuh pondok pesantren Miftahul Huda di daerah Kedungwuni Pekalongan. Beliau di karuniai lima orang putra dan lima orang putri, yang kelak mudah-mudahan akan menjadi para kholifah pendahulunya.
KH. Muhammad Khasani dilahirkan pada tahun 1964 M. Desa Mokaha, kecamatan Jati Negara kabupaten Tegal, sebelah utara desa Cikura. Sepulangnya beliau dari menuntut ilmu di beberapa pesantren di tanah Jawa di antaranya di pesantren Kempek Cirebon, Lirboyo Jawa Timur, Leler Banyumas, Kaliwungu dan yang terahir di Sarang Rembang, maka pada tahun 1991 M, akhirnya beliau ikut bahu-membahu untuk mengemban estafet kepemimpinan pondok dengan kakaknya tercinta kyai Ahmad sebagai pewaris para pendahulunya.
Tahun 1992 M beliau membeli sebidang tanah yang terletak di sebelah timur, pondok lama, kira-kira 200 meter kearah timur, di daerah perbatasan antara wilayah desa Kaligayam dan Pesayangan. Setelah tanah berhasil dibeli maka sekitar tahun 1995 M beliau memutuskan untuk segera mulai membangun asrama pondok yang baru. Pembangunan pondok pun dimulai, bangunan yang pertama didirikan di tanah tersebut adalah bangunan yang hanya berstrukturkan kayu atau yang dikenal sebagai rumah punggung atau sebutan Ranggon.
Meski pada waktu itu tanah tersebut terkenal sebagai tanah yang cukup angker, kendati demikian pembangunan asrama pondok yang baru tetap dilaksanakan waktu demi waktu pun berjalan, setelah beberapa lama kemudian berlanjut dengan membangunkan yang semi permanent dengan membuat beberapa petak kamar yang menghadap ke arah timur.
Bangunan pondok setengah jadi itu akhirnya mulai dipakai untuk aktifitas santri, karena pondok yang lama sudah cukup padat, sehingga santri pun dibagi menjadi dua, ada yang menempati bangunan yang lama dan ada yang menempati bangunan baru. Bangunan tersebut digunakan baik untuk pengajian rutinan atau kegiatan belajar mengajar siang hari. Proses belajar mengajar kebanyakan dilaksanakan di pondok yang baru. Sekitar tahun 2000 M, semua kegiatan diprioritaskan dan berpindah di pondok yang baru.
KH. Muhammad Khasani pada tahun 1994 berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan umroh, kemudian pada tahun 1996 M beliau menikah dengan seorang wanita bernama nyai Maesaroh yang berasal dari Tuban Jawa Timur. Beliau dikaruniai empat anak putra dan tiga anak putri. Pondok pesantren Attauhidiyyah semakin berkembang dinaungan MTDA (Majlis Ta’līm Dakwah At-Tauhīdiyyah).
Pendiri
KH. Armia
Pengasuh
- KH. Armia
- KH Said bin Armia
- KH Achmad Saidi bin Said bin Armia
Kitab Yang digunakan dalam Pengajaran Tauhid di Pondok Pesantren Attauhidiyah:
Kitab kuning yang dipakai dalam dunia pesantren meliputi ilmu fikih, tauhīd dan tarikh, di dukung pula oleh ilmu bahasa seperti nahwu shorof, i’lāl, balaghoh, sering disebut ilmu alat. Kitab-kitab lainnya sebagai penunjang kurikulum pesantren.
Pondok pesantren masih mempertahankan kitab-kitab klasik hingga sekarang ini. Pada perkembangannya banyak yang menambahkan dengan kajian-kajian kitab-kitab asriyah (baru) atau memodifikasi dengan mengurangi materi-materinya dan menambah muatan-muatan baru berdasarkan kebutuhan. Ada pula yang menambahkan dengan materi-materi ketrampilan. Pesantren yang tergolong kecil biasanya Kyai mengajarkan kitab-kitab dasar (kecil) dalam berbagai kelompok. Sedang pada pondok yang sudah besar kyai biasanya mengkhususkan diri pada kitab-kitab yang lainnya diserahkan pada para asistennya (asatid).9
Kitab pegangan pondok pesantren At-Tauhidiyyah diantaranya adalah:
a) AlQur’an Qirōati ‘alā kempek
b) Ilmu Tafsir: Tafsir al-Jalālain, Tafsir al-Shāwi
c) Ilmu Hadis: Shahīh Muslim, Al Adzkar al-Nawawi, Musthalah al-Hadits, Bukhori Muslim, Sunan Abī Dawūd, Sunan Turmudzi
d) Ilmu Tauhid: Risālah al-Awwāl, Risalah al-Tsanī, Dalāilu al-‘Aqāid, Matan al-Muqoddimāh, Syarah al-Muqoddimāh, Syarhu al-Kubrō, Aqīdatu al-‘Awwām, Jauharu al-Kalāmiyah, Kifāyatu al-Awwām Fathu al-Madjīd, Dasūqī ‘Alā Umm al-Barāhīn, Sanūsiyyah, Taqribu al-Ushūli
e) Bahasa Arab Rasmu al-Sirah
f) Ilmu Alat Jurmiyah: Jāwā, Jurmiyah Taqrir, Tasrīf Kempek Ishthilāhī, Tasrīf Kempek Lughawī, ‘Imrīthi Taqrīr, Tasrīf Jombāng, Mulhatu al-I’rāb, Qowaidu al-I’rāb, Alfiyah Ibnu Malik, Jauharu al-Maknūn
g) Syari’ah:
1. Fiqih, Fashalatan, Syiir Mawar Putih, Mabādi al-Fiqh, Safīnatu al-Najāh, Sulamu al-Taufīq, Fathu al-Qarīb, Rahmatu al-Ummah, Fathu al-Mu’īn, Minhāj, Nihāyatu al-Muhtāj, Mughni al-Muhtāj, Madzāhibu al-Arba’ah, Khasiyatāni, Zubad Ibnu Ruslān
2. Ushūlu al-Fiqh, Waraqāt, Ghāyatu al-Fuushūl, Al-Luma’
3. Qawāidu al-Fiqh, Farāidu al-Bahiyah, Al-Asybāh wa al-Nadāir
h) Akhlak: Alā lā, Akhlāqu Li al-Banīn Juz 1,2 dan 3, Ta’līmu al-Muta’allīm, Washāya
i) Ilmu Tasawuf: Minhājul Al- ābidin, Al-Hikām, Bidāyatu al-bidāyah
Kitab pokok yang di ajarkan di pondok Attauhidiyyah sendiri menggunakan kitab karangan dari KH. Said Armia yang disebut Ta’līmul Mubtadiīn fī Aqaid ad-dīn yang berjumlah 2 jilid pemikirannya sebagai berikut.
Ilmu tauhid yang dipelajari dikhususkan pada aqaid lima puluh, yaitu 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil bagi Allah, 1 sifat jaiz bagi Allah, 4 sifat wajib bagi para rasul, 4 sifat mustahil bagi rasul, dan satu sifat jaiz bagi para rasul. Semuanya berjumlah 50 yang kemudian dikembangkan menjadi 64. KH. Armia mendapat ijazah dari gurunya sekaligus bapaknya yang bernama Syekh Abi Ubaidah.
Pendidikan
Unit Pendidikan
Madrasah Diniyah (Non Formal)
1. Madrasah Ibtidaiyah
2. Madrasah Tsanawiyah
3. Madrasah Aliyah
Pendidikan Formal Diniyah
1. Tsanawiyah ( Setara SMP )
2. Aliyah ( Setara SMA )
3. Ma'had Aly ( Setara S1 )
Ekstrakurikuler
Pesantren ini memiliki Ekstrakurikuler sebagai berikut
- Kitab Kuning
- Bahtsu Masa'il
- Pidato
- Seni Kaligrafi
- Seni Hadroh
- Seni Tilawah Qur'an
- Khitobiyah
- Pembacan Maulid & Sholawat Majelis Sholawat Kubro
- Jam'iyyah Santri
- Pramuka
- Sepakbola
- Basket
- Volly Ball
- Badminton.
- Paskibra
- PMR
Bahtsul Masa'il di pesantren Attauhidiyyah
Hadrah di pesantren Attauhidiyyah
Fasilitas
Pesantren ini memiliki fasilitas sebagai berikut:
- Masjid
- Asrama Pesantren
- Aula
- Gedung Sekolah
- Perpustakaan
- Laundri
- Dapur
- Kamar mandi
- Kantin
- Kopontren dan Toko Kitab
- Mini mart
- Toko Busana
- Toko Perabotan
- Laboratorium Komputer
- Laboratorium Bahasa
- Ruang tamu
- Lapangan
- Kantor
Gedung pesantren di pesantren Attauhidiyyah
Gedung pesantren di pesantren Attauhidiyyah
Alamat
Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah
Kode Pos: 52465
Telepon: (0283) 446167, 0877-3055-8858
KUNJUNGI JUGA
- Laporan Pengumpulan Donasi
- Pasarkan Produk Anda dengan Membuka Toko di Marketplace Laduni.ID
- Profil Pesantren Terlengkap
- Cari Info Sekolah Islam?
- Mau Berdonasi ke Lembaga Non Formal?
- Siap Berangkat Ziarah? Simak Kumpulan Info Lokasi Ziarah ini
- Mencari Profil Ulama Panutan Anda?
- Kumpulan Tuntunan Ibadah Terlengkap
- Simak Artikel Keagamaan dan Artikel Umum Lainnya
- Ingin Mempelajari Nahdlatul Ulama? Silakan
- Pahami Islam Nusantara
- Kisah-kisah Hikmah Terbaik
- Lebih Bersemangat dengan Membaca Artikel Motivasi
- Simak Konsultasi Psikologi dan Keluarga
- Simak Kabar Santri Goes to Papua
Relasi Pesantren Lainnya
-
Belum ada pesantren yang berelasi dengan pesantren ini.
Memuat Komentar ...