Makna Filosofis di Balik Tradisi Lebaran Ketupat

 
Makna Filosofis di Balik Tradisi Lebaran Ketupat
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Masyarakat Muslim di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa mengenal dua kali lebaran di bulan Syawal, yakni Lebaran Idul Fitri dan Lebaran Ketupat. Jika Idul Fitri diperingati pada tanggal 1 Syawal setiap tahunnya, maka Lebaran Ketupat diperingati pada tanggal 8 Syawal atau satu minggu setelah Lebaran Idul Fitri.

Jika dilihat dari sejarahnya, sejumlah sumber menyebutkan tradisi Lebaran Ketupat sudah ada sejak zaman Walisongo. Adalah Sunan Kalijaga, salah satu bagian dari Walisongo, yang menyiarkan Agama Islam di tanah Jawa dengan mempopulerkan "Lebaran Kupat" atau yang dikenal juga sebagai Lebaran Ketupat.

Sunan Kalijaga saat itu membawa ajaran puasa enam hari di bulan Syawal yang memang diajarkan untuk umat muslim. Hal ini sebagaimana keterangan dalam sebuah Hadis, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkan enam hari di bulan Syawal, maka baginya (pahala) seperti puasa selama setahun penuh.” (HR. Muslim )

Atas dasar itulah, Sunan Kalijaga memperkenalkan Puasa Syawal yang bisa dimulai tanggal 2 sampai 7 Syawal atau selama enam hari berturut-turut. Kemudian pada 8 Syawal orang-orang kembali merayakan lebaran yang disebut sebagai "Lebaran Ketupat".

Sebenarnya dalam istilah Jawa aslinya, Sunan Kalijaga menyebut Hari Raya Idul Fitri dengan "Bodo Lebaran" dan menyebut "Lebaran Ketupat" dengan "Bodo Kupat". Istilah hari raya yang disebut dengan "Bodo" tersebut diambil dari Bahasa Arab dari kata "Ba’da" berarti "telah usai". Artinya adalah Hari Raya setelah melaksanakan puasa Ramadhan, yang disebut dengan Bodo Lebaran. Bodo Lebaran dimulai dengan prosesi Shalat Idul Fitri 1 Syawal lalu dilanjutkan dengan tradisi silaturrahim saling berkunjung dan saling memaafkan kepada sesama Muslim.

Sedangkan "Bodo Kupat" atau yang disebut juga "Lebaran Ketupat" dimulai setelah seminggu dirayakannya Hari Raya Idul Fitri atau "Bodo Lebaran" yang sebelumnya dianjurkan untuk melakukan puasa selama enam hari sebagaimana keterangan Hadis di atas. Lalu sebagai penanda "Bodo Kupat" atau "Lebaran Ketupat", masyarakat Muslim Jawa biasanya membuat masakan ketupat, yakni sejenis makanan yang terbuat dari beras yang dimasukkan dalam anyaman daun muda pohon kelapa (janur) berbentuk kantong persegi empat, yang kemudian dimasak dengan direbus.

Biasanya setelah ketupat masak, lalu disajikan dengan diberi lauk pauk beragam, seperti ikan, telor, daging ayam serta diberi kuah bersantan. Masakan itu kemudian dibagi-bagikan kepada tetangga, kerabat keluarga terdekat serta orang yang lebih tua sebagai perlambang kasih sayang dan diharapkan dapat mempererat tali silaturrahim.

Makna Filosofis Ketupat

Dalam tradisi Jawa sebuah nama itu pasti mengandung arti yang dalam, termasuk kata "kupat" atau yang dikenal juga dengan "ketupat". Istilah "kupat" merupakan singkatan dari kata "Ngaku Lepat" (Mengakui Kesalahan) dan dari kata "Laku Papat" (Empat Tindakan).

Prosesi "Ngaku Lepat" diimplemantasikan biasanya dengan tradisi "sungkeman", yaitu seorang anak bersimpuh memohon maaf di hadapan orang tuanya. Dari tradisi itu kita diajarkan supaya menghormati orang yang lebih tua dan memohon maaf serta meminta bimbingan serta ridhonya, karena yang tua dianggap lebih berpengalaman dalam menjalani kehidupan. Begitu juga sebaliknya, yang tua akan mengasihi dan membimbing yang lebih muda.

Simbol tradisi sungkeman atau meminta maaf itu berupa kupat atau ketupat. Sebab saat kita berkunjung ke rumah kerabat, maka biasanya akan diberi suguhan berupa ketupat dan diminta untuk dicicipi atau dimakan. Apabila ketupat itu dimakan, maka secara otomatis pintu maaf telah dibuka dan segala kesalahan serta kekhilafan yang pernah terjadi antar keduanya akan terhapus.

Jika dilihat dari bahan pembuatan kupat, maka juga ada makna filosofis tersendiri. Misalnya, kenapa harus dibungkus dengan "janur", yaitu sebutan dari daun muda pohon kelapa. Dalam istilah Jawa, "janur", mempunyai arti tersendiri yang mana asli kata tersebut terambil dari bahasa Arab berupa “Ja’a Nur” (telah datang cahaya).

Selain itu, bentuk fisik kupat yang berupa segi empat adalah ibarat hati manusia. Saat orang sudah mengakui kesalahan, maka hatinya seperti kupat yang dibelah, isinya putih bersih. Hati yang kembali suci tanpa iri, dengki dan kotoran-kotoran lainhya, karena telah terbungkus oleh "janur" yang merefleksikan cahaya, sebagaimana asli katanya "Ja’a Nur" (telah datang cahaya).

Kemudian untuk istilah "kupat" yang merupakan singkatan dari "Laku Papat", Sunan Kalijaga menjelaskannya dengan menggunakan empat kata atau istilah yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa, yakni "Lebaran", "Luberan", "Leburan" dan "Laburan".

Jika digali lebih dalam, maka akan ditemukan bahwa "Lebaran" berarti akhir atau usainya waktu bulan puasa Ramadhan dan telah siap menyongsong Hari Raya Idul Fitri (kembali suci).

Lalu "Luberan" bermakna melebur atau melimpah seperti air yang tumpah, karena sudah terisi penuh. Pesan moral "Luberan" adalah membudayakan diri agar senang berbagi kepada orang lain yang tidak mampu dengan membayar zakat yang diwajibkan. Karena hakikat zakat itu sendiri adalah hak orang miskin yang harus diberikan, dan dengan zakat itu harta yang dimiliki menjadi tersucikan.

Sedangkan "Leburan" bermakna habis atau menyatu. Artinya momen lebaran itu adalah untuk melebur dosa terhadap satu dengan yang lainnya dengan cara meminta maaf dan memberi maaf, sehingga dosa kita dengan sesama bisa tehapuskan.

Terakhir, "Laburan" dari kata "labur" atau "kapur". Kapur merupakan zat pewarna berwarna putih yang bisa digunakan untuk menjernihkan benda cair. Dari laburan ini bisa dipahami bahwa dalam momen tersebut seorang Muslim harus bisa kembali jernih nan putih layaknya kapur yang menjadi simbol supaya manusia bisa menjaga kesucian lahir dan batinnya. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 27 Juni 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim