Puasa 9 Zulhijjah: Puasa Arafah Vs Puasa Wukuf?

 
Puasa 9 Zulhijjah: Puasa Arafah Vs Puasa Wukuf?

Hikmah disunatkan puasa Arafah  kepada kita yang tidak melakukan ibadah haji, ini tentunya untuk turut merasakan nikmat yang sedang dirasakan oleh para jamaah haji yang sedang menjalankan ibadah di tanah suci. Terlebih dimana hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa.

Ibnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda: “Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid),” (HR Bukhari)

Keberadaan puasa sunat arafah itu disunatkan disebabkan hari Arafah atau Wukufnya? Tentunya kita harus mengkaji lebih lanjut. Menanggapi hal ini Direktur Pembinaan Syariah Kementerian Agama sekaligus Ketua Tim Falakiyah, Juraidi, puasa sunah Arafah bukan puasa wukuf. Umat Islam sebaiknya fokus saja pada waktu 9 Dzulhijjah seperti yang dituliskan dalam hadist.

Sebelum ada wukuf, sudah ada puasa sunah Arafah. Andai wukuf tidak bisa dilaksanakan oleh jamaah haji karena keadaan tertentu, maka puasa sunah Arafah tetap berlaku. Ia menambahkan betapa hebat dan universalnya hadits Rasul yang menyebutkan shaum yaum 'arafah bukan yaumu wukuf. Karena puasa hari wukuf hanya bagi mereka yang satu waktu mathla' (tempat terbit) dengan Makkah, Arab Saudi saja yang bisa melaksanakannya. Tapi karena haditsnya Yaumu Arafah, yaitu 9 Dzulhijjah, maka di belahan dunia mana pun umat Islam berada bisa melakukannya sesuai yang ditetapkan oleh pemerintah negaranya (wilayatul-hukmi) sesuai mathla'-nya. (Republika.co.id,14 Agustus 2018)

Memperkuat argumen tersebut dimana puasa yang dilakukan pada tanggal 9 Zulhijjah adalah karena yaumu ‘Arafah bukan karena Wukufnya dengan berdasarkan kalender negara setempat yang berdasarkan rukyatul hilal. Ini juga berdasarkan penjelasan dalam Kitab Futuhatul Wahhab karya Syekh Sulaiman Al-Jamal, berbunyi: 

“Para ulama berkata, ‘Hari raya fitri itu bukan berarti awal Syawwal secara mutlak, (namun) adalah hari di mana orang-orang sudah tidak berpuasa lagi, demikian halnya hari nahr adalah hari orang-orang menyembelih kurban, dan begitu pula hari Arafah adalah hari yang menurut orang-orang tampak sebagai hari Arafah, meski tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah, mengingat hadits, ‘Berbuka (tidak puasa lagi) yaitu hari orang-orang tidak berpuasa dan Idul Adha adalah hari orang-orang menyembelih kurban,’ (HR Tirmidzi,). Dalam riwayat Imam Syafi’i ada hadits, ‘Hari Arafah adalah hari yang telah dimaklumi oleh orang-orang.’ Barangsiapa melihat hilal sendirian atau bersama orang lain dan ia bersaksi dengannya, lalu kesaksiannya itu ditolak, maka ia harus wuquf sebelum orang-orang, tidak  boleh wuquf bersama mereka, dan wuqufnya mencukupi (sebagai rukun haji). Sebab yang menjadi pedoman perihal waktu masuk dan keluarnya hari Arafah adalah keyakinannya sendiri,” (Syekh Sulaiman bin Manshur Al-Jamal, Futuhatul Wahhab bi Taudhihi Fathil, jilid II, halaman 460).

Berdasarkan paparan ini kita dapat menyimpulkan bahwa hari puasa sunnah Arafah jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah yang penetapan awal bulannya didasarkan pada aktivitas rukyatul hilal pada negeri tersebut, bukan pada hari di mana para jamaah haji melakukan wuquf di bukit Arafah, Arab Saudi.

Beranjak dari itu tentunya dengan mengetahui keutamaan yang melimpah itu, ada baiknya kita melaksanakan puasa  Arafah. Terlebih pahala kita akan bertambah, dosa-dosa kita dihapus, dan akan memperoleh ridha Allah SWT. Berharap semoga kita menjadi bagian dari orang-orang yang mendapat keberkahan di Hari Raya Idul Adha dibawah limpahan ridha-Nya.

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Dewan Guru Dayah MUDI Masjid Raya Samalanga