Ketika Sayyidina Umar Menegur Muadzin Karena Suara Kerasnya

 
Ketika Sayyidina Umar Menegur Muadzin Karena Suara Kerasnya
Sumber Gambar: Foto Istimewa (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Allah SWT berfirman dalam surat Luqman ayat 19:

وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ اِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ

"Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai"

Ayat ini adalah mengisahkan tentang percakapan Luqmanul Hakim seorang manusia saleh dan alim. Ayat di atas adalah rangkaian percakapan Luqmanul Hakim dengan putranya yang diabadikan dalam Al-Qur'an dalam surat Luqman ayat 12-19. Perbincangan penuh kasih sayang yang mendidik penuh hikmah. Selain menekankan ibadah vertikal kepada Allah, Luqman juga menandaskan sikap yang harus dimiliki seorang manusia di hadapan manusia yang lain.

Dalam Tafsir Jalalin surat ini adalah perintah agar sederhana dalam berjalan di dalam ayat tadi ditafsirkan sebagai sikap tengah-tengah, atau tidak berjalan terlampau cepat juga tidak lambat. Berjalan dengan anggun. Adapun suara keledai berarti suara meringkik dan melengking. Suara keras yang tidak enak didengar. Dengan demikian, Luqman berpesan agar di dalam melangkah tidak terlampau cepat dan pelan, melainkan berjalan dengan baik. Demikian pula dengan berkomunikasi, tidak bersuara keras yang bisa mengganggu lawan bicaranya.

Baca Juga: Sejarah Pertama Kali Adzan Dikumandangkan

Ibnu Katsir menafsirkan makna sederhana dalam berjalan, maksudnya berjalanlah seseorang dengan langkah yang biasa dan wajar, jangan pula mengeraskan suara terhadap hal yang tidak ada faedahnya. Suara yang paling buruk adalah suara keledai, yakni suara yang keras dan berlebihan itu diserupakan dengan suara keledai dalam hal keras dan nada tingginya. Adanya penyerupaan dengan suara keledai ini menunjukkan bahwa hal tersebut diharamkan dan sangat dicela.

Berkenaan dengan ayat di atas, terdapat sebuah kisah ketika Syyidina Umar bin Khattab RA menegur seorang Muadzin pada masanya. Dikisahkan Sayyidina Umar bin Khatthab RA yang sangat terkenal ketegasannya pun pernah menegur muazdin pada masanya yaitu Abu Mahdzurah Samurah bin Mi'yar RA yang adzan dengan memaksakan suara sekeras-kerasnya.

Bentuk teguran Sayyidina Umar bin Khatthab RA sebagai berikut:

لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَنْشَقَّ مُرَيْطَاؤُكَ

"Aku khawatir perut bagian pusar hingga (tempat tumbuh) rambut kemaluanmu bedah"

Mungkin ada yang bertanya, “Bukankah kekhawatiran Sayyidina Umar RA ini berkaitan dengan sakit atau bahaya bagi muazin ketika memaksakan suaranya secara sangat keras? Bukan terkait dengan bahaya yang menimpa orang lain?” Memang benar sekilas demikian. Tetapi, pesan utama dari kisah ini adalah hendaknya bahaya harus dihindarkan baik bagi diri sendiri maupun orang lain, selaras dengan semangat sabda Rasulullah SAW

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ. حَسَنٌ

"Tidak boleh menyakiti orang lain dan tidak boleh membalas menyakitinya".  HR Ahmad dan Ibnu Majah. Hasan. (Abdurrauf Al-Munawi, Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’us Shaghir, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1415 H/1994 M], juz VI, halaman 566).

Baca Juga: Waktu dan Tempat yang Disunahkan Mengumandangkan Adzan

Berkaitan dengan kadar volume adzan, sebenarnya dalam fiqih Islam pokok kesunnahan adzan (ahlus sunnah) untuk jamaah shalat sudah terpenuhi dengan mengeraskan suara azan hingga terdengar lebih dari satu orang jamaah yang akan mengikuti shalat. Berkaitan dengan hal ini Syekh Zainuddin Al-Malibari menjelaskan:

يُسَنُّ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالْأَذَانِ لِمُنْفَرِدٍ فَوْقَ مَا يُسْمِعُ نَفْسَهُ ولِمَنْ يُؤَذِّنُ لِجَمَاعَةٍ فَوْقَ مَا يُسْمِعُ وَاحِدًا مِنْهُمْ

"Disunnahkan mengeraskan suara adzan bagi orang yang shalat sendirian di atas volume suara yang dapat memperdengarkan dirinya sendiri; dan bagi orang yang adzan untuk jamaah di atas volume yang dapat memperdengarkan satu orang dari mereka". (Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 238).

Kemudian dalam penjelasannya diterangkan secara lugas, bahwa orang yang adzan untuk jamaah disunahkan memperdengarkan adzannya kepada lebih dari satu orang calon jamaah. Sementara memperdengarkan adzan kepada satu orang calon jamaah menjadi syarat adzan yang tidak boleh ditinggalkan. (Abu Bakr bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 238).

Karenanya, mengeluhkan terlalu kerasnya volume adzan melalui pengeras suara bukan berarti mengeluhkan adzan secara total, namun hanya berarti mengeluhkan kadar volumenya yang dalam teknis fiqih Islam berarti membatasi praktik kesunahan secara maksimal yang tentu saja boleh, sebagaimana kebolehan seseorang mengumandangkan adzan dengan volume di bawah suara maksimalnya.

Wallahu A'lam

Oleh: Ahmad Muntaha AM

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 24 Februari 2022. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan