Menguak Sejarah Negeri Idi (Ma Ie Dhiet) Aceh

 
Menguak Sejarah Negeri Idi (Ma Ie Dhiet) Aceh
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Tak banyak literatur tentang negeri Idi yang kini menjadi pusat ibu kota Kabupaten Aceh Timur. Tulisan H. M. Zainuddin dalam Tarich Aceh dan Nusantara sedikit memberi jawaban. Sebab negeri Idi di zaman purbakala sangat gelap. Pada masa dahulu, kemungkinan Idi bagian dari daerah Kerajaan Peureulak. Penghuni kawasan Idi tempo dulu hanya kaum nelayan saja.

Kemudian dalam buku, Singa Atjeh, yang juga karya H. M. Zainuddin (1957) disebutkan bahwa nama Idi bermula dari kata “Ma Ie Dhiet” yang kemudian dalam perlembagannya tinggal disebut Idi saja.
Selain itu kata H. M. Zainuddin, dalam riwayat perjalanan Marco Polo dalam abad XIII antara negeri Peureulak dan Pasai, terdapat satu bandar yang bernama Basma. Tetapi tidak diketahui yang mana negeri itu sekarang.

Setelah dibuka bandar Pulau Pinang oleh Raffles dalam abad XIX, kira-kira sejak tahun 1805, Idi jadi ramai karena kedudukan Kuala Idi di selat Melaka setingkat dengan teluk Pulau Pinang dan Seberang Perai, maka kemajuan hubungan lalu lintas laut terjadi. Keramaian semakin bertambah setelah Terusan Suez (Suez Kanal) dalam tahun 1869, maka bandar Pulau Pinang yang telah mendjadi pusat Pasar dagang antara bandar-bandar kecil di Tanah Atjeh (Sumatera). Hasil-hasil lada diekspor dari pelabuhan-pelabuhan sepanjang pesisir Aceh ke Pulau Pinang dan Singapura dengan kapal-kapal dari perkongsian Inggris dan Belanda.

Dalam perkembangan pelayaran inilah negeri Idi dan sekitarnya yang dahulu tidak begitu dikenal kemudian menjadi daerah singgahan kapal-kapal untuk mengangkut lada, sehingga pelabuhan Kuala Idi menjadi maju.

Mereka yang Membangun Idi
Masih menurut H. M. Zainuddin, sebuah sumber yang didaptakannya yakni sahibul hikayat T Syahbandar Suleiman, ada beberapa orang yang berperang membangun Kuala Idi menjadi pelabuhan yang maju.
Ketika perdagangan rempah-rempah sudah dilakukan melalui Kuala Idi ke semenanjung Malaya, datang beberapa orang yang mengkoordinir perdagangan tersebut, di antaranya: Panglima Perang Nyak Sim dari Blang Me, Teuku Itam yang dikenal sebagai Panglima Muda Sikeling, dan Tok Nale dari Gampong Blang.

Awalnya meraka datang dengan perahu membawa puat untuk mencari ikan di perairan Idi. Tapi dari usaha mencari ikan saja tidak cukup, mereka kemudian membuka Seuneubok untuk menaman berbagai jenis tanaman yang laku dijual ke luar negeri.

Panglima Perang Njak Sim mendjadi pemimpin rombongan itu, ia pada mulanya memegang jabatan Panglima Besar dari T. Muda Njak Beueng Uleebalang Blang Me.
Tok Nale, membuka lahan dengan menebas hutan di daerah Kuta Batee yaitu di daerah rumah T Chik Idi Daudsjah sekarang.

Panglima Muda Sikeling, membuka lahan di daerah Rambung di bagian timur stadion Idi sekarang. Sementara T Itam yang berasal dari daerah Kuta Baroh Negeri Muereudu membuka lahan di Blang Seukuci. Lalu T Buket Batee yang berasal dari Pidie membuka lahan di Keude Dua dengan mengangkat Peutua Nyak Se sebagai Peutua Seuneubok yang mengurus perladangan.
Setelah itu kemudian datang pula Said Idrus yang membawa orang-orang dari Aceh Besar ke Idi juga untuk membuka kebun. Diikuti pula oleh orang-orang dari Pidie yang dibawa oleh T Bukit Batee, dan orang-orang dari Pasai yang dibawa oleh T Itam yang membuka ladang di Blang Seukuci.

Dinamai BlangSeukuci karena waktu mulai menebas hutan untuk membuka ladang, T Itam bermimpi melihat sebuh guci dalam blang (sawah-red). Guci itu kemudian ditemukannya terkubur adlam tanah, tapi ketika hendak diambil guci itu hilang masuk ke dalam tanah.

Saat ramai-ramai membuka perkebunan tersebut, Panglima Nyak Sim pernah disambar halilintar, tapi ia tidak apa-apa. Belakangan diketahui kalau dia memiliki ilmu kebal. Setelah tak mempan disambar petir, namanya mulai diperbincangkan, hingga ia menjadi terkenal dan disegani banyak orang. Pembukaan perkebunan dan ladang itu membuat kawasan Idi bertambah ramai. Apalagi setelah orang-orang dari negeri Pidie, Pasai, Peusangan dan Aceh Besar kembali datang.

Sementara Tgk Di Buket keturunan Said Idrus membuka ladang di Gampong Baro dekat stadion sekarang. Ladang juga dibukanya mulai dari Buket Pala hingga ke perbatasan Idi Cut. Pembukana lahan itu dilakukan olej T Cut Lambo ayah dari T Usman Idi Cut. Kemudia di bagian utara, perkebunan dibuka oleh T Digureb ayah dari Banta Giureb. Lalu ke selayan Dama Pulo dibuka lahan oleh Thk Paya Raman.

Setelah banyak orang yang membuka perkebunan, maka diadakanlah musyawarah Seuneubok, yaitu mufakatnya para peladang untuk mementukan jenis tanaman apa yang harus ditaman serentak yang bernilai jual tinggi ke luar negeri. Saat itu diputuskan untuk menaman lada. Karena tak ada bibit lada di Idi maka diutuslah beberapa orang untuk pergi ke negeri Pidie dan Aceh Besar mencari bibit lada.

Beberapa tahun kemudian, Idi menjadi salah satu daerah penghasil lada di Aceh. Orang-orang dari luar Idi semakin banyak yang datang, hingga membuat daerah itu menjadi ramai. Apalagi setelah lada dari Idi diekspor ke Pulau Pinang, Malaysia.

Karena Idi semakin maju, maka Uleebalang Peureulak jadi marah karena Kuala Idi merupakan batas kiri masuk ke negeri Peureulak dan bagian kanannya menjadi pintu masuk ke Julok, maka terjadilah peperangan. Uleebalang Julok dan Peureulak sama-sama berhasrat untuk menguasai Idi yang sudah maju dalam bidang perkebunan.

Tapi saat itu T Panglima Prang Nyak Sim sudah memiliki banyak pengikut, sehingga mampu melawan seranandari Julok dan Peureulak. Usai peperangan itu didirikanlah Keude Idi sebagai pusat perdagangan, yang sekarang menjadi Kota Idi ibu kota Kabupaten Aceh Timur.

Sementara orang-orang lain seperti Panglima Kaum Blang Kabu dari Blang Me, T mlaim Suloe yang berasal dari Pidie, diangkat menajdi penasehat T Panglima Prang Nyak Sim karena kecakapannya.
Ketika T Panglima Prang Nyak Sim meninggal dunia, ia digantikan oleh anaknya T Ben Guci, kemudian adiknya, T Panglima Banta diangkat menjadi panglima perang. Untuk menjamim kemanan di Idi dari serangan ulebalang sekitarnya, mereka sepakat untuk menjalin hubungan langsung dengan Sulthan Aceh.

Beberapa orang diutus untuk menghadap Sultan Aceh. Delegasi dari Idi itu terdiri dari T Panglima Blang Kabu, T Malim Suloe, T Itam Blang Seukuci, T Tihi Ben Guci dan ibunya H Ma Rampang asal Buloh. Delegasi ini diantar oleh Panglima Perang Besar T Muda Cut dari Meureudu sampai dipertemukan dengan Sultan Aceh, Sultan Ibrahim Mansur Syah (1841 – 1870 M).

Oleh Sultan Aceh kemudian mengangkat T Chik Ben Guci menjadi Uleebalang Idi dan kepadanya diberikan cap sikureung, sebagai stempel sah kerajaan. Ketika mereke kembali ke Idi dan itu diketahui oleh Ulebalang Julok dan Simpang Ulim, kedua uleebalang itu bertambah marah, karena Idi sudah menjadi daerah ulebalang tersendiri. Maka perang pun kembali terjadi.

Untuk menghadapi serangan dari dua uleebalang tersebut, T Chik Ben Guci menjalin hubungan dengan uleebalang Blang Me, T Muda Angkasah. Atas anjuran T Muda Angkasah pada akhir tahun 1871 dikirim beberapa orang ke Riau untuk membangun kerja sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda yang sudah berkuasa di sana. Utusan yang dikirim ke Riau itu adalah Tok Pang Kaum Kabu, T Malim Suloe, T Itam. T Muda Angkasah sendiri menjadi pimpinan rombongan itu.

Di Riau mereka mengikat tali persahabatan dengan Pemerintah Belanda. Beberapa lama sesudah itu datanglah orang Belanda ke Idi dan mendirikan benteng di Kuala pada 17 Mei 1875 memakai bendera Belanda. Waktu itu Idi bertambah ramai, karena terlalu banjak penghasilan lada, dengan kapal-kapal: Pigu, Hok Kwaton dan yang mengangkut lada ke Pulau Pinang.

Pada satu waktu terdjadilah perang Gureb atau perang T. Di Bukit, yang bermula dari perselisihan kecil antara orang-orang Pasai dengan Aceh Besar. Orang Aceh Besar mengatakan sama orang Pasai: Pasai sikin brok: dan karena itu orang Pasai marah lalu masuk ke kedai-kedai, siapa saja yang ditemuia disuruh sebut breueh, kalau tidak bisa sebut breueh lalu diamuk dan akibatnya banyak orang Aceh Besar yang meniggal, karena logat bicaranya orang Aceh Besar mudah ditandai.

Hal itu membuat T. Paya Uleebalang Tanjung Seumanto marah dan menuntut balas, maka terdjadi perang antara T Paya dan T. Chik Idi. T Chik Idi membuat Kota di bukit Leusong. Kapal (seukuna ) T. Paja Raman yang bernama Djikasi dan Seukana Djambi, dirampas oleh orang Idi, oleh sebab itu T. Paya Raman kalah lalu lari ke Aceh Besar.

Mula-mula T. Paja Raman ditolong oleh Keujruen Julok, tapi karena kemudian melihat Idi sudah lebih kuat, maka Julok pun beralih mendukung Idi. Sesudah kalah T. Paya Raman, maka negeri Tandjung “Seumanto” diberikan kepada T. Muda Angkasah. Kemudian benteng Belanda di Kuala dipindahkan ke Benteng Arun juga ditempatkan rumah dan kantor Controleur.

Bandar Idi makin bertambah ramai karena banyak hasil lada dan Gouvernemnt Belanda, banyak memeberi bantuan kepada T. Chik Ben Guci, sehingga diberikan satu tanda kehormatan Nederlandsche Leeauw. Hasil pelabuhan waktu itu dibahagi dua dengan T. Chik Idi.

Meninggalnya T. Chik Ben Gutji, diangkat anaknya yang tertua T. Chik Hasan Ibrahim dan selama T. Chik Hasan Ibrahim mendjadi Uleebalang Idi, pengahasilan lada makin bertambah banjak sampai 5000 kojan, (± 200.000 pikul), karena T. Mat Said yang datang dari Meulaboh sudah memasukkan banjak orang, jaitu 186 Peutua dengan hutang pangkal sendiri tatkala masih hidup T. Chik Ben Gutji. Sesudah T. Hasan Brahim pindah ke Pulau Penang diangkat adiknya T. Chik Muhammad Hanafiah sebagai pengantinya. []
 


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 4 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
___________________
Editor: Kholaf Al Muntadar