RUU Pesantren dan Pendidikan Agama sebagai Bentuk Perhatian Pemerintah

 
RUU Pesantren dan Pendidikan Agama sebagai Bentuk Perhatian Pemerintah

LADUNI.ID, Tangerang Selatan - Munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Agama yang digodok DPR RI merupakan mendorong pemerintah dalam mengafirmasi pesantren dengan segala bentuk kekhasannya.

Hal ini ditegaskan oleh Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Diktis Kemenag RI, Suwendi. Menurutnya, selama dalam perjalanannya, menurut dia, lembaga pesantren—yang merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia selalu luput dari afirmasi pemerintah.

“Menghadapi hal ini kita tidak perlu kagetan kenapa baru sekarang dipermasalahkan, sebab untuk melihat hal itu perlu menelusuri akar historis perkembangan politik pendidikan di Indonesia yang menjadi basis utamanya,” terang Suwandi saat menjadi pemateri dalam diskusi Islam Nusantara Center, Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu (17/11) kemarin.

Suwandi juga melanjutkan, pondok pesantren jauh sebelum Indonesia merdeka adalah lembaga pendidikan yang paling awal sebelum munculnya madrasah, sekolah, serta perguruan tinggi. Bahkan pada saat itu seseorang yang lulus dari pesantren memiliki kebanggaan berupa social confidence di kalangan masyarakat. Masyarakat akan membanggakan orang-orang dari lulusan pesantren ketimbang lainnya.

Selain itu, dia juga menambahkan bahwa pada masa kolonial, pesantren juga dihadapkan oleh layanan pendidikan yang dibawa oleh para koloni berupa sistem pendidikan yang disebut sebagai sekolah. Karena sekolah adalah buah tangan dari para koloni, masyarakat pada saat itu tetap membanggakan pesantren sebagai sistem pendidikan lokal.

“Mending alumni pesantren ketimbang alumni sekolah,” cerita Suwandi yang merupakan alumnus Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon.

Setelah itu, pasca Indonesia merdeka, karena tidak memiliki pendanaan yang kuat, para alumni pesantren jarang yang mendirikan pesantren. Mereka mendirikan madrasah diniyah sebagai opsi lain untuk melanjutkan misi pengembangan ilmu-ilmu keagamaan di masyarakat.

“Sebab mendirikan madrasah diniyah memerlukan biaya yang minim ketimbang pesantren, tapi tetap saja masih luput dari pemerintah,” kisahnya.

Kemudian setela itu, baru muncul kehadiran negara pasca SKB 3 Menteri 1975 yang mana dalam hal ini pemerintah mulai mengafirmasi layanan madrasah, namun lagi-lagi pesantren dan madrasah diniyah tetap ditinggalkan sebab yang diakui hanya kurikulum madrasah diniyahnya saja yang dimasukkan ke dalam layanan sekolah begitu sebaliknya, yang kemudian dari sini melahirkan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA).

Setelah saat itu, masyarakat muslim mulai memiliki keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi. Diawali dengan kemunculan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA), yang bertransformasi menjadi IAIN, STAI, UIN. Lembaga tersebut merupakan pengembangan pendidikan Islam yang berada di jenjang perguruan tinggi yang memiliki tujuan untuk mencetak para ulama tapi sekaligus yang berintelektual.

“Lagi-lagi pesantren yang lahir di paling awal, tetap ditinggalkan,” jelasnya.

Mencermati progres yang dilakukan pemerintah, dapat dilihat bahwa pemerintah hanya berkonsentrasi pada lembaga yang berbentuk layanan sekolah. Karena lagi-lagi sekolah adalah lembaga pendidikan yang mendapat afirmasi begitu kuatnya oleh pemerintah kolonial sepanjang sejarahnya, keudian dilanjutkan oleh pemerintahan Indonesia.