Sebuah Kisah Gus Dur tentang Ustadz Betawi yang Nyentrik

 
Sebuah Kisah Gus Dur tentang Ustadz Betawi yang Nyentrik

LADUNI.ID, Jakarta - Banyak segi perihal kehidupan masyarakat Muslim tidak luput dari amatan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Aspek pendidikan Islam dan corak penyampaian pesan agama di tengah masyarakat Jakarta yang sedang bergerak tidak termasuk pengecualian dalam hal ini.

Pengamatan itu dituangkan oleh Gus Dur melalui artikel berjudul Ustadz yang Hidup dalam Dua Dunia. Pada artikel yang dimuat di Majalah Tempo pada tahun 1981 M Gus Dur mengangkat sikap hidup dan strategi Ustadz Razak Khaidir dalam membangun kemandirian masyarakat Betawi.

Artikel yang berjudul Ustadz yang Hidup dalam Dua Dunia merupakan salah satu dari 26 kolom Gus Dur yang mengangkat “kejeniusan” para kiai. Artikel ini dapat ditemukan dalam Buku Kiai Nyentrik Membela Pemerintah terbitan LKiS pada 1997 M. Cetakan kesepuluh buku ini jatuh pada 2010 M.

Gus Dur mengawali artkelnya dengan apresiasi atas Ustadz Razak Khaidir dari Tegalparang Mampang, Jakarta Selatan. Bagi Gus Dur, pandangan dan pilihan hidup Ustadz Razak yang sanggup mengharmonisasi dua dunia sekaligus tanpa naif dan munafik cukup unik.

Dua dunia keseharian Ustadz Razak Khaidir itu adalah hidup mewah "materialis" di satu sisi dan hidup agamis yang serba berisi moral di sisi lain.

“Hidup dalam dua dunia umumnya memiliki konotasi yang tidak baik; ada yang disembunyikan dari dunia yang satu terhadap dunia yang lain. Bagaikan beristri lebih dari satu: kepada istri tua tidak mau mengaku datang dari rumah istri kedua, begitu juga sebaliknya,” (Gus Dur, 2010: 73).

Namun demikian, konotasi yang tidak baik , kata “pendekar” dari Ciganjur ini, tidak dapat dipukul rata pada semua kasus. Konotasi itu bukan kaidah umum yang mesti benar pada semua bentuk praktik partikular kehidupan. Ustadz Razak Khaidir telah membuktikannya.

Ustadz Razak Khaidir mencoba keluar dari dua pandangan ekstrem sekaligus. Ia menghindari cara pandang materialis absolut yang menempatkan materi sebagai ukuran segalanya sehingga melupakan akhirat dan mengejar segala yang berbentuk duniawi dan gemerapan dengan menabrak nila-nilai agama, norma sosial, dan kemanusiaan di satu pihak. Tetapi ia juga menjauhi cara pandang asketisisme naif yang memilih kehidupan ukhrawi dengan sama sekali mengabaikan semua kebutuhan dan kesempurnaan duniawi.

“Menarik sekali untuk dikaji lebih jauh pandangan seperti ini: membedakan hidup di dunia dari hidup di akhirat, tapi meletakkan keduanya dalam jalur dan kadar yang sama. ‘Ada persambungan di antara keduanya,’ kata sang ustadz. Kesinambungan, kata favoritnya. Kontinuitas, kata kamus antropologi. Alhasil ‘manunggalnya’ dunia dan akhirat,” (Gus Dur, 2010: 77).

Ustadz Razak Khaidir saat mengaji di Ciganjur menyampaikan, dunia tidak lain adalah persiapan bagi kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat sangat bergantung pada kualitas hidup di dunia. Kalau bodoh, melarat dan terbelakang, tidak banyak yang dapat diperbuat di dunia untuk kehidupan akhirat.

“Kalau tidak kuat ekonominya, tidak mungkin kuat menunaikan ibadah haji. Padahal ibadah haji adalah persiapan lebih sempurna lagi untuk kepentingan kehidupan akhirat itu. Kehidupan bahagia di akhirat berkaitan erat dengan kebahagiaan hidup di dunia pula, karena kebahagiaan dunia adalah bagian dari kehidupan akhirat,” (Gus Dur, 2010: 76-77).

Ustadz Razak Khaidir sebagai orang beragama memiliki logikanya sendiri dalam menghadapi dunia modern Jakarta sebagai kota metropolitan di mana materi menjadi ukuran hidup. Baginya, perbaikan mutu hidup di dunia sebagai sarana untuk beramal merupakan jalan hidup seorang Muslim kota untuk meraih kebahagiaan di akhirat kelak.

Ustadz Razak sendiri memilih hidup kecukupan di dunia daripada hidup “bodoh, melarat, dan terbelakang.” Jalan hidupnya cukup baik. Rumah cukup besar. Mobilnya Corona keluaran mutakhir, dan setelan khas “trade mark”-nya yaitu jas putih dan sorban putih untuk mengisi pengajian di samping aktivitasnya sebagai dosen IKIP (UNJ sekarang ini).

“Kini sudah keren idupnye, kalau meminjam istilah orang Betawi,” (Gus Dur, 2010: 75).

Ia menapaki perjalanan pendidikan standar anak Betawi saat itu, yaitu mengaji Al-Qur’an di langgar kecil, sekolah agama, kemudian berakhir dengan menngaji di tanah Arab. Ia awalnya bermukim di Makkah selama bertahun-tahun lalu melanjutkan pendidikan di Mesir hingga tiba di Tanah Air pada 1967 M.

Ustadz Razak Khaidir memiliki pandangan berbeda dari ustadz kebanyakan yang masih saja mempersoalkan masalah konvensional yaitu persoalan judi, resistensi atas rambut gondrong, dan ngotot mempertahankan status quo suasana moral lama.

“Maka ustadz yang juga guru kite ini justru membawakan pesan-pesan yang memandang jauh ke depan. Ia mempersoalkan beberapa masalah yang sebenarnya cukup mendasar dan disampaikannya dengan gaya orang Betawi pula–gaya santri yang khas dan penuh ilustrasi kejadian sehari-hari yang diselingi dengan rangkaian ‘dalil’ berupa ayat Al-Qur’an, hadits nabi, dan hikmah dari para ulama terdahulu,” (Gus Dur, 2010: 75).

Bagi Gus Dur, pandangan Ustadz Razak ini merupakan sebuah gagasan terobosan di zamannya sekaligus sikap hidup yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan kalangan masyarakat tradisionalis yang berada di dalam pusaran arus modernisasi–pembangunan, dan geliat metropolitan Jakarta.

Hidup beragama di tengah suasana modern perkotaan serba sulit. Masyarakat mesti dihadapkan pada empat pilihan. Arus modernisasi, pada alam pikiran Ustadz Razak Khaidir, jelas tidak dapat dibendung, terlebih lagi percepatan yang dilakukan di Jakarta sebagai kota metropolitan.

Sikap resisten menjadi percuma karena arus yang begitu kuat. Tetapi sikap mengalah pasrah sebagai penonton pasif adalah pilihan terburuk. Pilihan untuk terseret arus dalam gemerlapan dan saling berkejaran demi materi semata yang artinya mengabaikan nilai agama, norma sosial, dan kemanusiaan tidak mungkin bagi masyarakat Betawi karena agama menjadi taruhannya. Sikap strategisnya adalah negosiasi terhadap keduniaan dan modernitas.

“Bukankah cukup baik untuk hidup di dunia seperti yang dilakukan Ustadz Razak ini, bukan? Mengapa kita masih berkeras juga untuk terlalu memisahkan keduanya? Mengapa harus dipertentangkan, padahal saling melengkapi? Mengapa takut dituduh Calvinis, kalau semuanya bersumber dari ajaran agama sendiri (Islam)?” (Gus Dur, 2010: 77).

Calvin atau Yohanes Calvin adalah seorang teolog Kristen terkemuka asal Prancis di era Reformasi Protestan. Ia hidup dalam rentang 1509 M-1564 M. Calvin adalah peletak dasar Calivinisme yang berpengaruh atas perkembangan kapitalisme di Eropa pada abad ke-17 M. Calvin memaknai kerja keras manusia dan memberikan arti bagi materi yang profan sebagai bentuk “ibadah” kepada tuhan.

Adapun hal yang membuat Ustadz Razak Khaidir tampak menarik bagi Gus Dur adalah cara penyampaian terobosan gagasannya yang senyap (silent) tanpa bikin ribut-ribut. Penyampaiannya dilakukan dengan cara yang elegan yang tidak membuat geger dan marah para kiai sepuh.

Apalagi umat Islam zaman sekarang yang gampang marah. Dengan cara demikian, ustadz Betawi yang nyentrik ini dapat menghindari polemik yang kontraproduktif. Asal pesan substansinya sampai tanpa perlu ribut-ribut.

“Pendapat (Ustadz Razak) sendiri hanya dikemukakan sebagai tambahan atas pendapat ulama kuno–sama sekali tidak menyanggah atau menyangkal. Tidak heranlah jika sedikit sekali terjadi penolakan atau kehebohan di sekitar pernyataannya,” (Gus Dur, 2010: 75).

Sebagai contoh, kata Gus Dur, adalah perkara haji. Kecukupan ekonomi sebagai syarat berangkat haji–oleh Ustadz Razak–dikaitkan dengan hikayat Syekh Ibnul Mubarak yang memimpin rombongan “travel” haji dari negerinya.

Di tengah jalan rombongan ini bertemu dengan seorang perempuan melarat yang menyuapi daging bangkai ke mulut anaknya karena terpaksa. Ibnul Mubarak kemudian menyerahkan semua perbekalan rombongan “travel” hajinya kepada perempuan melarat tersebut dan mereka memutuskan kembali pulang kampung.

“’Tidak wajib haji,’ katanya, ‘selagi masih ada yang melarat.’ Ucapan ahli hadits itu dikiaskan oleh ustadz kita ini pada lebih wajibnya memelihara lembaga pendidikan (yang akan menghilangkan kemelaratan) daripada kewajiban berhaji dua kali dan seterusnya,” (Gus Dur, 2010: 76).

(Artikel ini ditulis oleh Alhafiz Kurniawan. Sumber: NU Online)