Tidak Sembarang Orang Boleh Menafsirkan Al-Quran, Perhatikan Persyaratan Berikut Ini

 
Tidak Sembarang Orang Boleh Menafsirkan Al-Quran, Perhatikan Persyaratan Berikut Ini
Sumber Gambar: vecteezy.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Al-Quran adalah Kitab Suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Wahyu ini berupa lafadh dan maknanya sekaligus. Rasulullah SAW lalu menyampaikan seutuhnya tanpa menambahi maupun mengurangi sedikitpun bagian dari Al-Quran, kepada umat Islam.

Setiap Nabi mempunyai mukjizat yang merupakan anugerah dari Allah SWT. Demikian pula, Nabi Muhammad SAW mendapatkan mukjizat terbesar sepanjang zaman, yakni Al-Quran. Tidak ada yang bisa meniru sedikitpun bagian dari Al-Quran dan siapapun akan menjadi tak berdaya menandinginya. Karena memang pengertian mukjizat itu adalah melemahkan yang lain. Dan Al-Quran adalah mukjizat itu sendiri.

Namun demikian, Al-Quran itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat Islam. Karenanya, tentu bahasa yang hendak disampaikan itu bisa dipahami atau setidaknya memahamkan orang yang akan menerimannya.

Allah SWT telah berfirman dan menegaskan sendiri bahwa Al-Quran diturunkan dalam Bahasa Arab.

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya (Kitab Suci) berupa Al-Qur’an berbahasa Arab agar kamu mengerti.” (QS. Yusuf: 3)

Al-Quran diturunkan dalam Bahasa Arab adalah kehendak dari Allah SWT agar bisa dipahami. Tetapi, tidak semua ayat bisa dipahami hanya sekadar bisa berbahasa Arab. Tidak semua orang bisa memahami atau menafsirkan kandungan Al-Quran. Di antara yang sedikit itu adalah Abdullah Ibnu Abbas yang langsung mendapatkan doa dari Rasulullah SAW.

اَللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ، وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ

“Ya Allah pahamkanlah ia urusan agama dan ajarkanlah ta’wil (Tafsir Al-Quran).”

Menurut sebagian ulama, Al-Quran itu ibarat permata yang dari sisi manapun orang melihatnya akan mendapati keindahannya masing-masing.

Namun demikian, tidak semua orang bisa memahami kandungannya. Membaca Al-Quran saja sudah mendapatkan pahala, apalagi membaca dan memahami lalu mengamalkan kandungannya. Namun Al-Quran tidak bisa hanya sekadar dibaca lalu paham arti dan maksudnya kemudian menafsirkannya sesuai keinginan. Kalau itu yang dilakukan, akan terjadi kerancuan pemahaman yang bisa jadi menyalahkan pihak lain yang tidak sesuai dengannya. Karena itu, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi dalam menafsirkan Al-Quran.

Menurut Manna’ Khalil Al-Qatthan, di dalam Kitab Mabahis fi Ulumil Qur’an, syarat-syarat yang berkenaan pada sifat kepribadian seseorang sebelum menafsirkan Al-Quran di antaranya adalah; mempunyai kepribadian yang baik, jujur, lapang dada, tekun beribadah, kesehariannya dihiasi dengan membaca Al-Quran serta mempunyai aqidah yang baik. Selain itu, mempunyai semangat dan niat yang lurus hanya kepada Allah. Bersikap hati-hati ketika menjelaskan ayat yang sekiranya sulit untuk dipahami. Mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas tentang ilmu Agama. Perlu juga menguasai tehnik penulisan, tata bahasa, agar terhindar dari kesalahan yang tidak diinginkan.

Mengenai syarat-syarat tersebut, yang sejak dulu menjadi kesepakatan para ulama ahli tafsir adalah tentang Akhlaqul Karimah. Semua kepribadian baik itu mengarah kepada pengertian Akhlaqul Karimah.

Sementera itu, Imam Jalaluddin As-Suyuti dalam Kitab Tafsir Jalalain mengatakan bahwa seseorang tidak akan bisa memahami isi kandungan Al-Quran serta rahasia di baliknya jika di dalam hatinya masih ada rasa sombong, cinta dunia, banyak melakukan maksiat, selalu mengikuti hawa nafsunya serta imannya lemah. Lalu, karena kepribadian itu, ia akan lebih cenderung sering mengikuti pendapat penafsir yang tidak memiliki ilmu yang mengarah kepada akalnya. Dan inilah yang menjadi tabir dalam mengungkap rahasia makna Al-Quran.

Setelah syarat kepribadian seseorang dalam menafsirkan Al-Quran terpenuhi, maka selanjutnya harus juga menguasai disiplin ilmu yang diperlukan dalam menafsirkan Al-Quran.

Imam Jalaluddin As-Suyuti dalam kitabnya Al-Itqan fi Ulum Qura’n menyebutkan syarat-syarat ilmu yang harus dikuasai oleh seorang ahli tafsir, yakni sebagai berikut: Pertama, menguasai ilmu Bahasa Arab berserta aspeknya. Kedua, menguasai ilmu gramatikal Arab (Nahwu-Shorof). Ketiga, menguasai ilmu Ma’ani, Bayan dan Badi’. Keempat, menguasai ilmu Qiroat, baik Qiroah Sab’ah maupun Asyrah. Kelima, menguasai ilmu Ushulud Din atau ilmu agama dengan sempurna. Keenam, menguasai ilmu Ushul Fiqih. Ketujuh, menguasai ilmu Asbabun Nuzul. Kedelapan, menguasai ilmu Nasikh dan Mansukh. Kesembilan, Menguasai ilmu fikih dan hukum Islam. Kesebelas, menguasai Hadis-hadis Nabi berkenaan penafsiran suatu ayat. Terakhir, keduabelas, yaitu mendapatkan ilmu Al-Mauhibah, yaitu ilmu yang diberikan oleh Allah kepada hamba yang dikehendaki sehingga dapat memenuhi syarat menjadi seorang ahli tafsir.

Jadi, tidak mudah sama sekali untuk menjadi seorang ahli tafsir. Persyaratan ketat yang dirumuskan di atas oleh para ulama, dimaksudkan agar tidak sembrono dalam menafsirkan Al-Quran. Jika seseorang yang tidak mempunyai kapasitas dalam menafsirkan Al-Quran memaksakan kehendak menafsirkan dengan keinginan pribadinya, maka akan terjadi penafsiran yang rancu dan bisa jadi sampai menyesatkan. Inilah yang selalu diwanti-wanti oleh para ulama.

Pakar tafsir Indonesia, Prof. Quraish Shihab memberikan penekanan terhadap orang yang hendak menafsirkan Al-Quran, bahwa menafsirkan ayat Al-Quran itu berbeda dengan berdakwah atau ceramah. Seseorang yang tidak mempunyai kapasitas dan kapabilitas mengenai syarat-syarat menjadi seorang mufassir tentu saja boleh menyampaikan ayat-ayat Al-Quran, selama penjelasan tersebut masih menggunakan pemahaman para ahli tafsir.

Selain itu, beliau juga menjelaskan bahwa seringkali kesalahan dalam menafsirkan Al-Quran disebabkan oleh sejumlah faktor berikut ini: Pertama, terlalu memaksakan pendapat untuk memahami suatu ayat atau dengan kata lain, peran akal lebih dominan. Kedua, kesalah dalam menggunakan metodologi dan kaidah penafsiran. Ketiga, tidak menguasai ilmu bahasa dan gramatikal Arab (Nahwu-Shorof). Keempat, kesulitan dalam menjelaskan makna ayat, sehingga tidak bisa mengetahui makna tersebut secara utuh. Kelima, dalam menjelaskan ayat Al-Quran tidak melihat konteks Asbabun Nuzul, munasabah ayat, serta konteks sosial yang ada di masyarakat. Keenam, tidak mengetahui konteks pembicaraan, baik pembicaraannya sendiri maupun tujuan pembicaraan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak sembarang orang boleh menafsirkan Al-Quran. Persyaratan ketat yang telah disebutkan di atas harus terpenuhi. Jika tidak memungkinkan, maka tetap bisa menyampaikan kandungan Al-Quran dengan pemahaman para ahli tafsir yang mempunyai kredibiltas dan dapat dipertanggungjawabkan. []


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Attha Hareldi