Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono V

 
Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono V

Daftar Isi Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono V

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Perjalanan Hidup Sri Sultan Hamengku Buwono V
3.    Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono V
4.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Sultan Hamengku Buwono V adalah putra keenam Sultan Hamengku Buwono IV dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono. Nama asli beliau adalah Gusti Raden Mas Gathot Menol. Beliau lahir pada tanggal 24 Januari 1820.

1.2 Riwayat Keluarga
Dari pernikahannya, Sri Sultan Hamengku Buwono V dikaruniai sembilan orang putra dan putri yaitu :

  1. Bendara Raden Mas Sepuh, meninggal pada usia muda
  2. Gusti Raden Mas Timur Muhammad, bergelar Kanjeng Bendara Pangeran Harya Suryaning Ngalaga
  3. Gusti Bendara Raden Ayu Hangabehi, menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Ganda Kusuma
  4. Bendara Raden Ajeng Timur, meninggal pada usia muda
  5. Bendara Raden Ajeng Suwarti, meninggal pada usia muda
  6. Bendara Raden Ajeng Rabingu, meninggal pada usia muda
  7. Bendara Raden Ajeng Humissalamah, meninggal pada usia muda
  8. Bendara Raden Ayu Hadiwinata, menikah dengan Bendara Pangeran Harya Hadiwinata, putra keenam Hamengku Buwono VI
  9. Bendara Raden Ajeng Sukinah, menikah dengan Gusti Pangeran Harya Mangkubumi/Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi, putra kelima Hamengku Buwono VI

1.3 Wafat
Sultan Hamengku Buwono V wafat pada 5 Juni 1855 (ada yang mengatakan 1854). Kematian beliau itu tidak diketahui oleh banyak orang. Adapun peristiwa yang mengiringi kematian beliau disebut dengan Wereng Saketi Tresno (wafat oleh yang dicinta). Sri Sultan Hamengku Buwono V dimakamkan di Astana Besiyaran, Pajimatan Imogiri.

Ketika beliau meninggal, permaisuri pertamanya GKR Kencono tidak berputera. Sementara itu, permaisuri Kedua GKR Sekar Kedhaton yang sedang hamil belum menunjukkan tanda-tanda kelahiran. Maka dari itu tahta kerajaan kemudian dipegang oleh adik Sri Sultan Hamengkubuwono V, Raden Mas Mustojo, bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono VI.

2.  Perjalanan Hidup Sri Sultan Hamengku Buwono V
Tahun 1823, ketika ayahandanya wafat, beliau diangkat menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono V ketika baru menginjak usia 3 tahun. Sultan Hamengku Buwono V adalah sultan termuda dari seluruh Sultan Kesultanan Yogyakarta, bahkan di seluruh tanah Jawa. Sebab, beliau naik tahta untuk pertama kalinya pada tahun 1823, waktu itu usianya masih 3 tahun.

Beliau tumbuh besar dengan perlakuan khusus antara perasaan iba dan tanggung jawab yang besar seperti itulah yang membentuk karakter beliau menjadi orang yang temah lembut dan sebisa mungkin menghindari kekerasan.  Dikarenakan usia sultan yang masih sangat belia, maka dibentuk dewan perwalian untuk mendampingi tugas-tugas pemerintahan. Anggota dewan perwalian terdiri atas Ratu Ageng  (nenek Sultan, yang juga permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono III), Ratu Kencono (ibu Sultan, permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono IV), Pangeran Mangkubumi (putra Sri Sultan Hamengku Buwono II) dan Pangeran Diponegoro.

Para wali itu hanya mempunyai wewenang mengawasi keuangan keraton, sedangkan pelaksanaan pemerintahan keraton berada di tangan Patih Danurejo III, di bawah pengawasan residen Belanda. Sama halnya dengan ayah beliau yang didampingi oleh dewan perwalian, Sri Sultan Hamengku Buwono V memegang kendali pemerintahan secara penuh pada tahun 1836 ketika usianya menginjak 16 tahun. Ketika dewasa, Sultan Hamengku Buwono V mendapat gelar seperti gelar kakek buyutnya (Sultan Hamengku Buwono I), yakni Pangeran Mangkubumi. Adapun pangkat yang pernah dijabat beliau sebelum menjabat sebagai sultan adalah letnan kolonel pada 1839 dan kolonel pada 1847 dari pemerintah Hindia Belanda.

Sri Sultan Hamengku Buwono V memerintah selama dua periode atau dua kali. Pemerintahannya diselingi oleh Sultan Hamengku Buwono II selama dua tahun. Periode pertama pemerintahannya berlangsung dari 19 Desember 1823 sampai 17 Agustus 1826. Kemudian, beliau diturunkan dari tahta oleh Belanda yang waktu itu tengah menghadapi pemberontakan Pangeran Diponegoro, dan digantikan oleh kakeknya Sultan Hamengku Buwono II selama dua tahun. Maka, beliau naik tahta untuk kedua kalinya (pemerintahan periode dua) pada tanggal 17 Januari 1828 sampai kematian beliau pada tanggal 5 Juni 1855.

Sejarah mencatat bahwa Perang Jawa -peperangan terbesar yang dialami oleh pemerintah kolonial akibat perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, terjadi pada era kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono V. Banyak hal yang mengusik Sang Pangeran termasuk semakin banyak tanah-tanah keraton yang disewakan kepada orang Eropa, tingginya pajak yang ditarik dari masyarakat, munculnya wabah kolera, dan kondisi gagal panen yang dipandang  sangat menyengsarakan. Ditambah sikap pegawai-pegawai Belanda banyak yang melecehkan keraton dengan memasukkan adat istiadat dan gaya hidup Eropa.

Disebut ‘Perang Jawa’ karena Pangeran Diponegoro berhasil mengobarkan perlawanan yang menggerakkan hampir seluruh penduduk berbahasa jawa di Pulau Jawa bagian tengah dan selatan. Semakin besarnya kekuatan Diponegoro didukung pula oleh kelompok Islam yang terdiri atas para santri yang mengabdi di Keraton (Suranatan, Suryagama) para pelaiar dari pesantren-pesantren di wilayah perdikan serta kelompok lain yang dibawa oleh Kyai Mojo yang menjadi sekutu Pangeran Diponegoro.

Perang Jawa telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi Belanda. Selama dua tahun pertama perang, 6.000 pasukan infanteri serta 1200 pasukan artileri dan Kavaleri dikerahkan. Bahkan pada tahun 1826 sekitar 2.400 pasukan bantuan datang dari Belanda. Namun pasukan tersebut tidak bisa langsung diterjunkan ke medan pertempuran karena kurangnya pengetahuan tentang lapangan dan tantangan iklim. Hingga akhirnya, pada tahun 1827 pemerintah kolonial dibawah pimpinan Jenderal De Kock berhasil mengurung tentara Sang Pangeran di wilayah pegunungan sempit antara Sungai Progo dan Sungai Bogowonto di Kabupaten-Kabupaten Kulon Progo, Kedu Selatan dan Bagelen Timur. Pasukan Pangeran Diponegoro yang jumlahnya sudah menyusut banyak semakin terkucil dan dapat dikalahkan.

Pada Hari Minggu tanggal 28 Maret 1830, De Kock dengan segala cara berhasil menangkap Pangeran Diponegoro di Wisma Residen Kedu. Selanjutnya, Pangeran Diponegoro bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang, kemudian dibawa Batavia untuk diasingkan di Manado dan berakhir di Makassar hingga wafat pada tanggal 8 Januari 1855.

Dengan berakhirnya Perang Diponegoro, maka berangsur-angsur situasi yang lebih stabil terjadi di Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono V kemudian lebih mendekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintah Hindia-Belanda. Kedekatannya dengan Belanda merupakan sebuah bentuk taktik perang represif, yang menekankan pada perang tanpa darah. Di samping itu, Sultan Hamengku Buwono V juga mengharapkan kedekatannya dengan pemerintahan Belanda agar terjalin kerja sama mutualisme antara pihak keraton dan Belanda. Dengan adanya kerja sama saling menguntungkan itu, maka kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.

Itulah strategi politik yang diterapkan Sultan Hamengku Buwono V ketika memerintah Yogyakarta. Akan tetapi, kebijakan politik Sultan Hamengku Buwono V itu tidak mendapat dukungan dari pihak keluarganya. Justru, beberapa kanjeng abdi dalem dan adik sultan sendiri yang bernama Gusti Raden Mas Mustojo (ada yang mengatakan Raden Mas Ariojoyo), yang kelak bergelar Sultan Hamengku Buwono VI, menentang kebijakan politiknya itu. Penentangan itu dilakukan oleh para kanjeng abdi dalem dan Gusti Raden Mas Mustojo lantaran menganggap Sultan Hamengku Buwono V terlalu memihak terhadap Belanda. Karena itulah, dukungan terhadap Sultan Hamengku Buwono V pun semakin berkurang.

Selama masa damai di bawah kepemimpinannya pula, Sri Sultan Hamengku Buwono V kemudian lebih mencurahkan perhatiannya ke dalam pengembangan seni dan sastra. Banyak karya sastra dan keris pusaka keraton dibuat atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono V.

3 Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono V
Salah satu mahakarya yang lahir di era beliau adalah Serat Makutha Raja. Di dalamnya memuat tentang prinsip-prinsip dasar menjadi raja yang baik. Dari karya ini dapat dilihat visi ke depan Sultan Hamengku Buwono V yang sangat memihak kepada rakyat. Serat Makutho Raja ini pula yang nantinya menjadi pedoman bagi raja-raja selanjutnya, dan juga menjadi rujukan bagi pemimpin-pemimpin di luar Keraton. Serat Makutho Raja ini kurang lebih mengandung nasehat-nasehat dari Kitab Tajussafatin.

Kitab Tajussalatin diterjemahkan di era Sri Sultan Hamengku Buwono V. Kemudian lahir pula karya lain seperti Sujuk Sujinah, Serat Syeh Tekawardi dan Serat Syeh Hidayatullah.

Sri Sultan Hamengku Buwono V juga menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap kegiatan-kegiatan seni, terutama seni tari. Beliau memimpin sendiri komunitas tari di istana. Bahkan, beberapa sumber juga mengatakan beliau turut menjadi penari.

Disamping tarian, Sri Sultan Hamengku Buwono V memprakarsai Gendhing Gati yang memadukan alat musik diatonis seperti terompet, trombon, suling dan jenis drum atau tambur dengan karawitan Jawa. Gendhing Gati ini lazimnya digunakan dalam gerak Kapang-Kapang pada tari Bedaya atau Serimpi, yaitu komposisi ketika masuk atau keluar dari ruang tari.

Pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V juga terdapat keunikan-keunikan lain dalam pelembagaan tari. Beliau membentuk Kelompok penari Bedaya yang biasanya ditarikan oleh para penari wanita, digantikan oleh sekelompok penari laki-laki yang disebut kelompok Bedaya Kakung.

Karya seni tari lain yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono V adalah Tari Serimpi Renggawati yang ditarikan oleh lima orang penari, yang salah satunya berperan sebagai Dewi Renggawati. Jalan cerita tari ini menggambarkan kisah Prabu Anglingdarma.

Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono V juga mengembangkan seni Wayang Orang. Pada masa beliau tak kurang dari lima judul lakon yang sering dipertunjukkan yakni Pragulamurti, Petruk Dadi Ratu, Angkawijaya Krama, Jaya Semedi, dan Pregiwa-Pregiwati.

4.  Referensi

  1. https://www.kratonjogja.id/
  2. Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  3. Sabdacarakatama, Ki. 2008. Sejarah Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Narasi.
  4. Abimanyu, Soetjipto. 2015. Kisah Terlengkap Sejarah Mataram. Yogyakarta: Saufa.
  5. Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  6. Soekanto, Dr.. 1952. Sekitar Jogjakarta. Djakarta: Mahabarata
  7. M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  8. Fredy Heryanto. 2007. Mengenal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat